Terus Jaga Nafsu Diri & Jadi “Santri”, Supaya Raih Kebahagiaan Hakiki
Oleh: Faiq Abdul H (Santri Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

“Itulah mengapa Nabi Muhammad mengatakan kalau orang yang berpuasa akan meriah dua kebahagiaan, yaitu ketika berbuka dan bertemu Tuhannya,” tuturnya dalam acara Halal bi Halal di
“Kebahagiaan itu didapat ketika ia berhasil menahan dirinya demi suatu tujuan mulia. Seperti orang yang bahagia ketika berbuka puasa sebab berhasil menahan dirinya, menjaga dirinya dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya dan merusak pahala puasanya,” jelasnya lagi.
Melawan hawa nafsu, lanjutnya, adalah jihad paling utama. Nabi bersabda, bahwa jihad paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu. “Pejuang sejati adalah orang yang bersungguh-sungguh menahan hawa nafsunya,” ucapnya.
Karenanya, meskipun Ramadhan telah usai, perjuangan untuk meraih kebahagiaan belum usai. Tapi menurut Ustadz Ardi, kalau saja bulan Ramadhan dijalani dengan sungguh-sungguh, ia telah menjalani hari-harinya untuk mendidik nafsunya, sehingga ke depannya, ia tidak begitu berat untuk terus berusaha mengendalikannya.
“Lanjutkan Bahagia dengan cara pandang terhadap bahagia yang benar, yakni bahagia dengan mengendalikan hawa nafsu. Ramadhan sudah jadi bulan pendidikan untuk melatih meraih bahagia itu. Jangan berhenti berjuang melawan nafsu, supaya tidak berhenti berjalan menuju bahagia,” ucap Ustadz Ardi.
Supaya usaha melawan nafsu demi raih kebahagiaan hakiki terus dilakukan, usai ‘Idul Fitri, identitas “santri” jangan sampai hilang. Identitas itu, kata Ustadz Ardi, harus terus ada, kapan saja, di mana saja, di dunia nyata maupun maya, apa pun profesinya, harus tetap jadi santri.
“Santri, menjadi santri, bukan karena atributnya, entah peci atau sarungnya. Tapi karena jiwanya. Ia harus menjadi orang baik sekaligus agen perubahan bagi lingkungannya ke arah yang lebih baik, dan yang selalu berusaha menghidupkan tradisi ilmu di sekitarnya,” jelasnya.
“Santri mesti menjadi sosok yang mengubah keadaan, bukan keadaan yang justru mengubahnya,” lanjutnya.
Supaya identitas itu terus melekat, menurut Ustadz Ardi, ia harus selalu mengingat kalau ia punya amanah ilmu agama, punya banyak guru, dan tentunya selalu mengingat Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
“Kebahagiaan itu didapat ketika ia berhasil menahan dirinya demi suatu tujuan mulia. Seperti orang yang bahagia ketika berbuka puasa sebab berhasil menahan dirinya, menjaga dirinya dari melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya dan merusak pahala puasanya,” jelasnya lagi.
Melawan hawa nafsu, lanjutnya, adalah jihad paling utama. Nabi bersabda, bahwa jihad paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu. “Pejuang sejati adalah orang yang bersungguh-sungguh menahan hawa nafsunya,” ucapnya.
Karenanya, meskipun Ramadhan telah usai, perjuangan untuk meraih kebahagiaan belum usai. Tapi menurut Ustadz Ardi, kalau saja bulan Ramadhan dijalani dengan sungguh-sungguh, ia telah menjalani hari-harinya untuk mendidik nafsunya, sehingga ke depannya, ia tidak begitu berat untuk terus berusaha mengendalikannya.
“Lanjutkan Bahagia dengan cara pandang terhadap bahagia yang benar, yakni bahagia dengan mengendalikan hawa nafsu. Ramadhan sudah jadi bulan pendidikan untuk melatih meraih bahagia itu. Jangan berhenti berjuang melawan nafsu, supaya tidak berhenti berjalan menuju bahagia,” ucap Ustadz Ardi.
Supaya usaha melawan nafsu demi raih kebahagiaan hakiki terus dilakukan, usai ‘Idul Fitri, identitas “santri” jangan sampai hilang. Identitas itu, kata Ustadz Ardi, harus terus ada, kapan saja, di mana saja, di dunia nyata maupun maya, apa pun profesinya, harus tetap jadi santri.
“Santri, menjadi santri, bukan karena atributnya, entah peci atau sarungnya. Tapi karena jiwanya. Ia harus menjadi orang baik sekaligus agen perubahan bagi lingkungannya ke arah yang lebih baik, dan yang selalu berusaha menghidupkan tradisi ilmu di sekitarnya,” jelasnya.
“Santri mesti menjadi sosok yang mengubah keadaan, bukan keadaan yang justru mengubahnya,” lanjutnya.
Supaya identitas itu terus melekat, menurut Ustadz Ardi, ia harus selalu mengingat kalau ia punya amanah ilmu agama, punya banyak guru, dan tentunya selalu mengingat Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui.