Belajar Filsafat Sains Islam Supaya Dekat dengan Allah dan Bermanfaat Bagi Alam Semesta
Oleh: Faza Zaki (16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Para santri Pesantren At-Taqwa Depok dan Mahasiswa STID Mohammad Natsir pada Ahad (12/4/25), mengikuti kuliah khusus “Filsafat Sains”. Kuliah yang berlangsung dari pukul 09.30 pagi sampai 16.30 sore itu, diisi oleh pakar filsafat Islam, Prof. Ugi Suharto.
Prof. Ugi mengambil pemikiran filsafat sains dari lima filosof sains terkemuka: Karl Popper, Thomas Samuel Kuhn, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Dihadirkannya gagasan Al-Attas adalah sebagai pembanding dari empat filosof Barat lainnya. Juga sebagai tuntunan bagi umat Islam supaya mempunyai pandangan alam yang benar (sesuai dengan Islam) mengenai sains sehingga tidak terjebak dengan pandangan alam yang sekular.
Ustadz Ugi menjelaskan bahwa, kesamaan para filosof Barat yang sekular semacam Popper, Kuhn, Feyerabend, dan Lakatos, adalah pandangan mereka mengenai kewujudan (ontologi) yang dibatasi hanya pada alam fisik. Sehingga yang dikatakan sebagai ilmu (kebenaran), hanya sains, yang sifatnya empiris.
Hanya saja, bagaimana cara pandang mereka terhadap alam fisik itulah yang berbeda-beda. Falsafah sains Karl Popper dilandasi pada metode “falsification” (falsifikasi). Bahwa sains yang sebenarnya adalah yang dapat disalahkan. Melalui falsifikasi, scientific progress bisa berlangsung secara secara akumulatif, evolutif, perlahan-lahan.
Teori Popper diserang oleh konsep “Paradigm Shift” Thomas S. Kuhn. Ia berpendapat bahwa “Progres sains itu bukan karena evolusi, tetapi revolusi, tidak terprediksi dan tiba-tiba.” Bermula dari “sains normal” dengan satu paradigma, kemudian muncul anomali-anomali secara tiba-tiba yang membutuhkan kejelasan lebih melalui paradigma baru.
Paradigma baru itu sifatnya “incomensuribility”, tidak ada kaitan atau komunikasi dengan paradigma yang lama. Ia semacam “physical intuism”, seperti teori gravitasi yang ditemukan Isaac Newton. Begitulah peralihan paradigma. Begitulah sains berprogres menurut Kuhn.
Paul Feyerabend melangkah lebih radikal dari Kuhn. Ia mengkritik orang-orang yang berpikir bahwa sains itu rasional. Karena menurutnya sains itu bebas, tidak memiliki aturan, tidak memiliki metode. Ia mengatakan “There is more than one way to understand world through science”. Dengan begitu, sains bisa terus berprogres.
Imre Lakatos memosisikan dirinya di antara Kuhn dan Feyerabend. Lakatos tidak setuju dengan teori falsifikasi Popper, tapi juga tidak menganggap bahwa sains itu sepenuhnya irasional seperti Kuhn.
Menurutnya, sains adalah segala hal yang memiliki “research program”, yang tentu didasari pada hal-hal yang sifatnya empiris dan logis. Basis riset itu disebut dengan “first principles” (hard core), yang ditetapkan oleh komunitas intelektual dalam ranah sains.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendobrak falsafah sains yang sekular itu dengan pandangan alam Islam. Metode sains Barat, kata Al-Attas, bertumpu pada Phylosophical Rationalism, Secular Rationalism, dan Phylosophical Empiricism. Semuanya metode itu sama-sama dualistis, sehingga memerlukan worldview Islam yang sifatnya tauhidik atau integralnya: tidak memisahkan alam fisik dan metafisik.
Al-Attas menjelaskan bahwa sains adalah: “Ordinary level of reasons and experience”. Sains hanyalah pengalaman tingkat terendah yang dialami oleh seseorang. Karena ada orang-orang yang mengalami pengalaman di tingkat yang lebih tinggi, yang bersifat metafisik, yakni para Nabi, Rasul, dan auliya.
Maka ketika memandang hakikat dalam konteks alam semesta, dalam Islam, mesti mencakup yang fisik dan metafisik. Yang fisik semacam “potensi” yang sifatnya berubah-ubah (contohnya jasad manusia), yang metafisik semacam “identitas” yang sifatnya permanen (contohnya ruh manusia).
Ketika memandang fakta, mesti melibatkan “judgement” dari “luar” (dari agama) sehingga ia menjadi “haq” (truth) atau “bathil”, tidak netral. Sebab dalam Islam, arti fakta adalah “al-waqi” (yang terjadi). Ia bisa direkayasa dan belum tentu benar sehingga butuh pembenaran dari ketentuan Islam.
Dan ketika memahami “scientific progress”, Al-Attas menjelaskan bahwa yang dinamakan “progress” mesti memiliki tujuan akhir yang pasti dan jelas. Jika tujuan akhirnya masih abu-abu, tidak tetap, bahkan tidak ada, ia tidak layak disebut scientific progress.
Di sinilah Islam memberi peranan dalam menutup “lubang” penting sains modern, yakni tujuan, untuk apa sains dipelajari. Satu-satunya tujuan yang mutlak itu adalah Allah, untuk mendekat kepada-Nya. Dengan tujuan itu, sains dapat membawa pada keuntungan dan kebermanfaatan, bukan kekacauan dan kehancuran.
Editor: Fatih Madini
Prof. Ugi mengambil pemikiran filsafat sains dari lima filosof sains terkemuka: Karl Popper, Thomas Samuel Kuhn, Paul Feyerabend, Imre Lakatos, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Dihadirkannya gagasan Al-Attas adalah sebagai pembanding dari empat filosof Barat lainnya. Juga sebagai tuntunan bagi umat Islam supaya mempunyai pandangan alam yang benar (sesuai dengan Islam) mengenai sains sehingga tidak terjebak dengan pandangan alam yang sekular.
Ustadz Ugi menjelaskan bahwa, kesamaan para filosof Barat yang sekular semacam Popper, Kuhn, Feyerabend, dan Lakatos, adalah pandangan mereka mengenai kewujudan (ontologi) yang dibatasi hanya pada alam fisik. Sehingga yang dikatakan sebagai ilmu (kebenaran), hanya sains, yang sifatnya empiris.
Hanya saja, bagaimana cara pandang mereka terhadap alam fisik itulah yang berbeda-beda. Falsafah sains Karl Popper dilandasi pada metode “falsification” (falsifikasi). Bahwa sains yang sebenarnya adalah yang dapat disalahkan. Melalui falsifikasi, scientific progress bisa berlangsung secara secara akumulatif, evolutif, perlahan-lahan.
Teori Popper diserang oleh konsep “Paradigm Shift” Thomas S. Kuhn. Ia berpendapat bahwa “Progres sains itu bukan karena evolusi, tetapi revolusi, tidak terprediksi dan tiba-tiba.” Bermula dari “sains normal” dengan satu paradigma, kemudian muncul anomali-anomali secara tiba-tiba yang membutuhkan kejelasan lebih melalui paradigma baru.
Paradigma baru itu sifatnya “incomensuribility”, tidak ada kaitan atau komunikasi dengan paradigma yang lama. Ia semacam “physical intuism”, seperti teori gravitasi yang ditemukan Isaac Newton. Begitulah peralihan paradigma. Begitulah sains berprogres menurut Kuhn.
Paul Feyerabend melangkah lebih radikal dari Kuhn. Ia mengkritik orang-orang yang berpikir bahwa sains itu rasional. Karena menurutnya sains itu bebas, tidak memiliki aturan, tidak memiliki metode. Ia mengatakan “There is more than one way to understand world through science”. Dengan begitu, sains bisa terus berprogres.
Imre Lakatos memosisikan dirinya di antara Kuhn dan Feyerabend. Lakatos tidak setuju dengan teori falsifikasi Popper, tapi juga tidak menganggap bahwa sains itu sepenuhnya irasional seperti Kuhn.
Menurutnya, sains adalah segala hal yang memiliki “research program”, yang tentu didasari pada hal-hal yang sifatnya empiris dan logis. Basis riset itu disebut dengan “first principles” (hard core), yang ditetapkan oleh komunitas intelektual dalam ranah sains.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendobrak falsafah sains yang sekular itu dengan pandangan alam Islam. Metode sains Barat, kata Al-Attas, bertumpu pada Phylosophical Rationalism, Secular Rationalism, dan Phylosophical Empiricism. Semuanya metode itu sama-sama dualistis, sehingga memerlukan worldview Islam yang sifatnya tauhidik atau integralnya: tidak memisahkan alam fisik dan metafisik.
Al-Attas menjelaskan bahwa sains adalah: “Ordinary level of reasons and experience”. Sains hanyalah pengalaman tingkat terendah yang dialami oleh seseorang. Karena ada orang-orang yang mengalami pengalaman di tingkat yang lebih tinggi, yang bersifat metafisik, yakni para Nabi, Rasul, dan auliya.
Maka ketika memandang hakikat dalam konteks alam semesta, dalam Islam, mesti mencakup yang fisik dan metafisik. Yang fisik semacam “potensi” yang sifatnya berubah-ubah (contohnya jasad manusia), yang metafisik semacam “identitas” yang sifatnya permanen (contohnya ruh manusia).
Ketika memandang fakta, mesti melibatkan “judgement” dari “luar” (dari agama) sehingga ia menjadi “haq” (truth) atau “bathil”, tidak netral. Sebab dalam Islam, arti fakta adalah “al-waqi” (yang terjadi). Ia bisa direkayasa dan belum tentu benar sehingga butuh pembenaran dari ketentuan Islam.
Dan ketika memahami “scientific progress”, Al-Attas menjelaskan bahwa yang dinamakan “progress” mesti memiliki tujuan akhir yang pasti dan jelas. Jika tujuan akhirnya masih abu-abu, tidak tetap, bahkan tidak ada, ia tidak layak disebut scientific progress.
Di sinilah Islam memberi peranan dalam menutup “lubang” penting sains modern, yakni tujuan, untuk apa sains dipelajari. Satu-satunya tujuan yang mutlak itu adalah Allah, untuk mendekat kepada-Nya. Dengan tujuan itu, sains dapat membawa pada keuntungan dan kebermanfaatan, bukan kekacauan dan kehancuran.
Editor: Fatih Madini