Sekali Lagi, Nyantri Atau Mati!
Oleh: Afkarmalik Hasan & Khoirotunnisa Dwi Putri (Santri PRISTAC, Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Depok, attaqwa.id – Pembina Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Adian Husaini, dalam kajian peringatan Hari Santri (22/10/24), menegaskan kembali gagasannya: “Nyantri atau Mati!” Itu adalah gagasannya lima tahun lalu (2019), yang menurutnya masih sangat bahkan semakin relevan di zaman ini.
Ustadz Adian meyakini bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan terbaik untuk menjawab segala ujian kehidupan di era ini. Sebab, ia adalah lembaga perjuangan yang melahirkan para pembelajar dan pejuang. Dalam sejarahnya di Indonesia, begitulah orientasi pesantren sejak awal didirikan.
Pasca kemerdekaan, orientasi itu tetap dipegang teguh sampai-sampai melahirkan jutaan santri yang mau berjuang mempertahankan kemerdekaan. Mereka merespons dengan cepat fatwa jihad KH. Hasyim Asy’ari yang mewajibkan perang (fardhu ‘ain), khususnya yang berjarak 80 Km dari Surabaya; berbondong-bondong melawan pasukan sekutu, alumni Perang Dunia II (Belanda dan Inggris), pada 22 Oktober 1945
“Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dikembangkan dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, pesantren bukan saja merupakan lembaga pendidikan, tapi merupakan peran yang penting dalam perjuangan nasional,” tegas Ustadz Adian mengutip Pahlawan Nasional Mohammad Natsir.
Penulis buku “Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang” itu mengatakan, jika begitu orientasi pesantren, maka ia merupakan pendidikan Islam ideal, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Umar bin Khatthab dan Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa dasar pendidikan beliau ada dua: penanaman adab dan pengajaran ilmu.
Ustadz Adian pun merumuskan pendidikan Islam yang ideal dengan istilah TOP: Tanamkan adab sebelum ilmu, Oetamakan ilmu fardhu ‘ain, Pilih ilmu fardhu kifayah yang tepat, sesuai potensi murid dan kebutuhan umat. Karena menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adab merupakan disiplin fisik, pikiran, dan hati, maka penanaman adab meliputi pembentukan cara pandang (worldview) dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs).
Ituah mengapa generasi yang Nabi lahirkan, tidak sekular namun bervisi akhirat, tidak materialis sehingga mampu menaklukkan dunia tanpa mencintainya, dan tidak rendah diri apalagi merasa lemah dan tidak mampu. Karena itu semua, mereka mau diajak berjuang dan tidak takut mati.
“Jangan terjebak pada pola pikir sekularis dan materialis. Pendidikan zaman Rasulullah itu hebat dan generasinya terbaik sepanjang masa, karena mereka berorientasi akhirat,” pungkas Ustadz Adian.
Atas dasar semua itu, jelaslah bahwa sejak awal, pesantren memang didesign sebagai lembaga pendidikan Islam ideal. Dengan sistem asrama dan pendidikan 24 jam-nya, pesantren adalah lembaga penanaman adab (nilai) terbaik; lembaga “tafaqquh fi al-din” (pendalaman ilmu agama, khususnya fardhu ‘ain) terbaik; dan lembaga “iqamah al-din” (perjuangan) terbaik. Tentu, perjuangan yang didasari oleh Islam tidak pernah memisahkan antara agama dan bangsa. Menjaga eksistensi keduanya merupakan kewajiban bagi setiap Muslim.
Menurutnya, di zaman ini, paling tidak, ada enam rukun pesantren: 1) keteladanan kyai atau guru; 2) penanaman adab; 3) tafaqquh fi al-din; 4) penanaman ruh dakwah atau semangat perjuangan; 5) penanaman jiwa kemandirian; 6) pembekalan pandangan alam Islam disertai pemikiran dan kondisi masyarakat kontemporer.
Pendidikan yang dilandaskan pada penanaman adab itulah yang akan melahirkan manusia-manusia baik dan bermafaat. Ia seorang pelajar sepanjang hayat: pembelajar yang mandiri, yang siap belajar apa pun sekaligus seorang pejuang.
Apa pun profesinya, orientasi utamanya adalah belajar, berjuang, berdakwah, mendidik. Apa pun status sosialnya, ia adalah guru. Bukan “tukang ngajar”, tapi “mujahid intelektual”. Guru-guru semacam itulah yang menurut Pak Natsir, menjadi tonggak utama setiap bangsa.
“Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya,” Jelas Ustadz Adian, mengutip Pak Natsir kembali.
Maka menurutnya, “nyantri” adalah jawaban yang tepat jika ingin bertahan di era disrupsi; jika tidak ingin kalah saing dengan artificial intelligence (AI). Sebab semasif apa pun informasi di internet, ia tidak akan pernah bisa menggantikan penanaman adab. Dan sepintar apa pun “robot”, ia tidak akan bisa meraih hikmah, kebijaksanaan, wisdom.
“Hikmah hanya akan didapat melalui penanaman adab atau nilai secara terus menerus. Sementara, lembaga pendidikan yang paling mampu melakukannya adalah pesantren atau yang bersistemkan pesantren (asrama), karena di sana, terdapat interaksi antara guru dan murid yang sangat intensif. Di sana pula ada pelatihan 24 jam bagi murid untuk menjawab berbagai soal kehidupan,” jelas penulis “Beginilah Pendidikan Nasional yang Ideal” itu.
Di era Presiden Prabowo Subianto ini, kata Ustadz Adian, pesantren mempunyai peluang emas untuk meningkatkan mutunya dengan melahirkan generasi santri pejuang. Dalam kampanyenya, Prabowo menjanjikan akan meluncurkan dana abadi pesantren, meningkatkan kualitas pendidikan agama, memberikan beasiswa nasional dan internasional, dan membangun sistem pendidikan nasional yang mengedepankan pembentukan karakter religius (penanaman adab).
“Sekarang pemerintah ingin membantu santri dan pesantren, alangkah baiknya kita memanfaatkannya dan introspeksi untuk menjadi lebih baik lagi. Tapi tetap, kita tidak boleh terlalu bergantung atas janji-janji yang diberikan pemerintah. Karena sejak era penjajahan dulu, pesantren terbiasa mandiri dan tidak kebergantungan,” ucapnya.
“Kata Nabi, Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Ada tiga kuncinya: semangat dalam meraih apa saja yang bermanfaat, berdoa, tidak merasa lemah dan mampu. Ingatlah, orang Islam itu diperintahkan untuk menjadi kuat agar menjadi pemimpin umat,” pungkasnya.