Puasa dan Relasinya dengan Kesehatan Mental
Oleh: Nisrina Ghaitsani (Santriwati Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Jangan sampai lapar, haus dan hari libur menjadi penghalang untuk menuntut ilmu. Begitu nasihat para guru di Pesantren At-Taqwa Depok. Maka pada Ramadhan hari ke-15 ini, tepatnya Sabtu (15/3), seluruh santri menghadiri mushalla Taman Adabi untuk mendengarkan sebuah seminar bertajuk, ‘Puasa dan Kesehatan Mental’.
Narasumber seminar ini ialah Dr. Rahmatul Husni, guru mata pelajaran psikologi Islam di Pesantren, yang juga aktif dalam kajian gender yang sudah menulis banyak sekali artikel dan jurnal dalam hal tersebut. Dalam seminar tersebut, bu Rima —begitu panggilan akrabnya— menjelaskan bahwa puasa adalah salah satu cara dalam Islam untuk menjaga kesehatan mental.
Ini adalah suatu hal menarik, yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang yang kerap membicarakan perkara mental health. Kebanyakan hanya tahu pengobatan mental illness itu dengan terapi psikologis lewat psikolog, obat semacam anti-depresan, tapi tidak dengan puasa.
Menurut Bu Rima, umumnya orang hanya memahami kalau mental health itu berhubungan dengan pikiran (mind) seseorang saja, tidak dengan badan dan jasadnya. Itu adalah mental dalam perspektif Barat yang sekuler. Sedangkan dalam Islam, kesehatan mental itu adalah menjaga baik jasmani ataupun ruhani. Oleh sebab itu setiap muslim itu disuruh untuk shalat, tilawah dan ibadah lainnya, bersamaan dengan perintah-perintah menjaga kesehatan tubuh.
“Sebab pola makan itu sangat berdampak terhadap kesehatan mental seseorang,” tegas bu Rima berkali-kali mengingatkan dalam seminar ini.
Sebagai sebuah bukti dari statementnya, Ibu lima anak tersebut menjelaskan bahwa puasa dapat melatih banyak aspek mental seseorang. Seperti self-control, emotional balance, yang dengannya menyebabkan cognitive detox. Inilah mengapa dengan puasa seseorang itu dilatih untuk menahan diri dari segala perbuatan yang dilarang; baik yang wajib dilakukan; makan dan minum serta hal membatalkan lainnya, juga yang sangat disarankan; menjaga diri dari amarah berlebih dsb.
“Di sinilah ‘Limbah pikiran dan jasad seseorang itu dibuang,” paparnya. Jika dalam ilmu psikologis, puasa ini melahirkan mental resilience dan emotional regulation
Pemaparan materi pun ditutup dengan saran-saran agar puasa dapat menjadi obat mental sebenarnya. Pertama adalah pemanasan; yaitu dengan latihan puasa dan amal ibadah lainnya sebelum datang bulan Ramadhan. Selanjutnya mengatur pola makan dan tidur; yaitu yang sesuai dengan contoh dari Rasulullah, makan dan tidur dengan cukup (tidak lebih dan tidak kurang), dan yang terakhir adalah disiplin.
Orang mungkin bertanya-tanya mengapa puasa ini bisa menjadi obat untuk mental-health. Jawabannya adalah karena yang namanya mental sehat dalam Islam itu bukanlah sekadar mengejar kebahagiaan saja, tapi ketenangan.
Orang kalau tenang, sudah pasti senang. Tapi orang senang belum tentu tenang. Maka apalah cara terbaik untuk mendapatkan ketenangan ini, selain dari memenuhi ajakan perintah-Nya?
Wallahu A’lam.
Narasumber seminar ini ialah Dr. Rahmatul Husni, guru mata pelajaran psikologi Islam di Pesantren, yang juga aktif dalam kajian gender yang sudah menulis banyak sekali artikel dan jurnal dalam hal tersebut. Dalam seminar tersebut, bu Rima —begitu panggilan akrabnya— menjelaskan bahwa puasa adalah salah satu cara dalam Islam untuk menjaga kesehatan mental.
Ini adalah suatu hal menarik, yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang yang kerap membicarakan perkara mental health. Kebanyakan hanya tahu pengobatan mental illness itu dengan terapi psikologis lewat psikolog, obat semacam anti-depresan, tapi tidak dengan puasa.
Menurut Bu Rima, umumnya orang hanya memahami kalau mental health itu berhubungan dengan pikiran (mind) seseorang saja, tidak dengan badan dan jasadnya. Itu adalah mental dalam perspektif Barat yang sekuler. Sedangkan dalam Islam, kesehatan mental itu adalah menjaga baik jasmani ataupun ruhani. Oleh sebab itu setiap muslim itu disuruh untuk shalat, tilawah dan ibadah lainnya, bersamaan dengan perintah-perintah menjaga kesehatan tubuh.
“Sebab pola makan itu sangat berdampak terhadap kesehatan mental seseorang,” tegas bu Rima berkali-kali mengingatkan dalam seminar ini.
Sebagai sebuah bukti dari statementnya, Ibu lima anak tersebut menjelaskan bahwa puasa dapat melatih banyak aspek mental seseorang. Seperti self-control, emotional balance, yang dengannya menyebabkan cognitive detox. Inilah mengapa dengan puasa seseorang itu dilatih untuk menahan diri dari segala perbuatan yang dilarang; baik yang wajib dilakukan; makan dan minum serta hal membatalkan lainnya, juga yang sangat disarankan; menjaga diri dari amarah berlebih dsb.
“Di sinilah ‘Limbah pikiran dan jasad seseorang itu dibuang,” paparnya. Jika dalam ilmu psikologis, puasa ini melahirkan mental resilience dan emotional regulation
Pemaparan materi pun ditutup dengan saran-saran agar puasa dapat menjadi obat mental sebenarnya. Pertama adalah pemanasan; yaitu dengan latihan puasa dan amal ibadah lainnya sebelum datang bulan Ramadhan. Selanjutnya mengatur pola makan dan tidur; yaitu yang sesuai dengan contoh dari Rasulullah, makan dan tidur dengan cukup (tidak lebih dan tidak kurang), dan yang terakhir adalah disiplin.
Orang mungkin bertanya-tanya mengapa puasa ini bisa menjadi obat untuk mental-health. Jawabannya adalah karena yang namanya mental sehat dalam Islam itu bukanlah sekadar mengejar kebahagiaan saja, tapi ketenangan.
Orang kalau tenang, sudah pasti senang. Tapi orang senang belum tentu tenang. Maka apalah cara terbaik untuk mendapatkan ketenangan ini, selain dari memenuhi ajakan perintah-Nya?
Wallahu A’lam.