Peringatan Nuzulul Qur’an: Sejauh Mana Al-Qur’an Turun di Hati Kita?
Oleh: Rayanara & Alif Rahman (Santri Pesantren At-Taqwa Depok, 15 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Alumni Al-Azhar Kairo jurusan Tafsir dan Ulumul Qur’an, Ustadz Bana Fatahillah Lc., M.Ag, mengatakan bahwa memperingati peristiwa nuzulul qur’an melalui halaqah ilmu seperti ini adalah satu hal baik. Di luar sana ada yang menyalahkan peringatan nuzulul quran karena menurutnya 17 Ramadhan bukanlah waktu turunnya al-Quran. “Itu berarti dia tidak memahami sejarah dan belum membaca tafsir ulama,” ujar ustadz Bana.
Alumnus Gontor 2014 tersebut pun menjelaskan 3 fase turunnya al-Quran. Pertama, turunnya ke lauh mahfuzh yang tidak diketahui kapan dan bagaimananya. Kedua, ke langit bumi atau Baitul ‘Izzah. Banyak ulama yang mengatakan bahwa turunnya Al-Qur’an pada fase ini terjadi pada malam Lailatul Qadar. Ketiga ialah kepada nabi secara gradual yang diawali pada tanggal 17 Ramadhan atau yang bertepatan dengan peristiwa Perang Badar.
Inilah mengapa banyak dari kita memperingati al-Quran di tanggal 17 Ramadhan. Ujar Ustadz Bana. Para ulama bersandar kepada ayat 41 dari surat Al-Anfal yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan bertepatan dengan bertemunya dua kelompok (yaum al-Taqa al-Jam’an). Para ulama pun menafsirkan kejadian tersebut sebagai Perang Badar, yang di mana pasukan Muslim dan pasukan kafir Quraisy bertemu dan berperang pada tanggal 17 Ramadhan.
Namun sebagian ulama, lanjut ustadz Bana, menambahnya kepada bagian keempat, yaitu turun ke hati para manusia. Untuk sampai ke hati kita, menurut Ustadz Bana, salah satu cara terpenting adalah dengan diyakini sejak dalam pikiran, bahwa ia adalah Kalamullah yang lafaz dan maknanya dari Allah, barulah kemudian dijaga dengan lisan dan amalan.
Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan dari Nabi Muhammad saw. Membuktikannya mudah. Cukup memahami bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat peristiwa ghaib di luar jangkauan Rasulullah. Seperti kisah Nabi Yusuf yang begitu detail di surat Yusuf, kisah Ashabul Kahfi, Nabi Musa dan Nabi Khidir di surat Al-Kahfi.
“Bahkan ada surat Al-Lahab yang terang-terangan mengutuk Abu Lahab karena permusuhannya terhadap Nabi Muhammad dan Islam. Dan benar, Abu Lahab mati tanpa pernah sedikit pun mengakui bahwa dirinya mempercayai Islam. Hal ini cukup membuktikan bahwa Qur’an adalah wahyu Allah, bukan dari nabi Muhammad” jelas Ustadz Bana.
Terlebih lagi, Nabi Muhammad itu ummiy, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Artinya hal ini semakin membuktikan bahwa Nabi Muhammad itu bukanlah pengarang Al-Qur’an, tidak ada satu pun peran Nabi Muhammad dalam turunnya Al-Qur’an. Nabi Muhammad hanyalah sebagai penyampai Al-Qur’an saja.
Mudir Pesantren At-Taqwa menambahkan, Dr. Muhammad Ardiansyah, supaya Al-Qur’an benar-benar masuk ke dalam hati kita, di antara cara lainnya adalah dengan mengamalkan wahyu Al-Qur’an yang pertama: “Iqra’ bismi Rabbika alladzi khalaq,” bacalah dengan nama Tuhanmu.
Ustadz Ardi menjelaskan bahwa kata “Iqra’” bisa dimaknai secara leterlek, yakni “membaca”, bisa pula dimaknai secara umum, yaitu segala aktivitas keilmuan yang berkenaan dengan membaca, salah satunya adalah memahami berpikir dalam rangka memahami makna yang dibaca.
Maka, mengamalkan wahyu pertama adalah dengan mempelajari cara membaca Al-Qur’an menggunakan ilmu Tahsin dan Tajwid dan dengan memahami makna yang terkandung di setiap ayat dalam Al-Qur’an menggunakan ilmu-ilmu bahasa Arab disertai hati yang bersih.
“Imam al-Ghazali mengatakan, sebagaimana Al-Qur’an yang tidak boleh disentuh oleh seseorang yang fisiknya kotor alias berhadats, maka makna Al-Qur’an pun akan terhijab dari orang-orang yang kotor hatinya,” jelas Ustadz Ardi.
“Maka dari itu jika kita ingin memahami Al-Qur’an kita diharuskan untuk membersihkan hati kita. Taqwa tidak hanya secara zahir tapi juga secara batin. Jika kita bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan ilmu-Nya kepada kita, memberi rahasia Qur’an kepada kepada kita,” tuturnya lagi.
Setelah dipelajari, langkah berikutnya adalah mengamalkan apa yang telah dibaca dan dipahami di dalam keseharian kita. Sebab, pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengubah akhlak manusia menjadi baik.
Dalam Hadits, dijelaskan bahwa Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an (HR. Muslm) dan beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia (HR. Al-Baihaqi). Nabi adalah yang terbaik dalam memberi teladan saat memerintah atau melarang. Mengutip perkataan imam Al-Bushiri, ustadz Ardi menegaskan“Nabi kita adalah penganjur kebaikan dan pencegah kemungkaran, tidak seorangpun lebih baik daripada ia dalam berkata tidak dan ya,”
Di antara nilai-nilai dalam Al-Qur’an yang Ustadz Ardi sorot dan ditekankan untuk diamalkan: bersabar, disiplin dengan menghormati waktu dan menepati janji, selalu berpihak dan membela kebenaran, selalu peduli dengan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan masih banyak lagi.
“Maka dari itu sebagai umat Nabi Muhammad, kita perlu memahami bahwa peristiwa Nuzulul Qur’an tidak hanya sebatas menjadi peristiwa turunnya Al-Qur’an saja, tapi juga menjadi evaluasi bagi kita apakah nilai-nilai akhlak kita pada kehidupan sehari-hari sudah sesuai dengan ajaran Al-Qur’an atau belum,” pungkas Ustadz Ardi.
Alumnus Gontor 2014 tersebut pun menjelaskan 3 fase turunnya al-Quran. Pertama, turunnya ke lauh mahfuzh yang tidak diketahui kapan dan bagaimananya. Kedua, ke langit bumi atau Baitul ‘Izzah. Banyak ulama yang mengatakan bahwa turunnya Al-Qur’an pada fase ini terjadi pada malam Lailatul Qadar. Ketiga ialah kepada nabi secara gradual yang diawali pada tanggal 17 Ramadhan atau yang bertepatan dengan peristiwa Perang Badar.
Inilah mengapa banyak dari kita memperingati al-Quran di tanggal 17 Ramadhan. Ujar Ustadz Bana. Para ulama bersandar kepada ayat 41 dari surat Al-Anfal yang menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan bertepatan dengan bertemunya dua kelompok (yaum al-Taqa al-Jam’an). Para ulama pun menafsirkan kejadian tersebut sebagai Perang Badar, yang di mana pasukan Muslim dan pasukan kafir Quraisy bertemu dan berperang pada tanggal 17 Ramadhan.
Namun sebagian ulama, lanjut ustadz Bana, menambahnya kepada bagian keempat, yaitu turun ke hati para manusia. Untuk sampai ke hati kita, menurut Ustadz Bana, salah satu cara terpenting adalah dengan diyakini sejak dalam pikiran, bahwa ia adalah Kalamullah yang lafaz dan maknanya dari Allah, barulah kemudian dijaga dengan lisan dan amalan.
Ia menegaskan bahwa Al-Qur’an bukanlah karangan dari Nabi Muhammad saw. Membuktikannya mudah. Cukup memahami bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat peristiwa ghaib di luar jangkauan Rasulullah. Seperti kisah Nabi Yusuf yang begitu detail di surat Yusuf, kisah Ashabul Kahfi, Nabi Musa dan Nabi Khidir di surat Al-Kahfi.
“Bahkan ada surat Al-Lahab yang terang-terangan mengutuk Abu Lahab karena permusuhannya terhadap Nabi Muhammad dan Islam. Dan benar, Abu Lahab mati tanpa pernah sedikit pun mengakui bahwa dirinya mempercayai Islam. Hal ini cukup membuktikan bahwa Qur’an adalah wahyu Allah, bukan dari nabi Muhammad” jelas Ustadz Bana.
Terlebih lagi, Nabi Muhammad itu ummiy, tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis. Artinya hal ini semakin membuktikan bahwa Nabi Muhammad itu bukanlah pengarang Al-Qur’an, tidak ada satu pun peran Nabi Muhammad dalam turunnya Al-Qur’an. Nabi Muhammad hanyalah sebagai penyampai Al-Qur’an saja.
Mudir Pesantren At-Taqwa menambahkan, Dr. Muhammad Ardiansyah, supaya Al-Qur’an benar-benar masuk ke dalam hati kita, di antara cara lainnya adalah dengan mengamalkan wahyu Al-Qur’an yang pertama: “Iqra’ bismi Rabbika alladzi khalaq,” bacalah dengan nama Tuhanmu.
Ustadz Ardi menjelaskan bahwa kata “Iqra’” bisa dimaknai secara leterlek, yakni “membaca”, bisa pula dimaknai secara umum, yaitu segala aktivitas keilmuan yang berkenaan dengan membaca, salah satunya adalah memahami berpikir dalam rangka memahami makna yang dibaca.
Maka, mengamalkan wahyu pertama adalah dengan mempelajari cara membaca Al-Qur’an menggunakan ilmu Tahsin dan Tajwid dan dengan memahami makna yang terkandung di setiap ayat dalam Al-Qur’an menggunakan ilmu-ilmu bahasa Arab disertai hati yang bersih.
“Imam al-Ghazali mengatakan, sebagaimana Al-Qur’an yang tidak boleh disentuh oleh seseorang yang fisiknya kotor alias berhadats, maka makna Al-Qur’an pun akan terhijab dari orang-orang yang kotor hatinya,” jelas Ustadz Ardi.
“Maka dari itu jika kita ingin memahami Al-Qur’an kita diharuskan untuk membersihkan hati kita. Taqwa tidak hanya secara zahir tapi juga secara batin. Jika kita bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan ilmu-Nya kepada kita, memberi rahasia Qur’an kepada kepada kita,” tuturnya lagi.
Setelah dipelajari, langkah berikutnya adalah mengamalkan apa yang telah dibaca dan dipahami di dalam keseharian kita. Sebab, pada dasarnya, Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengubah akhlak manusia menjadi baik.
Dalam Hadits, dijelaskan bahwa Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an (HR. Muslm) dan beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia (HR. Al-Baihaqi). Nabi adalah yang terbaik dalam memberi teladan saat memerintah atau melarang. Mengutip perkataan imam Al-Bushiri, ustadz Ardi menegaskan“Nabi kita adalah penganjur kebaikan dan pencegah kemungkaran, tidak seorangpun lebih baik daripada ia dalam berkata tidak dan ya,”
Di antara nilai-nilai dalam Al-Qur’an yang Ustadz Ardi sorot dan ditekankan untuk diamalkan: bersabar, disiplin dengan menghormati waktu dan menepati janji, selalu berpihak dan membela kebenaran, selalu peduli dengan mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan masih banyak lagi.
“Maka dari itu sebagai umat Nabi Muhammad, kita perlu memahami bahwa peristiwa Nuzulul Qur’an tidak hanya sebatas menjadi peristiwa turunnya Al-Qur’an saja, tapi juga menjadi evaluasi bagi kita apakah nilai-nilai akhlak kita pada kehidupan sehari-hari sudah sesuai dengan ajaran Al-Qur’an atau belum,” pungkas Ustadz Ardi.