Pesan Penting Di Balik Bab Terakhir Jurumiyyah

Oleh: Bana Fatahillah, Lc. (Direktur Shoul-Lin Al-Islami, Pesantren At-Taqwa tingkat SMP)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Sabtu (9/6/2023) kemarin saya menghkatamkan matan Jurumiyyah bersama santri. Mereka setingkat kelas VIII di sekolah menengah. Kurang lebih satu tahun kami berinteraksi dengan buku ini. Tidak hanya dibaca, ia juga dihafal, dijelaskan dan diberi catatan.

Jurumiyyah adalah buku ringkas dalam ilmu nahwu. Keberkahannya sudah terbukti. Silakan cek seluruh pembelajaran nahwu di berbagai dunia. Buku ini hampir pasti dipakai. Sekalipun tidak secara fisik, metodenyalah yang diadopsi dan diserap dalam diktat pembelajaran nahwu. 

Dimulai dengan bab kalam diakhiri dengan bab makhfuudat, yakni isim-isim yang dibaca khafd. Sebuah pertanyaan imajiner muncul. Mengapa Ibnu Ajrum, penulis, tidak menutup bukunya dengan lafadz-lafadz khatimah, seperti shalawat, hamdalah atau doa? Namun justru menutupnya dengan bab makhfuudhat yang berakhir pada “khātamu hadÄ«din” (cincin dari besi). 

Sudah Ditutup

Pertanyaan ini dijawab oleh Ahmad bin Hamdun atau yang terkenal dengan Ibnul Haj dalam kitab Al-‘Aqd Al-Jawhariy min Fath al-Hay al-Qayyûm fî Halli Syarh al-Azhariy ‘Ala Muqaddimati Ibni Ajrûm. (Buku komentar atas Syarah Khalid Azhari atas matan Ajrumiyyah). 

Menurutnya, Ibnu Ajrum sudah menutup bukunya dengan lafadz khatimah. Bahkan memberikan pesan tersirat di balik bab terakhir dalam bukunya, yaitu makhfudhat.

Kalimat khātamu hadÄ«din sudah mewakili kata penutup itu. Sebab lafadz “khâtam” memiliki akar kata kha-ta-ma yang berarti menyudahi, menutup. Adapun kata ‘hadîdin’ diambil dari kata hādd yang berarti tajam atau pasti. Kata ibnul Haj, ini adalah isyarat bahwa penulis ingin memastikan, meyakinkan, bahwa karyanya tidak diperuntukkan untuk siapapun kecuali Allah Swt. Hebatnya, makna ini diwakilkan dengan dua kata saja. 

Inilah Pesan Pentingnya

Ada pesan tersirat di balik penempatan bab makhfudaat di akhir Jurumiyyah. Makhfûdhât mempunyai asal kata kha-fa-dha yang memiliki makna rendah. Dalam kamus al-Wajîz dijelaskan bahwa kata خفض bermakna lemah lembut terhadap sesama dan bersifat rendah hati. Dalam Al-Quran, saat mewasiatkan sifat lemah lembut kepada orang tua Allah berfirman: 

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذّلّ مِنَ الرحمة

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang.”

Dari sini Ibnul Haj mengeluarkan interpretasi sufistik. Menurutnya penempatan bab ini di akhir bukan ketidaksengajaan atau asal-asalan. Seakan penulis ingin memberi pesan kepada mereka yang telah membaca atau selesai mengajari kitabnya untuk senantiasa rendah hati, tidak ‘merasa’ sempurna atau lebih pintar. 

“Siapa saja yang diberikan peran oleh Allah Swt untuk mengajarkan ilmu atau mengarang sebuh buku, hendaknya tidak merasa congkak atau merasa lebih sempurna dari yang lainnya setelah pekerjaan itu selesai. Akan tetapi seharusnya ia bersifat rendah hati dan tawadu serta meninggalkan rasa angkuh; karena sifat-sifat tersebut akan mengakibatkan pada kehancuran,” tulis Ibnul Haj.  

Ia turut mengutip nasihat Syekh Zarruq kepada muridnya: Hindarilah sifat sombong atau sifat merasa, seperti perkataan “aku adalah orang alim” (anā ‘ālim) atau “aku lebih baik dari si fulan” (anā khoirun minhu). Sebab cepat atau lambat perkataan seperti ini akan membinasakan dirinya sebagaimana orang-orang sebelum mereka yang telah dibinasakan. 

Ada 3 makhluk Allah yang binasa dengan perkataan seperti ini. Pertama adalah Iblis, yang pernah berkata “saya lebih baik dari manusia; diciptakan dari api sedangankan ia (manusia) dari tanah” (Qs. Al-A’raf: 12). Ia pun pada akhirnya dilaknat oleh Allah dan dikeluarkan dari surga-Nya.  

Makhluk kedua adalah Fir’aun yang mengatakan “Sayalah tuhan kalian yang agung” (Qs. Al-Naziat: 24). Sosoknya pun ditenggelamkan dan diabadikan sebagai bentuk pelajaran. 

Ketiga adalah Qorun yang pernah berkata “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (Qs. Qashah: 78), sehingga ia beserta hartanya pun habis ditelan oleh bumi.      

Sifat tercela ini, yakni ‘merasa lebih baik’ ini telah lama di-warning oleh Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda

“Akan datang suatu kaum yang membaca al-Quran. Kemudian mereka berkata “adakah yang lebih alim dari kami?”“adakah yang lebih faqih dari kami” dan “adakah yang lebih bagus bacaannya dari kami”. Kemudian Rasulullah bertanya pada sahabatnya: “Apakah kalian melihat kebaikan dalam diri mereka?” Sahabat pun menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui yang demikian.” Rasulullah pun menjawab: “Mereka semua adalah yang akan disiksa oleh api neraka kelak.” (HR Thabrani)

Bagaimanapun keadaannya, manusia tidak pantas mendaku dirinya pintar. Sebab –sebagaimana dalam Al-Quran—di atas orang yang pintar ada yang Maha Pintar (wa fauqa kulli dzÄ« ilmin alÄ«m). Diriwayatkan bahwa Muqatil bin Sulaiman pernah menantang para muridnya untuk menanyakan apa yang ada di bawah Arsy dan di bawah bumi, yakni berbagai hal. Seseorang berdiri dan bertanya, “beritahu kami apa warna anjing Ashabul kahfi?”. Ia pun terdiam karena tidak tahu. 

Karenanya sebuah pepatah Arab mengatakan: 

وقل لمن يدعي في العلم معرفة # علمت شيئًا وغابت عنك أشياء

“Dan katakanlah bagi mereka yang merasa dirinya berilmu, kau hanya mengetahui satu hal tapi bodoh akan banyak hal”

Inilah pesan pentingnya. Seseorang, khususnya yang dikaruniai ilmu, harus terus bersifat rendah hati, jangan sombong, dan jangan pernah merasa lebih baik. 

Maka jelaslah, bahwa bab makhfûdhât memiliki nasehat penting dalam hal kerendahan hati dan sifat tawadhu. Seakan Ibnu Ajrum ingin berpesan pada pembaca tentang pentingnya sifat mulia ini usai membaca atau mengajarkan kitab miliknya. 

Jangan sombong dan angkuh jika sudah selesai membacanya. Sebab nahwu belum tuntas di level Ajrumiyyah. Di atasnya masih ada buku nahwu yang lebih tinggi. Jangan sombong jika sudah mengajarkannya, sebab yang kamu ketahui hanyalah sedikit dari apa yang ada dalam ilmu nahwu. Lagian, apa yang hendak kita bangga dan sombongkan, jika semua ilmu yang kita miliki adalah pemberian Allah Swt. Pepatah mengatakan, bersifatlah seperti padi, semakin meninggi semakin merunduk. 

Wallahu a’lam bi al-Shawab. 

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086