Begini Cara Islam Memandang Bencana Alam
Oleh: Adzkia Afifah Effendi (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Pembina Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Adian Husaini, pada Ahad (7/12/25) mengingatkan kembali kepada para santri tentang pentingnya memandang segala sesuatu dengan pandangan Islam (Islamic worldview).
Uniknya, materi tersebut disampaikan dengan menyertakan berita yang masih hangat dibicarakan saat ini, yakni tragedi banjir bandang dan longsor di Provinsi Sumatra. Hal ini membuat para santri bersemangat dan antusias untuk mendengarkan tausiyah Shubuh itu.
Sebagaimana kita tahu, bahwasanya bencana ini terjadi akibat eksploitasi hutan yang berlebihan, sungai dangkal dan curah hujan yang tidak wajar. Penggundulan hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab berhasil membuat tanah Indonesia kehilangan sebagian besar “organ tubuhnya”. Menjadikannya lemah dan rawan terkena bancana.
Di samping itu, kuantitas air hujan yang biasanya turun selama satu bulan, diguyur di Sumatra hanya dalam waktu beberapa hari. Oleh karenanya, sungai pun meluap dan airnya melahap pemukiman warga. Akhirnya, tidak sedikit korban yang meninggal, luka-luka, bahkan menghilang.
Dalam menyikapi peristiwa ini, kata Ustadz Adian, ada sebagian orang yang hanya menilainya dari segi fisik, yang kasat mata. Dalam pandangannya, bencana yang menimpa Sumatra adalah karena kemarahan alam belaka.
“Akhirnya, karena pandangan itu, mereka berupaya untuk menanggulanginya hanya dengan berbagai cara yang sifatnya zahir, seperti reboisasi hutan kembali dan semacamnya,” ujarnya.
Cara pandang yang hanya mencukupkan pada dimensi “fisik” atau “empiris” semacam itu merupakan cara pandang sekuler. Mereka memisahkan unsur fisika dan metafisika yang pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan.
“Akibatnya, mereka memahami realitas secara parsial, tidak utuh,” tegas Ustadz Adian.
Ketika memandang bencana tersebut, mereka sebatas tahu—misalnya—bahwasanya banjir terjadi akibat curah hujan yang tidak wajar. Hujan datang dari awan yang menampung air-air yang menguap dari permukaan bumi, kemudian awan-awan tersebut mengarah ke sana.
Padahal, pergerakan awan yang mengarah ke Sumatera bukanlah atas kehendak awan itu sendiri. Karena awan tidak berkehendak. Melainkan karena ada suatu Dzat yang menghendaki awan itu bergerak ke sana. Lalu siapakah Dzat yang menggerakkan awan-awan itu? Mereka pasti bingung untuk menjelaskannya.
Sebagai orang Islam, kita mengetahui bahwasanya ilmu tidak bisa didapat hanya dengan panca indera dan akal, melainkan juga butuh khabar shadiq berupa wahyu. Oleh karenanya, kita selalu beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan ini tidak akan pernah luput dari kehendak Allah.
“Kita memandang realitas dari aspek akidah dan syariah, mengakui akan peranan sebab atas terjadinya akibat, namun di luar semua itu, ada ketentuan dan kemahakuasaan Allah yang mengaturnya,” jelas Doktor Pemikiran dan Peradaban Islam itu.
Dengan pandangan yang integral itu, yang menggabungkan dimensi dunia dan akhirat, penanggulangan terhadap bencana yang dilakukan juga akan utuh: tetap melakukan reboisasi, ditambah dengan berupaya untuk semakin dekat dan taat kepada Allah, juga semakin terdorong untuk melakukan amar ma`ruf nahi munkar.
Di sisi lain, perlu diketahui bahwa tujuan Allah menghadirkan musibah adalah sebagai teguran bagi orang-orang yang tidak beriman dan ujian bagi orang-orang yang beriman. Maka sepatutnya, musibah yang menimpa Sumatra dapat menyadarkan orang-orang yang belum beriman dan menaikkan derajat orang-orang yang beriman, yang lulus dari ujian tersebut.
Ketika kita berpandangan secara islami, hidup akan terasa jauh lebih tenang. Karena kita yakin bahwasanya ada hikmah yang terkandung di dalam setiap peristiwa di dunia. Kita juga percaya bahwa setelah kehidupan yang singkat di dunia, akan ada kehidupan yang kekal di akhirat.