Peradaban Islam Masih Hidup: Dr. Mohd Hilmi Ramli Ingatkan Bahaya Minder dan Keliru Memahami Agama
Oleh: Bana Fatahillah, Lc, M.Ag. (Direktur SMA At-Taqwa College Depok)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Pada sesi penutupan Festival of Ideas di RZS-CASIS UTM pada Rabu (19/11), Dr. Mohd Hilmi bin Ramli menegaskan bahwa peradaban Islam bukan sekadar sejarah masa lalu, melainkan realitas hidup yang terus wujud, sepanjang masih ada umat Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu agamanya.
Ia menekankan pesan Prof. Diraja Terpuji Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa umat Islam tidak boleh kecewa atau rendah diri, seolah-olah peradaban Islam telah runtuh sepenuhnya. “Selama ada orang Islam, selama ada pengajian ilmu Islam, maka peradaban itu tetap wujud!” tegas Direktur RZS-CASIS tersebut.
Dalam penyampaiannya, ia menjelaskan bahawa langkah pertama untuk memahami peradaban adalah memahami agama itu sendiri. Islam, menurutnya, hadir bukan hanya sebagai ajaran spiritual, tetapi sebagai kekuatan pembentuk sejarah dunia. Sumbangan saintifik, rasional, dan intelektual umat Islam menjadi salah satu pondasi yang kemudian membentuk tamadun Barat.
Doktor lulusan CASIS itu menyebut contoh ulama seperti al-Thabari, Ibn Katsir, dan al-Nuwairi, yang menulis sejarah sejak penciptaan alam. Menurut Dr. Hilmi, karya-karya itu menunjukkan betapa Islam telah memberikan kerangka pengetahuan yang membentuk cara manusia memahami dunia yang banyak dirujuk oleh ilmuwan dunia.
Ketertarikan Barat terhadap Islam bukan perkara baru. Ia menjelaskan bahwa sejak dahulu, sarjana Barat telah mengkaji Islam secara mendalam. Bahkan di ISTAC terdapat manuskrip terjemahan al-Qur’an ke bahasa Latin yang diberi pengantar oleh Martin Luther, tokoh besar reformasi Kristen.
Menurut Dr. Hilmi, kajian Barat terhadap Islam berkembang melalui tiga fasa: mengaji al-Qur’an, lalu mengaji tradisi dalaman (seperti metafizik, akidah, fiqah, sirah dan hadis), dan akhirnya mengaji masyarakat Muslim (sosiologi, ekonomi, dan antropologi). Ada yang mendekatinya dengan tulus ilmiah, dan ada pula yang sengaja mencari kesilapan.
Dalam konteks tantangan hari ini, Dr. Hilmi mengaitkan isu ini dengan paparan slide-nya mengenai sekularisasi sebagai rencana falsafah yang mengancam worldview Islam. Sekularisasi, integrasi ilmu tanpa tapisan, dan pemaksaan saintifikasi terhadap semua bentuk pengetahuan telah mengaburkan makna konsep-konsep penting dalam Islam seperti agama, insan, ilmu, alam, dan pendidikan.
Maka, memahami peradaban Islam membutuhkan pemahaman worldview Islam itu sendiri atau ru’yah al-Islam li al-wujud, cara Islam melihat realitas.
Mengutip laporan Pew Research, Dr. Hilmi mengingatkan bahwa Islam masih menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa peradaban Islam bukan hanya hidup, tetapi terus berkembang.
Ia menutup dengan penegasan bahwa umat Islam harus kembali percaya diri terhadap agamanya, memahami peradabannya, dan menjaga kesinambungan ilmu yang diwariskan para ulama. “Islam telah membentuk tamadun dunia,” ujarnya, “dan tugas kita hari ini adalah memastikan cahaya itu terus menyala.”