Bagaimana Memahami Sejarah dan Berpikir Sejarah!
Oleh: Bana Fatahillah, Lc, M.Ag
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
“Bagaimana kita memahami sejarah?” menjadi pertanyaan pembuka Dr. Akmal Sjafril dalam Subuh Insight from Malaysia, Selasa (18/11/2025) di Masjid Hotel Alamis, Kuala Lumpur.
Dr. Akmal menjelaskan bahwa istilah sejarah diambil dari bahasa Yunani “Historia” yang berarti to inquire something, yaitu usaha untuk mengetahui sesuatu. Dengan kata lain, sejarah pada mulanya bukan nama disiplin ilmu tertentu, tetapi sebuah metode pencarian pengetahuan. Karena itu, sampai sekarang pun sejarah masih diperdebatkan apakah ia merupakan ilmu, metode, atau keduanya.
Kesalahpahaman umum masyarakat adalah mengira bahwa sejarawan “tahu semua hal tentang masa lalu”, padahal seorang sejarawan hanya menguasai bidang atau periode yang ia teliti secara khusus (confined by time and place).
Pada awalnya, istilah sejarah justru sering digunakan dalam dunia kedokteran. Seorang dokter bertanya kepada pasien mengenai riwayat makanan, aktivitas, dan gejala—dan riwayat itulah yang disebut history. Ketika dokter bertanya, “Kemarin makan apa?” maka di situlah sejarah bekerja.
Artinya sejarah adalah kegiatan mengetahui sesuatu berdasarkan penelusuran terhadap masa lalu,” ujar Doktor lulusan UI itu
Urgensi Memahami Sejarah
Jika seseorang salah dalam memahami sejarah, maka ia akan salah dalam merancang masa depan. Belajar sejarah pun bukan untuk romantisme atau bernostalgia, itu hanya akan menjadikan seseorang sebagai antiquarian, orang yang mengoleksi benda klasik dan antik tanpa relevansi. Sejarah dikaji untuk merancang masa depan.
Dalam Islam pun sejarah memiliki kedudukan sangat penting. Allah berfirman: “Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah (Allah) Oleh karena itu, berjalanlah di (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan para pendusta (rasul-rasul)” (Qs. Ali Imran: 137)
Ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca masa lalu, tetapi mengamati pola dan pelajaran (sunnatullah) yang abadi sepanjang zaman. Pelajaran itu bukan untuk umat masa lalu, tetapi untuk kita hari ini
Sejarah juga menjadi sumber inspirasi. Tidak heran pembelajaran sejarah merupakan salah satu kurikulum wajib bagi para pangeran di banyak peradaban besar. Jika setiap hari kita mendengar kisah orang-orang besar—pemimpin, ulama, penakluk—maka mentalitas kita akan terbentuk oleh keteladanan. Sebaliknya, jika yang kita konsumsi setiap hari adalah konten dangkal, maka itulah nilai yang tertanam pada diri.
“Kita diperintahkan oleh Allah memperhatikan umat-umat terdahulu. Tentu saja bukan buat mereka, tapi buat kita hari ini untuk jangan sampai. Pelajaran itu abadi buat kita!”
Makna Sejarah
Dr. Akmal menjelaskan bahwa makna sejarah yang pertama adalah masa lampau itu sendiri. Namun, apakah manusia dapat mengetahui masa lampau secara detail dan menyeluruh? Jawabannya tidak.
Sejarah bersifat humanistik, bergantung pada apa yang disaksikan manusia. Dari seluruh kejadian: hanya sebagian yang disaksikan. Dari yang disaksikan hanya sebagian yang dicatat. Dari yang dicatat hanya sebagian yang sampai kepada kita, dan dari yang sampai hanya sebagian yang dipelajari.
Karena itu makna kedua sejarah adalah narasi tentang masa lampau, namun tidak pernah lengkap sepenuhnya. Di sinilah sejarah bersinggungan erat dengan sastra. Produk akhir seorang sejarawan bukan sekadar data, tetapi cara ia mengisahkan masa lampau secara representatif, jujur, dan proporsional. Di sinilah letak keilmuan sejarah: bagaimana menarasikan masa lalu secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan, meskipun tidak pernah lengkap.
Kesadaran ini membuat seorang penuntut sejarah merendah dan mengakui keluasan ilmu Allah, sementara manusia hanya mengetahui sebagian kecil saja.
Berpikir Sejarah
Jika sejarah adalah usaha mengetahui sesuatu, maka berpikir sejarah (historical thinking) adalah kemampuan penting bagi siapa pun, bukan hanya sejarawan. Dr. Akmal menyebut tiga fondasi berpikir sejarah:
1. Difference (Mengenali Perbedaan)
Tidak ada dua peristiwa sejarah yang benar-benar identik.
Kerap muncul klaim bahwa “sejarah berulang”, padahal yang berulang adalah pola-pola umum—bukan detailnya. Misalnya, ketika konflik Suriah mencuat, ada narasi bahwa pembebasan Palestina akan berulang sebagaimana era Nuruddin Zanki. Orang melihat kemiripan permukaan (Suriah-Palestina), tetapi mengabaikan perbedaan Suriah pada masa Nuruddin adalah wilayah maju dari semua aspek, sedangkan Suriah hari ini baru bangkit dari kehancuran panjang.
Sejarawan selalu memeriksa perbedaan konteks, bukan hanya kemiripan. Maka sunnatullah bukan pada pengulangan peristiwa, melainkan pada usaha: siapa yang berusaha, dialah yang berpeluang berhasil, di mana pun dan kapan pun.
2. Mengetahui Konteks
Tidak ada peristiwa lahir dalam ruang hampa. Contoh: Narasi “Indonesia merdeka karena mengusir penjajah” tidak salah, tetapi tidak lengkap. Ada faktor lain seperti Jepang kalah perang dan dibom atom, kekosongan kekuasaan, momentum politik yang tepat
Perubahan besar selalu terkait momentum. Begitu pula banyak peristiwa politik, termasuk menggulingkan rezim atau mengakhiri perang. Momen 13 hari di Suriah atau momentum proklamasi di Indonesia menunjukkan bahwa memahami konteks adalah kunci membaca sejarah secara benar.
3. Semua Butuh Proses.
Tidak ada tokoh yang “tiba-tiba jadi”. Buya Hamka tidak lahir sebagai intelektual besar begitu saja. Ada proses panjang seperti membaca di luar kurikulum, perjalanan hidup, interaksi sosial, dinamika keluarga, ketekunan pribadi.
Dengan memahami proses ini, seseorang belajar menghargai perjalanan, bukan hanya hasil akhir.