Pengantar Ihya Ulumiddin: Tantangan Umat dan Harapan Imam Al-Ghazali

Oleh: Kayla Danish dan Farras Zahy (Santri SMA At-Taqwa College, 17 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Kamis, (24/7/2025) kemarin menjadi pertemuan pertama santri ATCO 1 (Setingkat SMA kelas 2) dengan mapel Reading Text Ihya ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (w. 505 H). Pelajaran ini diampu langsung oleh Mudir Pesantren, Dr. Muhammad Ardiansyah, sosok yang menaruh perhatian besar dengan pemikiran imam al-Ghazali. 

Ihya’ merupakan karya monumental dan masyhur. Ia telah diterbitkan dalam berbagai versi, diteliti (tahqiq), dikaji dan dijadikan rujukan utama baik oleh Sarjana Timur maupun Barat dalam pembahasan mengenai ilmu, penyucian hati atau tasawuf. Kitab ini merupakan hasil dari pengalaman, renungan, serta pandangan Imam al-Ghazali terhadap sekitarnya. 

Pertemuan pertama ini kami membabahas mukaddimah. Ust Ardi menjelaskan bahwa Ihya dilatarbelakangi oleh respon imam al-Ghazali dengan problematika umat. Sang Imam mendapati bahwa kerusakan umat Islam sangat kompleks, baik dari paradigma berpikir maupun berperilaku, baik di kalangan awam sampai ulamanya. 

Banyak ulama yang mendalami ilmu-ilmu agama hanya untuk mendapat atensi masyarakat, maupun tempat di sisi penguasa. Hal ini berimbas kepada cara pikir masyarakat terhadap ilmu itu sendiri, yang seringkali bisa mengakibatkan seseorang menjadi kufur. Bagi imam al-Ghazali, lanjut ustadz Ardi, benang merah dari permasalahan ini adalah rusaknya para ulama, yang mengakibatkan rusaknya masyarakat. Hal ini bersumber dari rusaknya niat menuntut ilmu, dan siklus ini terus berulang. 

Imam al-Ghazali bermaksud untuk memperbaiki para ulama yang ‘dianggap’ sebagai pemimpin masyarakat dalam berbagai lini kehidupan, terutama dalam urusan beragama. Jika ulama-nya cinta dunia, rusak, maka bagaimana dengan rakyat dan pemimpinnya. 

Hal lain yang mendorong imam al-Ghazali ialah adanya kekaguman berlebih di hati masyarakat dengan sains yang dibawa ilmuwan muslim seperti Ibnu sina, Al-Farabi dan lainnya. Dampak terberatnya, tidak sedikit dari masyarakat awam bahkan dari kalangan ulama melupakan ilmu agama hingga kehilangan arah, ragu bahkan sampai murtad juga menjadi atheis. Inilah mengapa kitab tersebut diberi judul Ihya’ Ulumiddin, dengan harapan menghidupkan kembali ilmu agama

Ustadz Ardi menjelaskan bahwa problematika yang ditemukan imam al-Ghazali sangat relevan dengan kasus hari ini. Di mana hari ini, banyak orang mempelajari suatu ilmu hanya sebagai “gimmick” intelektual tanpa memahami hakikat dari ilmu itu sendiri. Terlebih di era di mana informasi sangat mudah diakses melalui media sosial. Dan masalah ini, lagi-lagi disebabkan oleh rusaknya niat. Ilmu hanya sebatas guna mencari atensi, alih-alih menggapai ridha Ilahi. 

Sebagai penutup, Ustadz Ardi, mengutip Imam al-Ghazali yang menganalogikan agama sebagai sebuah kapal, dan kapal itu sedang berlubang. Jika dibiarkan, ia akan membahayakan para penumpangnya. Dan Ihya lahir untuk menambal kebocoran itu, sebelum ia menjadi musibah besar bagi umat Islam. Baik dulu, kini, dan nanti.

*Catatan #1 Pelajaran Reading Text Ihya Ulumiddin

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086