Pakar Filsafat Islam Jelaskan Tiga Macam Penyakit Manusia
Oleh: Farros Halim (Santri Pesantren At-Taqwa Depok, 17 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Pakar Filsafat Islam, Dr. Syamsuddin Arif menjelaskan macam-macam penyakit menurut al-Quran. “Tidak hanya penyakit badan, manusia juga dapat terkena penyakit pikir (akal), dan penyakit jiwa (qalb), atau yang hari ini sering disebut mental health,” ujarnya dalam majlis ilmu menjelang berbuka (MIMBAR) pada Rabu (12/3).
Sakit fisik seperti demam, flu, batuk dan lainnya sudah maklum. Dua lainnya inilah yang jarang disadari, padahal al-Quran memberikan informasi tentangnya. Contoh sakit pikiran ialah nifaq atau kemunafikan, kufur dan ateisme. Firman Allah: “Di dalam hati mereka ada penyakit.” (Qs. al-Baqarah [2]: 10).
Adapun sakit jiwa dapat kita lihat dalam firman Allah yang artinya: “Maka, janganlah kamu merendahkan suara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 32). Kata Dr. Syams, penyakit pada ayat ini ialah sakit jiwa, yakni penyakit yang membangkitkan nafsu untuk berbuat salah dan maksiat.
“Nah, dorongan-dorongan dalam diri kita untuk berbuat maksiat, berbuat jahat itulah penyakit jiwa. Misalnya dorongan dalam diri kita yang menyuruh untuk membunuh, mencuri serta melakukan zina, itu semua merupakan sakit jiwa yang mesti disembuhkan oleh ahlinya,” pungkas Pemred Majalah Gontor tersebut.
Menurut Dosen UNIDA Gontor itu, para ulama sejatinya telah memberikan berbagai resep sebagai obat atas sakit di atas. Sakit fisik perlu datang ke dokter. Sakit akal atau pikiran perlu belajar kepada ulama yang obatnya berupa kaidah berfikir sehat sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka.
Sedangkah sakit jiwa, lanjut Dr. Syams, mempunyai treatment khusus. Jika merasa ada yang menghasut, atau terdapat desiran-desiran hati untuk berbuat maksiat, maka di antara obatnya ialah berzikir dan datang kepada orang-orang saleh, sebagaimana potongan lagu tombo ati, ‘Kaping telu, wong kang sholeh kumpulono’ (Yang ketiga, berkumpullah dengan orang sholeh)
Kemudian Dr. Syams mengingatkan bahwa dzikir hanyalah bentuk “pencegahan” agar terhindar atau disembukan dari penyakit hati atau jiwa. Ini sebagaimana yang difirmakan oleh Allah, Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub. Yakni dengan berdzikir kepada Allah itulah jiwa, batin serta pikiran kita dapat tenang dan tentram.
Tentu berdzikir itu hanya satu cara untuk mengobati penyakit, ada banyak cara lain untuk mengobati satu penyakit, sebab ada banyak jalan untuk bisa sembuh. Tetapi dengan berdzikir, yakni mengingat Allah itulah dapat membuat diri kita tenang.
“Point pentingnya ialah bukan pada obat, resep dokter atau dzikir yang dapat menyembuhkan. Sebab ada orang yang berobat tetapi masih terjangkit sakit, pun ada pula seorang yang berdzikir tetapi sakit senantiasa menghampirinya. Akan tetapi kita mengingat bahwa segala penyakit itu berasal dari Allah, dan Dialah yang akan menyembuhkannya pula.”
Jika sudah berusaha, maka yang perlu kita sadari dan lakukan selanjutnya ialah yakin bahwa Allah akan menyumbahkan atas ikhtiar yang telah kita lakukan. Kita beribadah, berdzikir itu untuk mendapat keridhaan Allah. Jangan kita berpangku pada obat atau usaha kita saja, tanpa mengaitkan Allah.
“Kita harus sadar dan ingat betul bahwa sakit itu dari Allah, sehingga setelah kita berikhtiar kita serahkan segalanya kepada Allah. Sebab kesembuhan datang dari Allah. Dengan kesadaran itulah, sekalipun kita masih sakit akan menjadikan diri kita tenang dan tentram dalam menjalani hidup,” tutup Dr. Syams.
Wallahu a’lam bis shawab.
Editor: Bana
Sakit fisik seperti demam, flu, batuk dan lainnya sudah maklum. Dua lainnya inilah yang jarang disadari, padahal al-Quran memberikan informasi tentangnya. Contoh sakit pikiran ialah nifaq atau kemunafikan, kufur dan ateisme. Firman Allah: “Di dalam hati mereka ada penyakit.” (Qs. al-Baqarah [2]: 10).
Adapun sakit jiwa dapat kita lihat dalam firman Allah yang artinya: “Maka, janganlah kamu merendahkan suara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Qs. Al-Ahzab [33]: 32). Kata Dr. Syams, penyakit pada ayat ini ialah sakit jiwa, yakni penyakit yang membangkitkan nafsu untuk berbuat salah dan maksiat.
“Nah, dorongan-dorongan dalam diri kita untuk berbuat maksiat, berbuat jahat itulah penyakit jiwa. Misalnya dorongan dalam diri kita yang menyuruh untuk membunuh, mencuri serta melakukan zina, itu semua merupakan sakit jiwa yang mesti disembuhkan oleh ahlinya,” pungkas Pemred Majalah Gontor tersebut.
Menurut Dosen UNIDA Gontor itu, para ulama sejatinya telah memberikan berbagai resep sebagai obat atas sakit di atas. Sakit fisik perlu datang ke dokter. Sakit akal atau pikiran perlu belajar kepada ulama yang obatnya berupa kaidah berfikir sehat sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka.
Sedangkah sakit jiwa, lanjut Dr. Syams, mempunyai treatment khusus. Jika merasa ada yang menghasut, atau terdapat desiran-desiran hati untuk berbuat maksiat, maka di antara obatnya ialah berzikir dan datang kepada orang-orang saleh, sebagaimana potongan lagu tombo ati, ‘Kaping telu, wong kang sholeh kumpulono’ (Yang ketiga, berkumpullah dengan orang sholeh)
Kemudian Dr. Syams mengingatkan bahwa dzikir hanyalah bentuk “pencegahan” agar terhindar atau disembukan dari penyakit hati atau jiwa. Ini sebagaimana yang difirmakan oleh Allah, Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub. Yakni dengan berdzikir kepada Allah itulah jiwa, batin serta pikiran kita dapat tenang dan tentram.
Tentu berdzikir itu hanya satu cara untuk mengobati penyakit, ada banyak cara lain untuk mengobati satu penyakit, sebab ada banyak jalan untuk bisa sembuh. Tetapi dengan berdzikir, yakni mengingat Allah itulah dapat membuat diri kita tenang.
“Point pentingnya ialah bukan pada obat, resep dokter atau dzikir yang dapat menyembuhkan. Sebab ada orang yang berobat tetapi masih terjangkit sakit, pun ada pula seorang yang berdzikir tetapi sakit senantiasa menghampirinya. Akan tetapi kita mengingat bahwa segala penyakit itu berasal dari Allah, dan Dialah yang akan menyembuhkannya pula.”
Jika sudah berusaha, maka yang perlu kita sadari dan lakukan selanjutnya ialah yakin bahwa Allah akan menyumbahkan atas ikhtiar yang telah kita lakukan. Kita beribadah, berdzikir itu untuk mendapat keridhaan Allah. Jangan kita berpangku pada obat atau usaha kita saja, tanpa mengaitkan Allah.
“Kita harus sadar dan ingat betul bahwa sakit itu dari Allah, sehingga setelah kita berikhtiar kita serahkan segalanya kepada Allah. Sebab kesembuhan datang dari Allah. Dengan kesadaran itulah, sekalipun kita masih sakit akan menjadikan diri kita tenang dan tentram dalam menjalani hidup,” tutup Dr. Syams.
Wallahu a’lam bis shawab.
Editor: Bana