Menjajaki Tanda Kebesaran Ilahi Saat Trip ke Luar Negeri
Oleh: Fikri Shafin Fadhil
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Tausiyah Subuh kedua di Balai Jawi pada Rabu, 12 November, kembali diisi oleh Ustadz Bana Fatahillah, Direktur At-Taqwa College. Dalam ceramahnya, beliau mengingatkan bahwa rihlah ke luar negeri bukan semata perjalanan wisata, tetapi juga sarana tadabbur terhadap tanda-tanda kebesaran Allah Swt (ayat kauniyyah).
“Yang kita lihat bukan hanya gunung atau pantai, tapi juga manusia dan keberagaman mereka,” ujar alumni Al-Azhar Kairo tersebut
Beliau mencontohkan suasana di Malaysia yang memperlihatkan masyarakat dari berbagai bangsanya. Ada China, India, Afrika, Pakistan, dan lain-lain, yang mana memiliki bahasa dan warna kulit yang beragam. Semua itu, lanjutnya, merupakan tanda kebesaran Allah sebagaimana disebut dalam firman-Nya:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. ar-Rum [30]: 22)
Menurut beliau, lafaz alsinatikum (bahasa) menunjukkan bahwa perbedaan bahasa adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Swt. Maka sebagai pendatang atau warga asing, seharusnya kita menghargai serta menyesuaikan diri dengan adat dan bahasa setempat. Menghormati perbedaan berarti menebarkan kasih sayang dan membangun perdamaian, sebab jika perbedaan justru ditonjolkan, yang lahir adalah bibit-bibit permusuhan.
Sementara lafaz alwanikum (warna-warna) menunjukkan kebesaran Allah pada perbedaan warna kulit manusia. Di Indonesia, misalnya, kebanyakan berkulit sawo matang atau putih biasa, sedangkan di kampus internasional nanti, kata ustadz Bana, kita akan melihat beragam manusia. Hebatnya, Islam tidak membedakan kedudukan seseorang dari warna kulit, namun dari ketakwaannya.
Ayat itu ditutup dengan lafaz inna fi dzalika laayatin lilalimin yang mengisyaratkan bahwa orang berilmu semestinya semakin mengenal Allah melalui tanda-tanda-Nya. Akal dan kemampuan berpikir yang Allah anugerahkan hendaknya digunakan untuk mengenal, memahami, dan mengagungkan-Nya.
Dari kesadaran terhadap perbedaan itu, manusia belajar menempatkan diri secara tepat, bersikap beradab kepada sesama, dan berakhlak mulia. Sebab menjaga hubungan baik dengan Allah Swt memang penting, tetapi menjaga hubungan baik dengan sesama manusia jauh lebih sulit. “hablun minallah wa hablun minannas”
Ustadz Bana menutup dengan mengutip pesan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa ada perbuatan kecil yang mampu menampilkan wajah Islam di hadapan manusia. Orang yang demikian secara tidak langsung sedang berdakwah. “Jangan sampai punya gagasan besar, tetapi perilakunya biasa saja,” ujarnya
Mengutip pesan Imam al-Ghazali, “Lisan perbuatan (hal) lebih fasih daripada lisan ucapan (maqal).”