Mengenal Lembaga Pendidikan Islam terbaik Abad ini, ISTAC

Oleh: Bana Fatahillah, Lc, M.Ag (Direktur SMA At-Taqwa College Depok)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

ISTAC atau Institute of Islamic Thought and Civilization didirikan oleh Prof. SMN al-Attas pada tahun 1987. Lembaga ini lahir sebagai kelanjutan dari gagasan besar Prof. al-Attas yang dituangkan dalam Konfrensi Pendidikan Islam pertama di Makkah (1977) dan kedua di Pakistan (1980). Selain ISTAC, pasca konfrensi tersebut lahir juga berbagai kampus seperti IIUI di Pakistan, IIUM di Kuala Lumpur dan lembaga riset IIIT (International Institute of Islamic Thought and Civilization) berpusat di Virginia, USA, dibidani Prof. Ismail Raji al Faruqi, cendikiawan Muslim kelahiran Palestina.

Dalam Sharing Session di Balai Jawi, Selasa (11/10), Dr. Nirwan yang mrrupakan salah satu alumnus ISTAC, menuturkan bahwa Prof. al-Attas telah jauh hari membaca tantangan besar yang sedang dan akan dihadapi umat Islam: kekeliruan dalam memahami ilmu, badai sekularisasi, serta hilangnya adab. Menurutnya, ISTAC adalah ikhtiar ilmiah Prof. al-Attas untuk menjawab tiga krisis tersebut.

“Beliau mendatangkan sarjana-sarjana Muslim terbaik yang competent dari berbagai negara. Dan mereka bukan sarjana sembarangan, tapi yang memiliki reputasi keilmuan yang diakui dunia, ” ujar dosen UIKA Bogor itu.

Diantaranya, misalnya, adalah Prof. Paul Lettinck, pakar sains Islam yang memiliki dua gelar doktor: Ph.D pertama (1973) dalam bidang fisika nuklir, dan Ph.D kedua (1991) dalam bidang kajian Semitik dari Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda.

Jumlah Mahasiswa ISTAC tidak banyak. Mereka pun datang dari berbagai negara dan latar belakang disiplin ilmunyang berbeda. Ada yang S1 nya dari al Azhar atau Madinah, ada juga yang dari UK dan USA. Di ISTAC mereka digodok untuk menjadi sarjana Muslim piawi. Prof. al-Attas tidak ingin mencetak banyak lulusan, tapi “singa-singa” yang langka.

Di Indonesia, dua alumni sudah menjadi guru besar: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, sekrang Rektor Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, yang langsung di supervisi oleh Prof. Al Attas dalam penulisan disertasinya di tahap awal, dan Prof. Dr. Syamsudin Arif yang saat ini meluangkan waktunya untuk mengajar Mantiq dan Filsafat Islam untuk santri at Taqwa College, Cilodong Depok.

Disamping kedua Profesor diatas, Dr. Adian Husaini, Assoc. Prof.Dr. Ugi Suharto, Dr. Iskandar Arnel, Dr. Nirwan, Adnin Armas, M.A, termasuk alumni ISTAC periode Prof. Al-Attas. Saat ini semua mereka berkiprah di dunia akademik di Indonesia. 

Dr. Nirwan dalam sharing session acara Rihlah Ilmiah santri Pesantren at Taqwa dan SMA Baitul Izzah Nganjuk Jawa Timur, sempat bercerita bagaimana keseriusan belajar di ISTAC pada waktu itu.

Dia pernah belajar Bahasa Latin di bawah bimbingan Prof. Paul Lettink, murid Prof. Hans Daiber, seorang orientalis Jerman pakar Filsafat Islam Abad Pertengahan, yang juga pernah mengajar di ISTAC. Dr. Nirwan belajar bahasa Latini bersama dengan Dr. Adian dan mahasiswa lain. Namun, hanya Dr. Nirwan dan Dr. Adian yang  mengikuti kelas Bahasa tersebut sampai tahap akhir. “Jadi kalau saya ngantuk, ya tinggal Pak Adian sendiri yang diliatin dosen,” kenangnya sambil tertawa. “Pernah juga saya satu-satunya mahasiswa di kelas karena Pak Adian berhalangan.”

Uniknya, di ISTAC dulu, mahasiswa boleh mengikuti kelas audit. Dalam arti mahasiswa boleh mengikuti kelas-kelas di luar mata kuliah wajibnya.

Kata Dr. Nirwan Prof. al-Attas merupakan sosok yang tegas dan berintegritas. Ia berani membawa para orientalis bahkan sarjana bermazhab Syiah ke ISTAC untuk mengajar kepakaran mereka, bukan menanamkan ideologi mereka. Di situlah pentingnya ruh pemimpin satu lembaga pendidikan. Beliau bukan hanya seorang pendiri atau pemimpin lembaga, tetapi ruh intelektual dan moral yang menjiwai seluruh aktivitas akademik di dalamnya.

Disaat panggung politik Malaysia berguncang, kondisi ISTAC juga berdampak. Sejak sekitar tahun 2002, ISTAC diambil alih oleh IIUM dan Prof. al-Attas tidak lagi duduk sebagai direkturnya. Di tahun 2015, ISTAC bahkan sempat dinyatakan tutup. Namun karena namanya yang mengharumkan Malaysia, banyak yang mendesak agar  ISTAC kembali diaktifkan. tahun 2017 pun ISTAC kembali aktif, namun dengan suasana yang berbeda, karena ruh ISTAC nya, yaitu Prof. Al Attas, tidak lagi disana. Jadi ISTAC pasca kepemimpinan al-Attas bahyak mengalami perubahan.

Di hadapan para santri, Dr. Nirwan meminta para santri bersyukur karena di usia yang belia ini mereka telah mengkaji buku-buku Prof. al-Attas. “al-Attas ini ibarat dokter spesialis yang berhasil mendiagnosa penyakit umat Islam modern. Meski ditulis 40 tahun yg lalu tapi isinya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, bahkan bisa dikatakan lebih relevan saat ini dibanding ketika buku itu ditulis. Ini menunjukkan ketajaman dan kedalaman pemikiran beliau. Nah, antum beruntung, karena di umur kalian yang sangat belia ini, kalian semua sudah membaca dan mempelajari beberapa karya-karya beliau. Ini perlu disyukuri!”

Dr. Nirwan adalah alumni ISTAC yang fokus pada kajian pemikiran Islam kontemporer. Disertasinya di ISTAC berjudul, “A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosopical Discourse with Special Reference to Muhammad Abid al Jabiri”. 

Disertasi Dr. Nirwan ini dikatakan Prof. Dr. Muddathir Abdel Rahim, salah satu penguji asal Sudan, sebagai sebuah disertasi yang sangat baik.  Lebih jauh, kata Prof. Muddathir:  ”In general, this is a very good thesis. The candidate has chosen an important topic for his thesis. He has read widely and intelligently the various aspects of the topic in question and has demonstrated good ability in analyzing and evaluating the many issues involved.”

Di akhir beliau berpesan kepada para santri bahwa “Dalam belajar diperlukan kesabaran dan ketabahan di samping tentunya ketekunan dan kerajinan. Dan sebagaimana yang disampaikan Prof. Wan kemarin, belajarlah dengan tulus, ikhlas dan senantiasa rendah hati.” 

Kuala Lumpur, 
13 Nov 2026

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086