Memahami Hakikat Hati, Menjadi Manusia Sejati
Oleh: Khalidah Abdullah (Santriwati Pesantren At-Taqwa Depok, 17 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Kalimat Aql is qalb, qalb is ‘Aql merupakan satu kesimpulan singkat mengenai materi MIMBAR ke-17 pada Senin, (17/3) yang disampaikan oleh Dr. Nirwan Syafrin, Dosen At-Taqwa College sekaligus murid langsung dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Diawal sesi, Dr. Nirwan mengutip pendapat al-Attas yang juga diamini oleh para ulama bahwa manusia terdiri dari dua komponen, yaitu raga dan jiwa. (man is mutual nature, body and soul). “Maka kalau tidak ada salah satunya atau bahkan keduanya, maka ia tidak disebut manusia,” tutur beliau.
Manusia merupakan ciptaan terindah dan sempurna bagaimanapun bentuk fisiknya. Allah menyebutnya dengan ahsani taqwim. Mengapa demikian? Sebab manusia diberikan sesuatu yang tidak dimiliki ciptaan Allah lainnya, yakni akal budi. Maka, kita sebagai manusia hendaknya tidak merasa rendah diri dan selalu berupaya untuk memaksimalkan segala hal telah dianugerahi.
Namun sebuah hadis nabi menjelaskan bahwa pusat manusia terdapat di hati atau al-Qalbu. Menurut ustadz Nirwan hati di sini tidak dimaknai secara fisik, namun hati secara spiritual. Dengan hati yang merupakan akal pula, ia menjadi setir terhadap berjalannya kehidupan manusia. Hati atau akal adalah kendali utama terhadap nafsu yang ada dalam diri kita.
Dosen UIKA Bogor tersebut melanjutkan bahwa sebagai seorang manusia dan seorang muslim, kita hendaknya menundukkan nafsu hewani (nafs al-Hayawaniyyah) seperti makan, minum, tidur dan sebagainya dengan nafsu akal pikiran yang sehat (nafs al-Natiqah) sehingga tidak hanya fokus pada kenikmatan badan atau fisik. Inilah cara untuk meraih kedudukan manusia sejati.
“Kita tidak bisa sepenuhnya melepaskan nafsu hewani kita. Karena kita juga butuh makan, minum, tidur. Jadi, kita harus berfokus pada menyeimbangkan keduanya serta membuat akal menjadi kendali penuh atas diri kita. Karena itu yang membedakan kita dengan hewan,” tegas Dr. Nirwan
Jika hewan melakukan segala sesuatu semaunya tanpa memedulikan apakah itu baik atau buruk, pantas atau tidaknya. Maka manusia hendaknya memilih sesuatu dengan penuh kesadaran melalui akal yang dianugerahkan oleh Allah. Ia harus beribadah dengan segala upaya sekuat tenaganya.
Memahami makna hati seperti ini dapat menjadikan manusia bermakna alias menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang tahu akan dirinya sebagai hamba Allah dan memegang kendali penuh diri dengan menundukkan nafsu hewani di bawah akal yang sejati, serta mengikuti tuntunan kitab Ilahi. Bukan mengikuti hawa nafsu.
Hamba Allah yang sejati takkan bahagia dengan kebahagiaan fana di dunia, akan tetapi ketika ia tahu siapa dan untuk apa dirinya hidup di jalan-Nya, lalu menjalani hidup dengan ridha dan ikhlas atas apa yang telah ditentukan untuknya. Wallahu a’lam.
Diawal sesi, Dr. Nirwan mengutip pendapat al-Attas yang juga diamini oleh para ulama bahwa manusia terdiri dari dua komponen, yaitu raga dan jiwa. (man is mutual nature, body and soul). “Maka kalau tidak ada salah satunya atau bahkan keduanya, maka ia tidak disebut manusia,” tutur beliau.
Manusia merupakan ciptaan terindah dan sempurna bagaimanapun bentuk fisiknya. Allah menyebutnya dengan ahsani taqwim. Mengapa demikian? Sebab manusia diberikan sesuatu yang tidak dimiliki ciptaan Allah lainnya, yakni akal budi. Maka, kita sebagai manusia hendaknya tidak merasa rendah diri dan selalu berupaya untuk memaksimalkan segala hal telah dianugerahi.
Namun sebuah hadis nabi menjelaskan bahwa pusat manusia terdapat di hati atau al-Qalbu. Menurut ustadz Nirwan hati di sini tidak dimaknai secara fisik, namun hati secara spiritual. Dengan hati yang merupakan akal pula, ia menjadi setir terhadap berjalannya kehidupan manusia. Hati atau akal adalah kendali utama terhadap nafsu yang ada dalam diri kita.
Dosen UIKA Bogor tersebut melanjutkan bahwa sebagai seorang manusia dan seorang muslim, kita hendaknya menundukkan nafsu hewani (nafs al-Hayawaniyyah) seperti makan, minum, tidur dan sebagainya dengan nafsu akal pikiran yang sehat (nafs al-Natiqah) sehingga tidak hanya fokus pada kenikmatan badan atau fisik. Inilah cara untuk meraih kedudukan manusia sejati.
“Kita tidak bisa sepenuhnya melepaskan nafsu hewani kita. Karena kita juga butuh makan, minum, tidur. Jadi, kita harus berfokus pada menyeimbangkan keduanya serta membuat akal menjadi kendali penuh atas diri kita. Karena itu yang membedakan kita dengan hewan,” tegas Dr. Nirwan
Jika hewan melakukan segala sesuatu semaunya tanpa memedulikan apakah itu baik atau buruk, pantas atau tidaknya. Maka manusia hendaknya memilih sesuatu dengan penuh kesadaran melalui akal yang dianugerahkan oleh Allah. Ia harus beribadah dengan segala upaya sekuat tenaganya.
Memahami makna hati seperti ini dapat menjadikan manusia bermakna alias menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang tahu akan dirinya sebagai hamba Allah dan memegang kendali penuh diri dengan menundukkan nafsu hewani di bawah akal yang sejati, serta mengikuti tuntunan kitab Ilahi. Bukan mengikuti hawa nafsu.
Hamba Allah yang sejati takkan bahagia dengan kebahagiaan fana di dunia, akan tetapi ketika ia tahu siapa dan untuk apa dirinya hidup di jalan-Nya, lalu menjalani hidup dengan ridha dan ikhlas atas apa yang telah ditentukan untuknya. Wallahu a’lam.