Melihat Semangat Dakwah Ulama dari Sejarah Jombang

Oleh: Azkiya Kamila Asy-Syahidah dan Ruzain Ahmad Bukhari (Santri PRISTAC – Setingkat SMA – Pesantren At-Taqwa Depok, 15 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Pada hari Sabtu (25/11/23) santri PRISTAC angkatan 7 resmi memulai perjalanan Rihlah Sejarah yang akan berlangsung selama enam hari. Perjalanan ini kami mulai dari Jombang. Di Jombang kami akan dipandu oleh Ustadz Muhim selama dua hari.

Tujuan pertama kami hari ini adalah ke Komplek Makam Troloyo. Komplek Troloyo merupakan komplek pemakaman Islam sejak jaman Kerajaan Majapahit. Di sana terdapat makam para petinggi atau pemerintah pada masa Majapahit yang sudah masuk Islam. Ada pula para tokoh yang berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara. Tujuan utama dari para pengunjung kebanyakan adalah mengunjungi petilasan Syekh Jumadil Kubro.

Selama berkeliling, kami menyimak penjelasan sejarah Ustadz Muhim dengan seksama. Selain petilasan Syekh Jumadil Kubro, kami juga mengunjungi Makam Sunan Ngudung yang merupakan ayah dari Sunan Kudus. Ia adalah panglima perang yang kala itu ditugaskan melawan Brawijaya VI. Salah satu tanda makam peninggalan Majapahit adalah adanya lambang surya sebagai simbol kerajaan Majapahit yang beragama Islam yang makamnya terbuat dari batu andasit. Di nisan tersebut terdapat kalimat thayyibah.

Setelah mengamati beberapa makam, ada seorang santri yang penasaran dengan ukuran makam yang besar dan bertanya soal itu ke Ustadz Muhim. Ia menjawab bahwa itu merupakan bentuk penghormatan atas jasa atau derajat mereka yang tinggi dalam penyebaran Islam di Indonesia. Tidak hanya makam para Ulama, di sana juga terdapat makam masyarakat hingga salah satu ratu yang mempimpin Majapahit yaitu Ratu Kencono Wungu.

Di tengah makam warga umum terdapat makam Tujuh Troloyo yang memperlihatkan adanya hubungan erat antara Islam dan Majapahit. Tujuh makam tersebut adalah Noto Suryo, Noto Kusumo, Gajah Pranodo, Sabda Palon, Noyo Genggang, Palo Putro, dan Eman Kinasih. Mereka semua adalah dayang kesayangan dan penasihat Ratu Kencono Ungu dalam berbagai bidang. Karena masih ada destinasi berikutnya, kami pun menyudahi ziarah dan melanjutkan perjalanan.

Tujuan kami berikutnya adalah Pesantren Tebuireng. Di sana kami semua berkumpul dalam satu ruangan bersama para Ustadz dari Tebu Ireng. Perwakilan dari pesantren Tebuireng, Ustadz Hakim Mahfudz dan Ustadz Lukman Hakim, memberikan kami penjelasan mengenai pesantern yang telah berdiri sejak tahun 1899 itu.

Pesantren Tebuireng didirikan di desa Tebuireng. Desa itu mulanya merupakan desa yang jelek, kumuh dan menjadi pusat perilaku maksiat, seperti judi contohnya. Tidak jauh dari desa tersebut terdapat sebuah pabrik gula yang didirikan Belanda untuk memberikan mudhorot kepada bangsa Indonesia ketika masa penjajahan.

Pada akhirnya K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren, Tujuannya tidak sekadar untuk melahirkan generasi yang unggul, melainkan juga untuk memberikan manfaat pada warga sekitar.

Contoh dari manfaat yang dihasilkan dari Tebuireng itu ialah berkurangnya maksiat di desa Tebuireng tersebut. K.H. Hasyim Asy’ari melakukan dakwah untuk mengurangi maksiat tidak hanya dengan ilmu agama seperti ceramah, tetapi juga dilakukan secara ekonomi seperti memberi orang perkerjaan.

K.H. Hasyim Asy’ari melakukan hal itu dikarenakan banyaknya maksiat di desa Tebuireng seperti merampok, berjudi, menjadi PSK dikarenakan kecil ekonomi sedangkan kebutuhannya banyak. Maka hal-hal itu memaksa orang untuk melakukan maksiat seperti yang telah disebutkan. Dari perjalanan hari pertama ini kami mendapatkan teladan semangat dakwah para Ulama terdahulu melalui sejarah yang diceritakan kepada kami selama di Jombang. (Editor: Reisya)

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086