Jadi Da’i & Guru Pejuang Itu Sukses dan Mulia
Oleh: Yusuf Sholih (Santri At-Taqwa College, 18 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

“Tantangan terbesar murid-murid Muslim hari ini adalah ilmu-ilmu yang sekuler,” Tegas Pembina Pesantren At-Taqwa Depok Dr. Adian Husaini pada kajian Subuh (19/1/25).
Sekularisme, yang menjiwai banyak ilmu, kata Ustadz Adian, telah membuat murid melupakan bahkan menafikan dimensi ukhrowi dari pikirannya. Salah satunya mengenai kriteria manusia yang “sukses” dan “mulia”.
“Tidak sedikit dari murid-murid Muslim yang masih berpikir kalau yang mulia dan sukses itu dinilai dari kekayaan, kekuasaan, bahkan kecantikan atau ketampanan,” pungkasnya.
Dalam Islam, pikiran itu jelas kurang tepat karena bertentangan dengan Islam yang berbasis pada wahyu, sesuai dengan fitrah manusia, dan bisa diraih oleh semua manusia, mau dia cantik atau tampan atau tidak, kaya atau miskin. Standar itu adalah taqwa
Pikiran sekuler itu pula, lanjut Ustadz Adian, yang bisa membuat para murid HANYA disibukkan dengan pikiran “mau kerja setelah lulus kuliah" dan melupakan kewajiban dakwah. Pikirannya hanya untuk mengejar gengsi dan materi.
Mengejar jabatan dan materi boleh saja, selama niatnya baik; niatnya untuk ber-amar makruf nahi munkar.
Akibat kecintaan yang berlebihan terhadap materi, salah satu dampaknya adalah kurang diminatinya cita-cita menjadi manusia baik dan bermanfaat” atau “mau menjadi da’i dan guru pejuang”. Padahal kualitas suatu bangsa ditentukan dari kualitas gurunya.
“Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolangan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya,” pungkas Ustadz Adian mengutip Pahlawan Nasional Mohammad Natsir.
Penulis buku “Beginilah Pendidikan Nasional yang Ideal” itu menjelaskan bahwa da’i atau guru pejuang adalah “pekerjaan” yang sangat mulia di sisi Allah bahkan manusia. Karena aktivitasnya, mampu menyukseskannya di dunia dan akhirat.
Ia yang menyerukan manusia pada jalan Allah dan beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 41: 33, 47: 7, 3: 110), “men-service” aspek paling rumit dari manusia: yaitu HATI MANUSIA, sehingga melahirkan generasi unggul yang dibutuhkan agama dan bangsa.
Di tengah arus sekularisme dan materialisme, bisa memandang “menjadi manusia baik dan bermanfaat” atau “menjadi da’i dan guru” itu mulia dan besar keuntungannya di akhirat kelak, adalah hal yang tidak mudah.
Menjadi atau melakukan aktivitas sebagai guru pejuang, terlepas apa pun profesinya, adalah ladang pahala. Semakin banyak pahala, semakin dekat dengan Allah. Kalau semakin dekat, Allah akan semakin cinta, menolong bahkan memberi rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, (niscaya) Dia akan menolong kamu dan Dia akan meneguhkan kedudukanmu” (Q.S. 47:7).
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS. 65: 2-3).
*
*
*
Editor: Fatih Madini (Guru Pesantren At-Taqwa Depok)
Sekularisme, yang menjiwai banyak ilmu, kata Ustadz Adian, telah membuat murid melupakan bahkan menafikan dimensi ukhrowi dari pikirannya. Salah satunya mengenai kriteria manusia yang “sukses” dan “mulia”.
“Tidak sedikit dari murid-murid Muslim yang masih berpikir kalau yang mulia dan sukses itu dinilai dari kekayaan, kekuasaan, bahkan kecantikan atau ketampanan,” pungkasnya.
Dalam Islam, pikiran itu jelas kurang tepat karena bertentangan dengan Islam yang berbasis pada wahyu, sesuai dengan fitrah manusia, dan bisa diraih oleh semua manusia, mau dia cantik atau tampan atau tidak, kaya atau miskin. Standar itu adalah taqwa
Pikiran sekuler itu pula, lanjut Ustadz Adian, yang bisa membuat para murid HANYA disibukkan dengan pikiran “mau kerja setelah lulus kuliah" dan melupakan kewajiban dakwah. Pikirannya hanya untuk mengejar gengsi dan materi.
Mengejar jabatan dan materi boleh saja, selama niatnya baik; niatnya untuk ber-amar makruf nahi munkar.
Akibat kecintaan yang berlebihan terhadap materi, salah satu dampaknya adalah kurang diminatinya cita-cita menjadi manusia baik dan bermanfaat” atau “mau menjadi da’i dan guru pejuang”. Padahal kualitas suatu bangsa ditentukan dari kualitas gurunya.
“Suatu bangsa tidak akan maju sebelum ada di antara bangsa itu segolangan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya,” pungkas Ustadz Adian mengutip Pahlawan Nasional Mohammad Natsir.
Penulis buku “Beginilah Pendidikan Nasional yang Ideal” itu menjelaskan bahwa da’i atau guru pejuang adalah “pekerjaan” yang sangat mulia di sisi Allah bahkan manusia. Karena aktivitasnya, mampu menyukseskannya di dunia dan akhirat.
Ia yang menyerukan manusia pada jalan Allah dan beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 41: 33, 47: 7, 3: 110), “men-service” aspek paling rumit dari manusia: yaitu HATI MANUSIA, sehingga melahirkan generasi unggul yang dibutuhkan agama dan bangsa.
Di tengah arus sekularisme dan materialisme, bisa memandang “menjadi manusia baik dan bermanfaat” atau “menjadi da’i dan guru” itu mulia dan besar keuntungannya di akhirat kelak, adalah hal yang tidak mudah.
Menjadi atau melakukan aktivitas sebagai guru pejuang, terlepas apa pun profesinya, adalah ladang pahala. Semakin banyak pahala, semakin dekat dengan Allah. Kalau semakin dekat, Allah akan semakin cinta, menolong bahkan memberi rezeki dari arah yang tidak diduga-duga.
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, (niscaya) Dia akan menolong kamu dan Dia akan meneguhkan kedudukanmu” (Q.S. 47:7).
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (QS. 65: 2-3).
*
*
*
Editor: Fatih Madini (Guru Pesantren At-Taqwa Depok)