Islam, Agama Wahyu yang Tak Anti Budaya
Oleh: Yusuf Sholih (Santri At-Taqwa College Depok, 18 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Pakar Pemikiran Islam dan Sejarah Islam di Nusantara, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, pada seminar satu hari INSIST (21/12/24), menegaskan bahwa “Islam adalah agama wahyu yang langsung diturunkan oleh Allah, bukan agama budaya yang merupakan hasil cipta manusia.”
Karakteristik kebudayaan, kata Ustadz Tiar, hanya berkutat pada tiga hal, what we think (berpikir), what we do (bertindak), what we make (berbuat). Sebagaimana ketika sedang lapar, ia akan berpikir, lalu ia pun mencari makanan dan makan apa yang didapatinya.
“Karakteristik itu menunjukkan manusia sebagai subjek. Itulah mengapa ilmu kebudayaan juga disebut sebagai ilmu humaniora,” jelasnya.
Menurutnya, pada karakteristik berpikir, ada lima elemen yang termuat di dalamnya: cultural frame, norms, values, ideology dan worldview. Elemen terakhir sangat fundamental dalam kebudayaan, karena worldview yang akan menentukan hasil daripada kebudayaan.
Dalam kajian kebudayaan, adalah yang disebut sebagai paradox of culture. Ia memuat memuat empat hal: culture is continues but changes, culture is bounded but mobile, culture is consensus but contes, culture is shared but it varies. Ini menunjukan bahwa ternyata tidak semuanya dalam budaya itu berubah.
“Yang penting untuk dipahami dari empat hal itu adalah bahwa sifat asasi kebudayaan itu berubah, bergerak, atau berevolusi,” ucap Ustadz Tiar.
Karena sumbernya wahyu, Islam adalah agama yang tetap dan final. Tapi Islam tidak anti budaya, selama tidak bertentangan dengan wahyu, dengan nilai-nilai yang sudah Allah dan Nabi Muhammad tetapkan.
“wahyu yang mengarahkan kebudayaan agar tidak rusak dan berubah terlalu menyimpang, karena salah satu wahyu yang diturunkan adalah untuk “liutammima makarim al-Akhlaq,” pungkas Ustadz Tiar.
Jadi, lanjutnya, kalaupun Islam mengakui hal-hal yang sifatnya bisa berubah dan menyesuaikan zaman, hal itu bukan yang pokok (ushul) dan di bawah panduan wahyu. Islam menerima baju adat, asalkan menutup aurat, asalkan disertakan jilbab dan tidak menampakkan lekukan tubuh (bagi wanita).
“Dengan dilandaskan pada wahyu yang tidak berubah, perubahan tersebut pun memiliki pakem,” ucap Ustadz Tiar.
“Inilah keunikan Islam yang tidak dimiliki agama lain,” ujarnya.
Maka ketika membahas soal agama dan kebudayaan, dalam pandangan Islam, Islam punya ketegasan tapi tidak anti pada kebudayaan. Islam jelas bukan agama budaya. Tidak ada tawar menawar soal Islam sebagai satu-satunya agama yang benar; Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang benar; Al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci di zaman ini yang diturunkan oleh Allah; dan jilbab (salah satu contohnya) mutlak kewajibannya.
Jadi Islam tidak mengalami evolusi, tapi ramah pada budaya. Dengan sandaran wahyunya, keramahan Islam pada budaya tidak berujung pada sikap meremehkan apalagi mengingkari segala hal yang sudah tetap dan final dalam Islam.
Editor: Imad
Karakteristik kebudayaan, kata Ustadz Tiar, hanya berkutat pada tiga hal, what we think (berpikir), what we do (bertindak), what we make (berbuat). Sebagaimana ketika sedang lapar, ia akan berpikir, lalu ia pun mencari makanan dan makan apa yang didapatinya.
“Karakteristik itu menunjukkan manusia sebagai subjek. Itulah mengapa ilmu kebudayaan juga disebut sebagai ilmu humaniora,” jelasnya.
Menurutnya, pada karakteristik berpikir, ada lima elemen yang termuat di dalamnya: cultural frame, norms, values, ideology dan worldview. Elemen terakhir sangat fundamental dalam kebudayaan, karena worldview yang akan menentukan hasil daripada kebudayaan.
Dalam kajian kebudayaan, adalah yang disebut sebagai paradox of culture. Ia memuat memuat empat hal: culture is continues but changes, culture is bounded but mobile, culture is consensus but contes, culture is shared but it varies. Ini menunjukan bahwa ternyata tidak semuanya dalam budaya itu berubah.
“Yang penting untuk dipahami dari empat hal itu adalah bahwa sifat asasi kebudayaan itu berubah, bergerak, atau berevolusi,” ucap Ustadz Tiar.
Karena sumbernya wahyu, Islam adalah agama yang tetap dan final. Tapi Islam tidak anti budaya, selama tidak bertentangan dengan wahyu, dengan nilai-nilai yang sudah Allah dan Nabi Muhammad tetapkan.
“wahyu yang mengarahkan kebudayaan agar tidak rusak dan berubah terlalu menyimpang, karena salah satu wahyu yang diturunkan adalah untuk “liutammima makarim al-Akhlaq,” pungkas Ustadz Tiar.
Jadi, lanjutnya, kalaupun Islam mengakui hal-hal yang sifatnya bisa berubah dan menyesuaikan zaman, hal itu bukan yang pokok (ushul) dan di bawah panduan wahyu. Islam menerima baju adat, asalkan menutup aurat, asalkan disertakan jilbab dan tidak menampakkan lekukan tubuh (bagi wanita).
“Dengan dilandaskan pada wahyu yang tidak berubah, perubahan tersebut pun memiliki pakem,” ucap Ustadz Tiar.
“Inilah keunikan Islam yang tidak dimiliki agama lain,” ujarnya.
Maka ketika membahas soal agama dan kebudayaan, dalam pandangan Islam, Islam punya ketegasan tapi tidak anti pada kebudayaan. Islam jelas bukan agama budaya. Tidak ada tawar menawar soal Islam sebagai satu-satunya agama yang benar; Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang benar; Al-Qur’an sebagai satu-satunya kitab suci di zaman ini yang diturunkan oleh Allah; dan jilbab (salah satu contohnya) mutlak kewajibannya.
Jadi Islam tidak mengalami evolusi, tapi ramah pada budaya. Dengan sandaran wahyunya, keramahan Islam pada budaya tidak berujung pada sikap meremehkan apalagi mengingkari segala hal yang sudah tetap dan final dalam Islam.
Editor: Imad