Guru Pesantren At-Taqwa Depok Berbagi Ilmu Tentang “Islamic Wirldview” Dan “Budaya Literasi” Di Kampus Maghfirah
Oleh: Tim Redaksi At-Taqwa
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Guru Pesantren At-Taqwa Depok, Fatih Madini (22 tahun), pada Selasa (28/1/25), berkesempatan menyampaikan materi “Islamic Worldview” dan “Budaya Literasi” dalam seminar sehari di kampus STIPI Maghfirah, Bogor.
Fatih menyampaikan materinya dalam tiga (3) sesi di hadapan lebih dari 60 mahasiswa dan mahasiswi Strata 1. Beberapa dosen juga hadir, menyimak materinya dari awal hingga akhir, dari pagi hingga siang hari.
Pada sesi pertama, ia memberikan lembaran soal untuk mereka jawab. Ada 25 pertanyaan tentang “tantangan pemikiran kontemporer” yang umumnya sering didengar oleh anak-anak muda seusianya, terutama dari media sosial.
Para mahasiswa cukup menjawab “benar” atau “salah”, “sepakat” atau “tidak sepakat”. Seperti “apakah semua agama sama, karena sama-sama mengajarkan kebaikan,” “apakah benar jika menurut agama manusia dari Nabi Adam tapi menurut sains manusia dari Hominid”, “benarkah pernyataan ‘Humanity above religion’,” sampai pertanyaan “adilkah Tuhan memasukkan orang baik ke dalam neraka hanya karena ia tidak beragama Islam.”
Selama hampir 2 jam Fatih membahas 25 soal itu bersama para mahasiswa dan mahasiswi; menyampaikan pandangan yang seharusnya, yang sesuai dengan Islam. Salah satunya adalah ketika ia menjelaskan tentang keadilan Tuhan:
“Alasan kenapa hal itu terkesan tidak adil adalah karena ‘pelaku kriminal’ hanya identik antara manusia dengan manusia lain. Padahal, dalam Islam, ada kriminalitas yang jauh lebih fatal, yaitu berlaku jahat kepada Allah. Dan kejahatan paling tinggi kepada-Nya adalah tidak mengakui-Nya sebagai satu-satu Tuhan. Itulah mengapa dalam Qur’an, Luqman menegaskan kepada anaknya supaya jangan pernah sekalipun menyekutukan Allah (syirik), karena tindakan itu adalah ‘zhulmun ‘azhim’, kezaliman sangat besar, tindakan paling jahat.”
“Tapi tentu hal ini juga tidak bisa dijadikan dalil bagi setiap Muslim untuk berlaku jahat dengan sesamanya. Sebab kalau pandangan Islamnya benar, ia dapat menyadari bahwa ‘semakin saya islami dan taqwa kepada Allah, semakin baik saya kepada manusia bahkan alam semesta.’ Karena begitulah ajaran Islam, yang universal dan mempunyai model abadi dan universal pula,” lanjutnya.
Di sesi kedua, guru pesantren At-Taqwa Depok itu menyampaikan “Pengantar Islamic Worldview”. Ia menjelaskan, sebagai satu proses pembentukan cara berpikir, “Islamic Worldview” sudah dibentuk oleh Nabi Muhammad kepada para Sahabatnya.
“Melalui wahyu yang diterima, beliau mengubah cara pandang para Sahabat mengenai menuntut ilmu, Tuhan, nilai, kebebasan, akal, alam semesta, dunia dan akhirat, kemuliaan, sampai wanita,” terangnya.
Ilmu ini, lanjutnya, penting karena ada “worldview” lain yang sangat berseberangan dengan Islam namun tengah mendominasi bahkan menjadi tren global. Worldview itu berasal dari Peradaban Barat yang identik dengan empat karakteristiknya: anti Tuhan, tolak wahyu, benci agama, lupa akhirat.
Kalau anak muda Muslim tidak hati-hati dengan tantangan pemikiran, ia bisa saja kufur sejak dalam pikiran.
“Pelacur yang menyadari bahwa tindakannya adalah dosa besar, masih lebih baik ketimbang professor yang seumur hidupnya tidak pernah berzina tapi secara sadar mengatakan kalau ‘melacur itu halal’. Karena masih ada kesempatan bagi pelacur itu untuk bertaubat, tapi tidak dengan sang professor. Ia merasa benar karena punya ilmu. Padahal ilmunya salah sehingga mengacaukan batas antara yang haq dan bathil. Bahkan dalam banyak kitab akidah dijelaskan kalau ‘menghalalkan yang haram secara ijma’, dapat membuat seseorang keluar dari Islam,” jelasnya.
Di sesi terakhir (siang hari), Fatih membedah buku ketiganya, “Solusi Kekacauan Ilmu” (2021) tentang kiat membangun budaya literasi, supaya anak-anak muda Muslim terdorong untuk mau lebih giat lagi “belajar”, “membaca” dan “menulis”.
“Jangan sampai kita yang pertama kali mendapat perintah untuk ‘membaca’ (iqra’), tapi kita juga yang pertama kali meninggalkannya,” ucap Fatih mengutip gurunya.
Ia juga memaparkan seputar isu “Brain Rot” (Pembusukan Otak), yang dinobatkan menjadi “the Oxford Word of the Year for 2024”, disebabkan overdosis konsumsi konten sosmed receh.
“Kalau sudah membusuk, otak akan malas diajak mikir. Maka aktivitas membaca dan menulis menjadi begitu penting di era ini untuk menyeimbangkan intensitas kita dalam menggunakan gadget,” ucapnya.
Guru sekaligus mahasiswa STID Mohammad Natsir itu paham bahwa tidak ada metode teknis khusus untuk membangun budaya literasi. Satu-satunya metode paling efektif tentu melalui pembiasaan yang terkadang butuh pemaksaan. Tapi untuk memicu supaya ada kemauan, paling tidak ada empat hal yang bisa dilakukan.
“Empat hal itu adalah memahami dan merenungi kembali hakikat agama Islam sebagai agama ilmu, mengkaji dan merenungi kembali Sejarah Keagungan Ilmu dalam Peradaban Islam, menghindarkan diri dari penyakit ‘Sekolahisme’ dan ‘Linierisme’, dan memosisikan diri secara dalam ‘intelektualisme’ dan ‘aktivisme’,” ucap Fatih.
Fatih menyampaikan materinya dalam tiga (3) sesi di hadapan lebih dari 60 mahasiswa dan mahasiswi Strata 1. Beberapa dosen juga hadir, menyimak materinya dari awal hingga akhir, dari pagi hingga siang hari.
Pada sesi pertama, ia memberikan lembaran soal untuk mereka jawab. Ada 25 pertanyaan tentang “tantangan pemikiran kontemporer” yang umumnya sering didengar oleh anak-anak muda seusianya, terutama dari media sosial.
Para mahasiswa cukup menjawab “benar” atau “salah”, “sepakat” atau “tidak sepakat”. Seperti “apakah semua agama sama, karena sama-sama mengajarkan kebaikan,” “apakah benar jika menurut agama manusia dari Nabi Adam tapi menurut sains manusia dari Hominid”, “benarkah pernyataan ‘Humanity above religion’,” sampai pertanyaan “adilkah Tuhan memasukkan orang baik ke dalam neraka hanya karena ia tidak beragama Islam.”
Selama hampir 2 jam Fatih membahas 25 soal itu bersama para mahasiswa dan mahasiswi; menyampaikan pandangan yang seharusnya, yang sesuai dengan Islam. Salah satunya adalah ketika ia menjelaskan tentang keadilan Tuhan:
“Alasan kenapa hal itu terkesan tidak adil adalah karena ‘pelaku kriminal’ hanya identik antara manusia dengan manusia lain. Padahal, dalam Islam, ada kriminalitas yang jauh lebih fatal, yaitu berlaku jahat kepada Allah. Dan kejahatan paling tinggi kepada-Nya adalah tidak mengakui-Nya sebagai satu-satu Tuhan. Itulah mengapa dalam Qur’an, Luqman menegaskan kepada anaknya supaya jangan pernah sekalipun menyekutukan Allah (syirik), karena tindakan itu adalah ‘zhulmun ‘azhim’, kezaliman sangat besar, tindakan paling jahat.”
“Tapi tentu hal ini juga tidak bisa dijadikan dalil bagi setiap Muslim untuk berlaku jahat dengan sesamanya. Sebab kalau pandangan Islamnya benar, ia dapat menyadari bahwa ‘semakin saya islami dan taqwa kepada Allah, semakin baik saya kepada manusia bahkan alam semesta.’ Karena begitulah ajaran Islam, yang universal dan mempunyai model abadi dan universal pula,” lanjutnya.
Di sesi kedua, guru pesantren At-Taqwa Depok itu menyampaikan “Pengantar Islamic Worldview”. Ia menjelaskan, sebagai satu proses pembentukan cara berpikir, “Islamic Worldview” sudah dibentuk oleh Nabi Muhammad kepada para Sahabatnya.
“Melalui wahyu yang diterima, beliau mengubah cara pandang para Sahabat mengenai menuntut ilmu, Tuhan, nilai, kebebasan, akal, alam semesta, dunia dan akhirat, kemuliaan, sampai wanita,” terangnya.
Ilmu ini, lanjutnya, penting karena ada “worldview” lain yang sangat berseberangan dengan Islam namun tengah mendominasi bahkan menjadi tren global. Worldview itu berasal dari Peradaban Barat yang identik dengan empat karakteristiknya: anti Tuhan, tolak wahyu, benci agama, lupa akhirat.
Kalau anak muda Muslim tidak hati-hati dengan tantangan pemikiran, ia bisa saja kufur sejak dalam pikiran.
“Pelacur yang menyadari bahwa tindakannya adalah dosa besar, masih lebih baik ketimbang professor yang seumur hidupnya tidak pernah berzina tapi secara sadar mengatakan kalau ‘melacur itu halal’. Karena masih ada kesempatan bagi pelacur itu untuk bertaubat, tapi tidak dengan sang professor. Ia merasa benar karena punya ilmu. Padahal ilmunya salah sehingga mengacaukan batas antara yang haq dan bathil. Bahkan dalam banyak kitab akidah dijelaskan kalau ‘menghalalkan yang haram secara ijma’, dapat membuat seseorang keluar dari Islam,” jelasnya.
Di sesi terakhir (siang hari), Fatih membedah buku ketiganya, “Solusi Kekacauan Ilmu” (2021) tentang kiat membangun budaya literasi, supaya anak-anak muda Muslim terdorong untuk mau lebih giat lagi “belajar”, “membaca” dan “menulis”.
“Jangan sampai kita yang pertama kali mendapat perintah untuk ‘membaca’ (iqra’), tapi kita juga yang pertama kali meninggalkannya,” ucap Fatih mengutip gurunya.
Ia juga memaparkan seputar isu “Brain Rot” (Pembusukan Otak), yang dinobatkan menjadi “the Oxford Word of the Year for 2024”, disebabkan overdosis konsumsi konten sosmed receh.
“Kalau sudah membusuk, otak akan malas diajak mikir. Maka aktivitas membaca dan menulis menjadi begitu penting di era ini untuk menyeimbangkan intensitas kita dalam menggunakan gadget,” ucapnya.
Guru sekaligus mahasiswa STID Mohammad Natsir itu paham bahwa tidak ada metode teknis khusus untuk membangun budaya literasi. Satu-satunya metode paling efektif tentu melalui pembiasaan yang terkadang butuh pemaksaan. Tapi untuk memicu supaya ada kemauan, paling tidak ada empat hal yang bisa dilakukan.
“Empat hal itu adalah memahami dan merenungi kembali hakikat agama Islam sebagai agama ilmu, mengkaji dan merenungi kembali Sejarah Keagungan Ilmu dalam Peradaban Islam, menghindarkan diri dari penyakit ‘Sekolahisme’ dan ‘Linierisme’, dan memosisikan diri secara dalam ‘intelektualisme’ dan ‘aktivisme’,” ucap Fatih.