Fakta dan Makna "Islamic Logic"
Oleh: Farros Halim (Santri At-Taqwa College, 17 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Sejumlah peneliti mempertanyakan keberadaan islamic logic. Di tengah berbagai pertanyaan ini, Dr. Syamsuddin Arif, peneliti INSISTS yang intens dalam bidang logika mempertegas bahwa hal tersebut benar adanya dan berlandaskan bukti. Hal ini disampaikan pada acara seminar sehari INSISTS pada sesi pertama, Sabtu, (21/12/2024)
Klaim itu disandarkan kepada sejumlah dalil, bahwa logika itu (i) sesuatu yang manusiawi (logic is human), (ii) bermuatan nilai (value-laden) dan (iii) bersifat universal (logic is universal). Tidak hanya logikawan muslim, hal ini turut dipertegas oleh sejumlah tokoh Barat seperti Nietzshe yang mengatakan logika itu tidak netral.
Mengutip John locke, penulis buku Orientalis & Diabolisme Pemikiran ini mengingatkan, “masa iya si Tuhan se-tega itu hanya Aristotle yang diciptakan sebagai makhluk berfikir, sedangkan yang lainnya tidak” (…and left it to Aristotle to make them rational). Ujar Dr. Syam.
Sebagian peneliti seperti Nicholas Rescher menyamakan islamic logic sebagai Arabic logic. Dalam arti ia merupakan seni berfikir yang dirumuskan Yunani kemudian digunakan oleh orang-orang Arab. Ini terbukti sederet ulama Islam telah menulis islamic logic seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali dan lainnya. Mereka merasa ilmu ini penting dan berguna kendati diadopsi dari luar Islam, sebagaimana ungkap Al-Kindi.
Dosen UNIDA Gontor itu mempertegas, substansi Islamic logic memiliki perbedaan dari yang lain dari objek kajiannya, yaitu sumber dalam agama Islam, al-Qur’an, Sunnah dan pendapat dalam mazhab. Dari sini muncullah istilah quranic logic juga prophetic logic yang merepresentasikan islamic logic itu sendiri.
Ini bukan klaim semata. Al-Qur’an sudah meminta umatnya untuk berfikir dalam sejumlah ayat, “afalaa ta’qiluun,” juga meminta untuk memberikan argument yang memuaskan jika mengharuskan adu pendapat, “wa jaadilhum billatii hiya ahsan.”
Inilah benih logika dalam Islam yang kemudian dirumuskan kaidahnya oleh para ulama dalam karya mereka. Sebut saja Al-Qistaash Al-Mustaqiim karya Al-Ghazali yang merangkum seni berfikir dalam 5 kaidah sebagai tafsir atas ayat “dan timbanglah dengan timbangan yang benar” (wa zinuu bi al-Qistaas al-Mustaqiim)
Di akhir sesi, Dr. Syam memberikan contoh sejumlah ayat al-Qur’an yang menyimpan kaidah logika. Misalnya silogisme yang ada dalam dialog Nabi Ibrahim dengan Namrudz dalam surat Al-Baqarah ayat 258. Jika ingin dibedah maka premis minornya, Namrudz bisa menghidupkan dan mematikan. Premis mayornya, setiap yang bisa demikian ia adalah Tuhan. Konklusinya, maka Namrudz adalah Tuhan. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Kata Dr. Syam, kajian ini masih terbuka untuk siapapun yang mau mendalami logika. Sebab islamic logic kini tidak hanya Arabic logic atau falasifah’s logic, tapi juga bisa masuk ke ranah prophetic logic, muhadditsun’s logic juga mutakallimun’s logic.
Editor: Bana