Bukan Bangunan Megah, Jejak Tamaddun Islam di Alam Melayu Adalah Bahasa
Oleh: Razan Muhammad Ihsan (Santri SMA At-Taqwa College, 17 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Melanjutkan rangkaian agenda rihlah ilmiah Malaysia. Rabu 12 November 2025, santri-santri At-Taqwa Depok dan Baitul Izzah Nganjuk mengunjungi Akademi Jawi untuk mengikut Seminar (Meet & Talk) bertajuk “Perkembangan Bahasa dan Peradaban Melayu di Masa Depan” bersama Muhammad Syukri Rosli, pendiri AJM.
Pak Teja, begitu sapaan akrabnya, mengawali pembicaraannya dengan sebuah fakta bahwa alam Melayu memang tidak mewariskan bangunan kuno megah seperti Piramid Mesir, Parthenon Yunani, atau istana Persia.
“Peninggalan Melayu bukanlah bangunan-bangunannya yang megah. Ia mewariskan kebudayaan dan kesenian kepada umat manusia, di antara yang paling menonjol adalah bahasa, adab, dan ilmu.
Manusia dipandang sebagai asas peradaban karena ia merupakan satu-satunya makhluk Allah terbaik dengan karunia jasad dan ruh (akal, hati, dan jiwa) sekaligus.
“Asas tamadun bukanlah pembangunan fisik, tetapi pembentukan insan. Hewan pun mampu membangun struktur fisik yang hebat — lebah dengan sarangnya, semut dengan kotanya — namun tidak memiliki nilai tamadun. Ketinggian insan diukur dari akal, jiwa, dan adabnya; bukan dari bangunannya,” tegas pak Teja.
Aspek ruhaniyyah lebih diutamakan dan salah satu patokannya ialah bahasanya. Pak Teja pun mengatakan pula bahwa bahasa merupakan cerminan pemikiran seseorang. Allah taala pun menganugerahkan bahasa sebagai pemberian terbaik melalui penurunan Al-Quran yang memunculkan bahasa Arab yang baru.
Kemudian bahasa Arab tersebut dikembangkan oleh para ulama di seluruh dunia, salah satunya ialah bahasa Jawi. Bahasa Jawi bermula dari bahasa Sanskrit dan tulisannya masih berbeda-beda antara daerahnya. Sebelumnya pula ia masih digunakan dalam ranah pedagang saja. Barulah di masa Melayu Islam bahasa yang mereka gunakan menjadi bahasa ilmiah dan bersatu dalam satu rumpun tulisan bernama tulisan Jawi.
Kemunculan bahasa Jawi menimbulkan satu tradisi literasi membaca dan menulis serta muncul fenomena celik huruf atau mampu membaca suatu tulisan. Bahasa Jawi tak hanya sekadar tulisan belakang, ia memiliki pengaruh filosofis terhadap aspek ontologis, epistemologis, dan psikologis.
2 santri yang menanyakan maksud istilah Jawi dan bagaimana pandangannya terhadap perkembangan bahasa Jawi dengan perantara puisi modern. Istilah Jawi memiliki makna daerah Melayu dan perkawinan. Yang dimaksud perkawinan di sini ialah bahasa Melayu bersatu atau dikawinkan dengan bahasa Arab.
Adapun perihal perkembangan bahasa Jawi dengan puisi modern dijelaskan oleh Pak Teja bahwasannya hal demikian sah saja dilakukan asalkan ia menguasainya dan tidak terjerumus dengan metodologi Barat. Masih banyak lagi hal yang dibahas oleh Pak Teja tentang bahasa Jawi hingga sesi Ustadz Syukri berakhir dan dilanjutkan dengan pemaparan tentang peradaban Melayu oleh Ustadz Nirwan Syafrin.
Acara terakhir pagi tersebut ialah presentasi makalah oleh para santri dan evaluasi dari Ustadz Imran dan Ustadz Nirwan. Usai pemaparan makalah dan evaluasi, acara ditutup oleh Ustadz Bana Fatahillah sebagai moderator dengan sepatah kata dan lafadz hamdalah serta para santri pun berswafoto bersama.
Pak Teja, begitu sapaan akrabnya, mengawali pembicaraannya dengan sebuah fakta bahwa alam Melayu memang tidak mewariskan bangunan kuno megah seperti Piramid Mesir, Parthenon Yunani, atau istana Persia.
“Peninggalan Melayu bukanlah bangunan-bangunannya yang megah. Ia mewariskan kebudayaan dan kesenian kepada umat manusia, di antara yang paling menonjol adalah bahasa, adab, dan ilmu.
Manusia dipandang sebagai asas peradaban karena ia merupakan satu-satunya makhluk Allah terbaik dengan karunia jasad dan ruh (akal, hati, dan jiwa) sekaligus.
“Asas tamadun bukanlah pembangunan fisik, tetapi pembentukan insan. Hewan pun mampu membangun struktur fisik yang hebat — lebah dengan sarangnya, semut dengan kotanya — namun tidak memiliki nilai tamadun. Ketinggian insan diukur dari akal, jiwa, dan adabnya; bukan dari bangunannya,” tegas pak Teja.
Aspek ruhaniyyah lebih diutamakan dan salah satu patokannya ialah bahasanya. Pak Teja pun mengatakan pula bahwa bahasa merupakan cerminan pemikiran seseorang. Allah taala pun menganugerahkan bahasa sebagai pemberian terbaik melalui penurunan Al-Quran yang memunculkan bahasa Arab yang baru.
Kemudian bahasa Arab tersebut dikembangkan oleh para ulama di seluruh dunia, salah satunya ialah bahasa Jawi. Bahasa Jawi bermula dari bahasa Sanskrit dan tulisannya masih berbeda-beda antara daerahnya. Sebelumnya pula ia masih digunakan dalam ranah pedagang saja. Barulah di masa Melayu Islam bahasa yang mereka gunakan menjadi bahasa ilmiah dan bersatu dalam satu rumpun tulisan bernama tulisan Jawi.
Kemunculan bahasa Jawi menimbulkan satu tradisi literasi membaca dan menulis serta muncul fenomena celik huruf atau mampu membaca suatu tulisan. Bahasa Jawi tak hanya sekadar tulisan belakang, ia memiliki pengaruh filosofis terhadap aspek ontologis, epistemologis, dan psikologis.
2 santri yang menanyakan maksud istilah Jawi dan bagaimana pandangannya terhadap perkembangan bahasa Jawi dengan perantara puisi modern. Istilah Jawi memiliki makna daerah Melayu dan perkawinan. Yang dimaksud perkawinan di sini ialah bahasa Melayu bersatu atau dikawinkan dengan bahasa Arab.
Adapun perihal perkembangan bahasa Jawi dengan puisi modern dijelaskan oleh Pak Teja bahwasannya hal demikian sah saja dilakukan asalkan ia menguasainya dan tidak terjerumus dengan metodologi Barat. Masih banyak lagi hal yang dibahas oleh Pak Teja tentang bahasa Jawi hingga sesi Ustadz Syukri berakhir dan dilanjutkan dengan pemaparan tentang peradaban Melayu oleh Ustadz Nirwan Syafrin.
Acara terakhir pagi tersebut ialah presentasi makalah oleh para santri dan evaluasi dari Ustadz Imran dan Ustadz Nirwan. Usai pemaparan makalah dan evaluasi, acara ditutup oleh Ustadz Bana Fatahillah sebagai moderator dengan sepatah kata dan lafadz hamdalah serta para santri pun berswafoto bersama.