3 Ciri Santri Beradab: Beramal dan Mengajar, Jaga Pikiran, Jaga Hati
Oleh: Muhammad Azka Hafidzi (15 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Guru Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Kholili Hasib, pada Selasa (10/6/25), mengingatkan para santri At-Taqwa untuk selalu menjadi murid atau santri yang beradab atas dirinya sendiri dan ilmunya. Menurutnya, ada tiga adab yang perlu diperhatikan.
Pertama, mengamalkan ilmunya. Ustadz Kholili mengatakan bahwa kenikmatan ilmu itu adalah pemahaman akan Ilmu tersebut. Sementara bukti dari memahami ilmu adalah ketika ilmu itu diamalkan dan diajarkan.
Menurutnya, dengan pengamalan ilmu-ilmu agama itulah seorang santri baru benar-benar memenuhi kriteria Hadits Nabi: “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia paham dalam agama” (Muttafaqun ‘alaihi). Ia disebut sebagai Faqih, karena paham dan beramal.
Adab kedua adalah menjaga pikiran supaya tidak rusak. Ia mesti konsisten belajar ilmu-ilmu agama dari guru-guru yang merujuk kepada para ulama salaf yang otoritatif dalam bidang ilmu agama. Ia harus selalu mengikuti ajaran para ulama yang benar itu supaya ilmu agamanya tidak rusak lalu merusak pikirannya.
“Kerusakan ilmu melalui pikiran, pada saat ini, dapat dilihat misalnya ketika ada orang Islam belajar ilmu tafsir Al-Qur’an dengan metode Hermeneutika (metode tafsir Bible), bukan dengan metode tafsir yang terhimpun dalam kajian ‘Ulumul Qur’an sebagaimana diajarkan oleh para ulama salaf,” jelasnya.
Ketiga, menjaga hari supaya tidak kotor. Hati yang kotor dapat mengubah ulama yang awalnya cinta akhirat menjadi cinta dunia. Itulah mengapa sejak awal belajar para murid harus selalu mengokohkan niat belajar untuk hal-hal baik, supaya akhirat tetap menjadi tujuan utamanya.
“Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa salah satu definisi Faqih adalah ‘orang yang telah mengetahui bahwa akhirat itu lebih penting daripada dunia’,” tutur Ustadz yang berasal dari Malang, Jawa Timur itu.
Ustadz Kholili menjelaskan, hati para murid bahkan ulama bisa rusak setidaknya karena dua penyakit: “syahwat” dan “kibr”. Syahwat yang dimaksud adalah syahwat yang buruk atau yang disebut sebagai “Al-Hawa’”. Ia berarti keinginan akan segala kesenangan atau kenikmatan yang erat kaitannya dengan keburukan.
“Mencegah kerusakan akibat al-hawa’ itu adalah dengan “riyadhah al-nafs” (latihan jiwa) supaya dapat mengendalikan nafsu, sehingga nafsu yang buruk tidak menguasai diri, seperti menginginkan yang halal tetapi berlebihan, yang halal tapi dengan cara haram, atau bahkan yang haram,” terang penulis buku “Membangun Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Adab” itu.
Penyakit hati yang kedua adalah “kibr”, sombong. Kesombongan sering kali menghalangi murid dalam mendapat hikmah baru dan luas, yang itu bisa memahamkan dan menambah ilmunya. Kesombongan dalam menuntut Ilmu sering kali terjadi tanpa disadari seperti saat ia enggan mendengar kembali ilmu yang sudah kita dipelajarinya.
Obat ampuhnya tentu “tawadhu“ (rendah hati). Salah satu caranya adalah dengan menjadi pribadi yang “sadar diri”. Sadar bahwa diri masih butuh banyak ilmu, sehingga setiap kali ia mendengar ilmu, khususnya yang sudah pernah didengar, ia tetap mendengarkannya karena yakin kalau terdapat hikmah baru di sana.