Zaman Edan
Oleh: Farrel Ahmad Wijaksaana (Santri At-Taqwa Depok – Cicit Buya Hamka, 17 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Adalah kebiasaan saya di pondok, seusai menunaikan shalat Isya, mengunjungi perpustakaan yang berada di pojok gerbang atas pesantren. Sebagai salah seorang pustakawan, membaca, merapihkan dan mengahafal letak buku yang ada di perpustakaan adalah sebuah kenikmatan, dan di malam-malam seperti inilah saya menghabiskan sebagian besar waktu malam saya.
Saya sangat kagum dengan perpustakaan di Pesantren At-Taqwa. Meski tidak bisa dikatakan luas dan besar, namun, buku-buku yang ada di sana melampaui banyak perpustakaan yang pernah saya kunjungi. Banyak sekali buku-buku ‘berisi’ yang langka; di mana saya baca dan nikmati seakan-akan disuguhkan hidangan mewah bak raja.
Suatu malam, ketika sedang mencari buku-buku bacaan, dengan tidak sengaja saya menemukan sebuah buku kecil berisi puisi seorang pujangga Jawa terkenal. Buku tersebut berjudul “Zaman Edan”, berisi karya Raden Ngabehi Ronggowarsito (W. 1873).
Sebelumnya saya memang sudah mengenal pujangga asal Solo ini sebagai seorang mistikus kejawen dari Kesultanan Mataram. Lebih khusus lagi, saya mengenal Ronggowarsito sebagai seseorang yang berhasil meramalkan kematiaannya sendiri dan—ini yang lebih menakjubkan lagi—hampir berhasil meramalkan tanggal kemerdekaan Indonesia (dengan selisih yang hampir menepati tanggal sebenarnya).
Meski menaruh minat kepada sosok Ronggowarsito, saya belum pernah membaca satupun karyanya atau mengenal dengan baik sejarah kehidupannya. Baru ketika di Pondok ini saya berkesempatan untuk membaca langsung karya-karyanya. Dan singkat cerita, saya sangat terpukau.
Di antara lima judul yang disertakan dalam buku Zaman Edan ini, salah satu penggalan bait sajaknya yang paling mashyur dari “Zaman Cacat” (judul asli: Kalatdiha) bagi saya sangat menohok. Berikut isi sajak tersebut:
“Hidup di zaman edan // gelap jiwa bingung pikiran // turut edan hati tak tahan // jika tidak turut // batin merana dan penasaran // tertindas dan kelaparan // tapi janji Tuhan sudah pasti // seuntung apa pun orang yang lupa daratan // lebih selamat orang yang menjaga kesadaran” (Ahmad Norma Permata (peny), Zaman Edan Ronggowarsito, 2007).
Tulisan Ronggowarsito yang berusia lebih dari satu abad ini justru semakin menjadi kenyataan di zaman sekarang. Banyak bermunculan berita-berita mengenaskan, seperti maraknya koruptor-koruptor besar yang dihukum lebih ringan daripada seorang nenek pencuri kayu bakar (sang Nenek-pun mencuri karena kemiskinan!), anak-anak membunuh orang tua, orang tua menelantarkan anaknya, teman memutilasi teman karena sebab-sebab sepele, pelajar-pelajar yang semakin kurang ajar terhadap gurunya, dan guru yang tidak mengerti arti pendidikan.
Lebih menyakitkannya lagi, adalah penistaan agama yang terjadi selama beberapa waktu ini. Orang-orang awam semakin diliputi kabut kebodohan logika mistika, sedangkan oknum-oknum opurtunis yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan lambang-lambang keagamaan untuk memuaskan nafsunya dengan menjaga kebodohan tersebut! Kenapa? Karena ini zaman edan!
Meski demikian, sebagai seorang santri, saya melihat ini semua sebagai tugas besar bagi kita. Di zaman di mana kerancauan berpikir ada di mana-mana, adalah kewajiban yang terdidik untuk meluruskannya. Di zaman di mana orang-orang awam digiring kepada kehancuran oleh pemimpin yang tidak cakap dan amanah, adalah kewajiban bagi yang sadar untuk mengingatkan.
Apabila seorang buta dituntun dengan seorang buta lainnya, apakah mungkin sampai tujuan? Dan apabila yang mampu melihat hanya tinggal diam, apa arti dari kemampuannya itu? Memang selamat orang yang menjaga kesadaran, namun jangan berhenti di sana saja, karena tetap lebih mulia mereka yang berusaha menyelamatkan yang belum sadar.
Ini memang tugas yang sulit. Amar ma’ruf nahi mungkar tidak pernah menjadi perkara yang mudah. Namun, itulah tugas kita semua!
“// tapi janji Tuhan sudah pasti // seuntung apa pun orang yang lupa daratan // lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.”
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu menyuruh) yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS: Ali-Imran: 110)
Saya sangat kagum dengan perpustakaan di Pesantren At-Taqwa. Meski tidak bisa dikatakan luas dan besar, namun, buku-buku yang ada di sana melampaui banyak perpustakaan yang pernah saya kunjungi. Banyak sekali buku-buku ‘berisi’ yang langka; di mana saya baca dan nikmati seakan-akan disuguhkan hidangan mewah bak raja.
Suatu malam, ketika sedang mencari buku-buku bacaan, dengan tidak sengaja saya menemukan sebuah buku kecil berisi puisi seorang pujangga Jawa terkenal. Buku tersebut berjudul “Zaman Edan”, berisi karya Raden Ngabehi Ronggowarsito (W. 1873).
Sebelumnya saya memang sudah mengenal pujangga asal Solo ini sebagai seorang mistikus kejawen dari Kesultanan Mataram. Lebih khusus lagi, saya mengenal Ronggowarsito sebagai seseorang yang berhasil meramalkan kematiaannya sendiri dan—ini yang lebih menakjubkan lagi—hampir berhasil meramalkan tanggal kemerdekaan Indonesia (dengan selisih yang hampir menepati tanggal sebenarnya).
Meski menaruh minat kepada sosok Ronggowarsito, saya belum pernah membaca satupun karyanya atau mengenal dengan baik sejarah kehidupannya. Baru ketika di Pondok ini saya berkesempatan untuk membaca langsung karya-karyanya. Dan singkat cerita, saya sangat terpukau.
Di antara lima judul yang disertakan dalam buku Zaman Edan ini, salah satu penggalan bait sajaknya yang paling mashyur dari “Zaman Cacat” (judul asli: Kalatdiha) bagi saya sangat menohok. Berikut isi sajak tersebut:
“Hidup di zaman edan // gelap jiwa bingung pikiran // turut edan hati tak tahan // jika tidak turut // batin merana dan penasaran // tertindas dan kelaparan // tapi janji Tuhan sudah pasti // seuntung apa pun orang yang lupa daratan // lebih selamat orang yang menjaga kesadaran” (Ahmad Norma Permata (peny), Zaman Edan Ronggowarsito, 2007).
Tulisan Ronggowarsito yang berusia lebih dari satu abad ini justru semakin menjadi kenyataan di zaman sekarang. Banyak bermunculan berita-berita mengenaskan, seperti maraknya koruptor-koruptor besar yang dihukum lebih ringan daripada seorang nenek pencuri kayu bakar (sang Nenek-pun mencuri karena kemiskinan!), anak-anak membunuh orang tua, orang tua menelantarkan anaknya, teman memutilasi teman karena sebab-sebab sepele, pelajar-pelajar yang semakin kurang ajar terhadap gurunya, dan guru yang tidak mengerti arti pendidikan.
Lebih menyakitkannya lagi, adalah penistaan agama yang terjadi selama beberapa waktu ini. Orang-orang awam semakin diliputi kabut kebodohan logika mistika, sedangkan oknum-oknum opurtunis yang tidak bertanggung jawab menyalahgunakan lambang-lambang keagamaan untuk memuaskan nafsunya dengan menjaga kebodohan tersebut! Kenapa? Karena ini zaman edan!
Meski demikian, sebagai seorang santri, saya melihat ini semua sebagai tugas besar bagi kita. Di zaman di mana kerancauan berpikir ada di mana-mana, adalah kewajiban yang terdidik untuk meluruskannya. Di zaman di mana orang-orang awam digiring kepada kehancuran oleh pemimpin yang tidak cakap dan amanah, adalah kewajiban bagi yang sadar untuk mengingatkan.
Apabila seorang buta dituntun dengan seorang buta lainnya, apakah mungkin sampai tujuan? Dan apabila yang mampu melihat hanya tinggal diam, apa arti dari kemampuannya itu? Memang selamat orang yang menjaga kesadaran, namun jangan berhenti di sana saja, karena tetap lebih mulia mereka yang berusaha menyelamatkan yang belum sadar.
Ini memang tugas yang sulit. Amar ma’ruf nahi mungkar tidak pernah menjadi perkara yang mudah. Namun, itulah tugas kita semua!
“// tapi janji Tuhan sudah pasti // seuntung apa pun orang yang lupa daratan // lebih selamat orang yang menjaga kesadaran.”
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu menyuruh) yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS: Ali-Imran: 110)