Al-Quran Tidak Sesuai Gramatika Bahasa Arab?
Oleh: Bana Fatahillah, Lc, M. Ag (Guru Bahasa Arab Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Tersebar video seorang perempuan bercadar yang mengatakan bahwa dalam al-Quran terdapat kesalahan gramatika bahasa Arab. Ia mengaku telah murtad dan mengkritik poin kesalahan al-Quran ini ketika kuliah di jurusan Sastra Arab.
Sebelum menjawab, ada tiga poin yang harus dipahami sejak awal.
Pertama, al-Quran turun dengan puncak kefasihan bahasa Arab yang membuat para punggawa sastra dan bahasa tunduk di hadapannya. Sebagian mengakui lalu masuk Islam, seperti Umar bin Khattab dan Jubair bin Muth’im. Sebagian lain gengsi dan menolak masuk Islam layaknya Walid bin Mughirah.
Kedua, al-Quran melahirkan ilmu-ilmu bahasa Arab dari gramatika, morfologi, retorika dan lain sebagainya. Semua itu dalam rangka membantu umat muslim yang “rasa” bahasa Arabnya tidak setebal para sahabat dahulu dalam memahami al-Quran.
Ketiga, memang ada sejumlah atsar yang mengatakan terdapat lahn (kesalahan bahasa) dalam al-Quran. Namun itu semua hanya riwayat yang sanadnya lemah dan sudah dibantah oleh para ulama. (Lihat bantahan lengkap riwayat ini dalam Radd al-Buhtan ‘an I’rab Aayatin min Al-Qur’an, Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 209, 2000, hal. 26-33)
Kembali pada persoalan di atas, apakah benar al-Quran menyelisihi gramatika Arab. Berikut jawabannya dalam beberapa poin
Pertama, orang tersebut sejatinya keliru. Sebab al-Quran merupakan inspirasi dari ilmu bahasa Arab termasuk gramatikanya. Maka seharusnya yang tunduk bukan al-Quran melainkan kaidah tersebut.
Aneh jika kalam Allah dikoreksi bahkan disalahkan dengan kaidah rumusan imam Sibawaih ataupun Khalil al-Farahidi yang merupakan manusia.
Mengapa demikian, sebab mereka sendiri meletakkan al-Quran sebagai rujukan pertama dalam menguatkan kaidah yang dibuat, setelah itu barulah perkataan atau syair Arab. Artinya al-Quran itulah yang menjadi rujukannya. Maka tak heran jika al-Farra (w. 207 H) mengatakan:
“Al-Qur’an a’rabu wa aqwa fi al-Hujjah min al-Syi’ri” (Al-Quran melebihi syair Arab dari segi i’rab dan kekuatan dalam menjadi hujjah bahasa Arab)
Itu artinya, al-Quran lah yang menjadi sumber. Maka sekali lagi, al-Quran yang harusnya mengarahkan kaidah kaidah rumusan itu.
Kedua, jika diteliti, sejatinya al-Quran tidak menyelisihi satu pun kaidah bahasa Arab. Sebab sejumlah kalimat yang dianggap salah, realitanya telah diucapkan oleh orang Arab sebelum Islam meskipun hanya sebagian kabilah atau orang. Sumber seperti ini dalam nahwu disebut sama’iy, alias didengar langsung dari orang Arab yang mana perkataan mereka menjadi hujjah.
Nah, al-Quran, andai zahirnya menyelisihi kaidah pun, ia ada rujukannya dalam bahasa Arab. Terkait ini Ibnu Hisyam (w. 761 H) berkata:
“Wa lam yujad fi al-Qur’an al-Azhim harfun wahidun illa wa lahu wajhun shahihun fi al-Arabiyyah” (Tidak ada dalam al-Quran yang Agung itu satu bacaan apapun kecuali ia memiliki ‘rujukannya’ dalam bahasa Arab)
Misalnya, persoalan isim inna yang dalam kaidah umum nahwu dibaca manshub (harakat fathah atau yang mewakilinya). Mereka biasanya mempersoalkan ayat 64 Surat Thaha “inna Hadzani lasahirani” (dalam bacaan jumhur) yang seharusnya dibaca nashab “lasahiraini
Namun faktanya, di sana ada kabilah Arab yang senantiasa me-nashab-kan isim mutsanna dalam keadaan apapun. Maka itu menguatkan kebenaran al-Quran yang tidak menyelisihi bahasa Arab, dan memang sudah seharusnya benar. (Bantahan lengkapnya lihat Syudzur Al-Dzahab fi Ma’rifati Kalam Al-‘Arab, Kairo: Dar Al-Bashair, 2019, hal. 74)
Lebih lanjut ulama nahwu menjelaskan. Jika terjadi pertentangan antara qiyas (kaidah) dan sama’ maka yang didahulukan adalah sama. Misalnya kata istahwadza yang secara kaidah harusnya dibaca istahadza (Lihat Qs. Al-Mujadalah: 19). Namun kata ini dibenarkan karena memang orang Arab mengucapkannya demikian.
Perlu diketahui, bahwa orang Arab yang dimaksud bukan sembarang orang Arab. Tapi mereka yang hidup di masa awal pembentukan kaidah nahwu (‘ashr al-Ihtijaj)
Ketiga, para ulama mengatakan bahwa al-Quran adalah sumber pendengaran kaidah nahwu yang paling tinggi (Sama’ al-A’la wa al-Aqwa). Dalam kitab Al-Nahwiyyun wa Al-Quran dikatakan:
“Jika Kalian mendapati kaidah nahwu yang menyelisihi al-Quran, maka tinggalkanlah kaidah itu dan berpeganglah pada lafadz yang diberikan al-Quran. Sebab siapa yang berpegang pada bukti al-Quran, maka ia telah berpegang pada argumen yang kuat dan dalil yang kokoh” (Lihat Al-Nahwiyyun wa Al-Quran, Oman: Maktabah Al-Risalah al-Haditsah, 2002, hal. 333)
Semua fakta ini seharusnya diketahui oleh pelajar jurusan Sastra Arab. Kecuali jika memang sedari awal ingin menutup cahaya al-Quran. Tuduhan ini bukan barang kemarin sore. Persoalan ini sudah dibantah oleh sederet ulama seperti al-Baqillani dan Ibnu Hisyam. Namun didengungkan terus oleh mereka yang tidak suka dengan Islam. Wallahu a’lam bi al-Shawab.