Imam Al-Ghazali Bukan Falasifah, Tapi Philosopher!
Oleh: Farrel Ahmad Wijaksana (Santri SMA At-Taqwa College, 17 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Ketika membahas filsafat Islam, maka kita akan menjumpai banyak misconception dan kekeliruan. Misalnya, apakah yang dimaksud sebagai filsafat Islam itu tasawwuf? Atau apakah filsafat Islam itu sama dengan kalam? Nomenklatur bagi istilah “filsafat“ dalam Islam sangat beragam. Ada yang menyebutkannya sebagai falsafah, hikmah, kalam, bahkan ulumul awail (ilmu-ilmu terdahulu). Pembahasan filsafat sendiri masih sering dipertanyakan—bahkan dikesampingkan—keabsahannya, yang mana ini berbeda dengan disiplin ilmu lainnya dalam Islam. Sampai sekarang diskursus filsafat memiliki stigma “kurang” baik di kalangan umat Islam itu sendiri.
Pada akhirnya, kesalahpahaman dan pencampuradukan konsep yang tidak tepat terletak pada: bagaimana kita memaknai istilah itu sendiri. Filsafat Islam tidak sepenuhnnya sama dengan filsafat Barat, sebagaimana yang sering disalahpahami orang. Kekeliruan tentang makna dan maksud filsafat Islam bersumber kepada pemaknaan filsafat dengan kerangka berpikir Barat, di mana generalisasi dan penyamaan yang tidak nyambung dipaksakan; hingga pada akhirnya melahirkan pemahaman salah yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Filsafat yang berkembang di Barat tidak sama dengan filsafat yang berkembang di Islam. Filsafat di Islam berkembang karena agama, sedangkan filsafat di Barat perlahan membuang agama. Mengutip perkataan Syed Hossein Nasr, bahwa keunikan filsafat Islam dibanding dengan sistem filsafat lainnya terletak pada pembahasaan tentang Nabi dan apa yang dibawa oleh Nabi. Oleh karena itu, filsafat Islam disebut sebagai prophetic philosophy. Lebih lanjut lagi, dalam kuliahnya, Ustadz Khayrurrijal mengatakan tentang asal filsafat Islam; “tentang origin-nya (filsafat Islam) bermula pada worldview Islam”. Dapat disimpulkan, filsafat Islam itu unik, dan tidak sama dengan filsafat Barat atau filsafat-filsafat lainnya.
Sebelum filsafat berkembang secara pesat dalam Islam, kalam telah lebih dahulu berkembang berkat peran kaum Muktazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atha—meski peran Ibnu Sina, al-Farabi, dll., dalam filsafat Islam juga memiliki pengaruh. Baru ketika Imam al-Ghazali berkiprah, pertemuan di antara tasawwuf, kalam, dan filsafat—yang waktu itu tidak terpisah dengan sains, matematika, logika, dan ilmu alam—menjadi lebih intens.
Sebagai tokoh pelopor-sentral dalam perkembangan tradisi keilmuan Islam, Imam al-Ghazali juga menjadi titik penting dalam pemaknaan filsafat dalam Islam. Imam al-Ghazali berhasil meletakkan dasar integrasi di antara tasawwuf, kalam, dan filsafat; tanpa harus kehilangan makna sebenarnya dalam Islam. Secara lebih khusus, dalam filsafat al-Ghazali meringkas pemikiran inti filsafat Yunani dalam Maqashid al-Falasifah, kemudian mengkritik pandangan filsafat Yunani tersebut dan “failasuf“ muslim sebelumnya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.
Oleh karena itu, ketika Imam al-Ghazali disebut sebagai bagian dari “falasifah“ sebenarnya tidak tepat. Karena istilah tersebut merujuk kepada pemikiran filsafat Yunani yang beliau sendiri kritik. Akan tetapi, mengatakan bahwa Sang Hujjatul Islam “membunuh“ filsafat adalah pernyataan yang hiperbolik dan tidak benar. Karena sesungguhnya, al-Ghazali justru menjadi pelopor berkembangnya filsafat Islam; yaitu filsafat yang bernafaskan tasawwuf dan diperkuat oleh kalam, yang pada dasarnya sesuai dengan epistemologi Islam. Pernyataan bahwa Imam al-Ghazali membunuh filsafat hanya sesuai jika filsafat dalam konteks ini adalah filsafat Barat; dan lebih tepatnya lagi, pemikiran filsafat failasuf Yunani yang berkembang dalam umat Islam.
Imam al-Ghazali bukan salah satu dari falasifah! Tapi beliau adalah pelopor bagi filsafat Islam yang lebih murni. Meski bukan termasuk kelompok falasifah, Imam al-Ghazali tetap dapat dipandang sebagai seorang philosopher.
(Artikel ini ditulis atas pemaparan Ustadz Khayrurrijal dalam mata kuliah “Filsafat Islam I“ sesi pertama.)
Pada akhirnya, kesalahpahaman dan pencampuradukan konsep yang tidak tepat terletak pada: bagaimana kita memaknai istilah itu sendiri. Filsafat Islam tidak sepenuhnnya sama dengan filsafat Barat, sebagaimana yang sering disalahpahami orang. Kekeliruan tentang makna dan maksud filsafat Islam bersumber kepada pemaknaan filsafat dengan kerangka berpikir Barat, di mana generalisasi dan penyamaan yang tidak nyambung dipaksakan; hingga pada akhirnya melahirkan pemahaman salah yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Filsafat yang berkembang di Barat tidak sama dengan filsafat yang berkembang di Islam. Filsafat di Islam berkembang karena agama, sedangkan filsafat di Barat perlahan membuang agama. Mengutip perkataan Syed Hossein Nasr, bahwa keunikan filsafat Islam dibanding dengan sistem filsafat lainnya terletak pada pembahasaan tentang Nabi dan apa yang dibawa oleh Nabi. Oleh karena itu, filsafat Islam disebut sebagai prophetic philosophy. Lebih lanjut lagi, dalam kuliahnya, Ustadz Khayrurrijal mengatakan tentang asal filsafat Islam; “tentang origin-nya (filsafat Islam) bermula pada worldview Islam”. Dapat disimpulkan, filsafat Islam itu unik, dan tidak sama dengan filsafat Barat atau filsafat-filsafat lainnya.
Sebelum filsafat berkembang secara pesat dalam Islam, kalam telah lebih dahulu berkembang berkat peran kaum Muktazilah yang dipimpin oleh Washil bin Atha—meski peran Ibnu Sina, al-Farabi, dll., dalam filsafat Islam juga memiliki pengaruh. Baru ketika Imam al-Ghazali berkiprah, pertemuan di antara tasawwuf, kalam, dan filsafat—yang waktu itu tidak terpisah dengan sains, matematika, logika, dan ilmu alam—menjadi lebih intens.
Sebagai tokoh pelopor-sentral dalam perkembangan tradisi keilmuan Islam, Imam al-Ghazali juga menjadi titik penting dalam pemaknaan filsafat dalam Islam. Imam al-Ghazali berhasil meletakkan dasar integrasi di antara tasawwuf, kalam, dan filsafat; tanpa harus kehilangan makna sebenarnya dalam Islam. Secara lebih khusus, dalam filsafat al-Ghazali meringkas pemikiran inti filsafat Yunani dalam Maqashid al-Falasifah, kemudian mengkritik pandangan filsafat Yunani tersebut dan “failasuf“ muslim sebelumnya dalam kitab Tahafut al-Falasifah.
Oleh karena itu, ketika Imam al-Ghazali disebut sebagai bagian dari “falasifah“ sebenarnya tidak tepat. Karena istilah tersebut merujuk kepada pemikiran filsafat Yunani yang beliau sendiri kritik. Akan tetapi, mengatakan bahwa Sang Hujjatul Islam “membunuh“ filsafat adalah pernyataan yang hiperbolik dan tidak benar. Karena sesungguhnya, al-Ghazali justru menjadi pelopor berkembangnya filsafat Islam; yaitu filsafat yang bernafaskan tasawwuf dan diperkuat oleh kalam, yang pada dasarnya sesuai dengan epistemologi Islam. Pernyataan bahwa Imam al-Ghazali membunuh filsafat hanya sesuai jika filsafat dalam konteks ini adalah filsafat Barat; dan lebih tepatnya lagi, pemikiran filsafat failasuf Yunani yang berkembang dalam umat Islam.
Imam al-Ghazali bukan salah satu dari falasifah! Tapi beliau adalah pelopor bagi filsafat Islam yang lebih murni. Meski bukan termasuk kelompok falasifah, Imam al-Ghazali tetap dapat dipandang sebagai seorang philosopher.
(Artikel ini ditulis atas pemaparan Ustadz Khayrurrijal dalam mata kuliah “Filsafat Islam I“ sesi pertama.)