Waspadalah, Buku Sirah Nabi Dengan Data Palsu Dan Melemahkan Ruh Dakwah
Oleh: Bana Fatahillah, Lc (Direktur SMP Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Pemahaman sirah Nabawiyyah berpengaruh penting dalam kehidupan seorang muslim. Dengannya kandungan Al-Qur’an dan Sunnah lebih mudah dipahami. Lewatnya juga seorang muslim memiliki potret ideal yang diteladani dalam seluruh lini kehidupannya.
Tak kalah penting dari itu semua, menurut Syekh Ramadhan Al-Buthi, sirah Nabawiyyah dapat menanamkan ruh dakwah kepada seorang muslim. Ia memberikan contoh riil bagaimana lika-liku seorang da’i dalam menyampaikan risalah Islam ke berbagai kalangannya. Sebab keseharian Nabi tak pernah lepas dari dakwah dan pendidikan, baik disampaikan secara lisan atau diteladani lewat perbuatan.
Ironinya, sumber sirah Nabawiyyah saat ini –khususnya yang ditulis peneliti barat—banyak yang kehilangan spirit dakwahnya. Mereka hanya mengkaji data-data sejarah melalui pendekatan ilmu modern sehingga seringkali memberikan pendapat pribadi yang bersifat asumtif dan jauh dari yang diriwayatkan ulama.
Coba lihat buku Muhammad; Prophet and Statesman karya Montgomery Watt. Di dalamnya ia mengisahkan Nabi yang terus meminta perlindungan dari berbagai kabilah setelah pulang dari Thaif. Ini karena kematian Abu Thalib membuat Nabi terpuruk khususnya pasca dakwah di Thaif. Kalimat Watt memberi kesan Nabi “mengemis” pertolongan dari sejumlah elit kabilah.
Ia menulis, “… yang jelas Muhammad kehilangan perlindungan dari Baninya sendiri dan tidak lagi melanjutkan usaha perdagangannya di Makkah. Muhammad terus coba memperoleh dukungannya dari beberapa suku nomad yang sedang berada di sekitar Makkah kala itu” (Muhammad; Prophet and Statesman, hal. 130-131)
Ini berbeda dengan apa yang ditulis para ulama muslim. Kisah Thaif justru mengajarkan betapa kuatnya keyakinan Nabi pada Allah di keadaan terpuruk sekalipun. Coba simak jawaban Nabi saat ditanya Zaid bin Harittsah ketika hendak pulang dari Thaif: “bagaimana engkau bisa pulang ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusirmu?” Dengan penuh optimis Rasul menjawab, “wahai Zaid sesungguhnya Allah menjadikan atas ini semua jalan keluar, dan sungguh Allah akan menolong agama-Nya dan mengangkat Nabi-Nya!”
Inilah contoh nyata bagaimana keyakinan seorang da’i kepada tuhannya. Optimis bukan pesimis. Hebatnya, Nabi tidak menyamapaikan pesan itu dengan lisan. Namun apa yang menimpa beliau, itulah yang menjadi sebuah pesan.
Di bagian lain dari bukunya, Watt juga mengutarakan pandangan pribadinya dengan menulis bahwa tujuan Nabi menikahi Sayyidah Khadijah adalah agar bisa hidup dalam kekayaannya. “… bagaimana cara seorang anak yatim, sehebat apa pun bakatnya, bisa bertahan menjalani hidupnya? Satu-satunya hal yang mungkin adalah dengan menemukan seorang perempuan kaya untuk dijadikan istri…” (hal. 29).
Ia tidak melihat bagaimana peran seorang istri dalam mendukung proses dakwah. Khadijah merupakan teladan bagi setiap Muslimah bagaimana mendukung pasangannya khususnya dalam berdakwah. Inilah yang alpa dari buku-buku cendekiawan Barat. Mereka mengisahkan Khadijah sebagai orang pertama yang masuk Islam. Namun mereka tidak menanamkan spirit dakwah seorang istri di belakang suaminya.
Riwayat Dusta
Selain kehilangan ruh dakwahnya, sumber sirah Nabi karya penulis Barat juga tidak memperhatikan keautentikan sebuah riwayat yang dikutipnya.
Salah satunya adalah tentang “ayat-ayat setan” yang intinya Nabi Muhammad membenarkan berhala-berhala sebagai perantara Tuhan. Kisah ini terkenal dengan Qisshat al-Gharaniq. Sebagian mufassir klasik memang meriwayatkan kisah ini. Namun tidak bisa dinafikan, bahwa sejumlah ulama seperti Ibnu Katsir juga ulama kontemporer mengkritik habis-habisan kekeliruan ini dari segi sanad dan isinya yang menyelisihi ishmah al-Nubuwwah (penjagaan Nabi dari dosa besar).
Namun mereka tidak objektif. Mengutip satu cerita lalu mengabaikan komentar para ulama atas itu. Maka lahirlah buku-buku kontroversial seperti The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Begitu pun karya sejumlah peneliti barat lainnya, termasuk Watt, dengan menambahkan pendapat asumtif bahwa Muhammad menyampaikan ini agar dapat masuk dalam “circle” elit Makkah sehingga memudahkan dakwahnya.
Kisah dusta lain yang beredar di buku-buku peneliti barat ialah perihal Muhammad belajar kepada ahli kitab, Yahudi dan Nasrani. Bahkan mengatakan Muhammad terinspirasi dari konsep teologi Yahudi dan Nasrani sehingga menuangkannya dalam Al-Qur’an.
Watt menulis, “Muhammad mungkin pernah bertemu dengan orang Yahudi dan Kristen dan bicara panjang lebar perihal keagamaan dengan mereka, karena itu pengetahuan semacam konsepsi-konsepsi Judeo-Kristen yang diketahuinya pastilah sampai kepadanya secara lisan…Bahkan Muhammad diriwayatkan beberapa kali bertukar pikiran dengan Waraqah,” tulis Watt. (hal. 72)
Teori asimilasi ideologi semacam ini sudah dibantah oleh sederet ulama. Semua pernyataan itu terbantahkan dengan fakta sejarah yang ada, di mana Nabi –kendati berinteraksi dengan Yahudi dan Nasrani—tidak pernah berbicara soal ritual agama atau persoalan keyakinan. Pertemuan itu pun terjadi hanya beberapa kali dan tidak dalam waktu yang lama.
Bagi umat muslim, keautentikan sejarah harus dibuktikan dengan sanad yang jelas juga kredibilitas orang yang meriwayatkan. Nyatanya, tidak ada satu pun sanad yang membuktikan Nabi Muhammad belajar perihal agama melalui ahli kitab. Namun bagi Barat, lewat pengamatan sosio-historis atau pendekatan lainnya, hal itu kemungkinan bisa terjadi meskipun sifatnya asumtif dan tidak ada sumbernya.
Banyak sisi “gelap” lain dari buku sirah yang ditulis peneliti modern. Tidak hanya dari luar, bahkan dari kalangan muslim pun ikut melakukannya. Syekh Al-Buthi mencatat bahwa pasca imperialisme Barat di Mesir, beberapa cendekiawan muslim mulai mengganti analisis riwayat, sanad dan kaidah periwayatan dalam penulisan sejarah dengan metode yang menurut mereka ilmiah.
Lahirlah buku-buku sirah yang berupaya menolak hal-hal gaib dan luar biasa seperti mukjizat karena tidak masuk akal dan tidak diterima pengetahuan modern. Kemudian menyematkan pada diri Nabi sifat genius, agung, pemberani, negarawan dan lain-lain. Dengan tujuan agar pembaca lupa dengan sifat inti dari beliau, yaitu kenabian, wahyu, risalah yang justru dengan sifat itulah sejatinya Nabi memperkenalkan dirinya ke dunia.
Tidak ada yang salah dengan rasa ingin tahu. Namun berhati-hatilah memilih bacaan. Jika baru mengenal dunia sirah, maka jadikanlah karya para ulama muslim sebagai buku induknya sebagai bekal. Bukan karya yang ditulis oleh para orientalis Barat. Jadikan buku mereka sebagai bacaan pendamping untuk dikritisi.