Empat Tahun Lalu, Santri 17 Tahun Ini Ingatkan Pentingnya Reformasi Pemikiran Pendidikan
Oleh: Dr. Adian Husaini
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Tahun 2020, Fatih Madini (santri Pesantren At-Taqwa Depok yang ketika itu berumur 17 tahun), menerbitkan buku keduanya dengan judul “Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita” (Depok: YPI at-Taqwa, 2020). Dalam buku setebal 381 halaman itu, ia menyampaikan gagasan pentingnya dilakukan reformasi pemikiran pendidikan kita, agar pendidikan kita sukses melahirkan generasi unggul.
Menurut penulis buku itu, ada masalah serius dalam pendidikan kita. Dan itu merupakan masalah mendasar, terkait dengan pemikiran pendidikan. Jika gagal melakukan reformasi pemikiran pendidikan, maka dikhawatirkan akan terjadi bencana pendidikan. Hal ini pernah diingatkan oleh pakar pendidikan dan pemikiran Islam, Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam salah satu puisinya berjudul: “Jangan sampai Adam menyesal, dan Iblis berkenduri besar!”
Tujuan pendidikan yang hakiki adalah untuk membentuk manusia yang baik. Iblis akan kenduri besar jika pendidikan dijauhkan dari tujuan mulia tersebut. Yakni, pendidikan hanya diabdikan untuk kepentingan industri, untuk meningkat gaji, mengejar keuntungan materi, mengecilkan peranan iman dan akhlak mulia.
Sekolah atau universitas dianggap hebat, dipandang favorit, jika meluluskan orang-orang yang dapat menghasilkan keuntungan materi. Iman, taqwa, dan akhlak mulia tidak dijadikan sebagai kriteria utama untuk menilai ketinggian derajat seorang sarjana atau lembaga pendidikan. Dalam puisinya, Prof. Wan Mohd Nor menulis: “Anggap sekolah, madrasah tidak berarti/jika gagal meningkat gaji/Universiti tidak dinilai secara insani/hanya patuh nafsu industri.”
Keprihatinan dan kekhuatiran Prof. Wan Mohd Nor itu ditangkap oleh Fatih Madini dan dijabarkan dalam berbagai artikelnya tentang perlunya dilakukan reformasi pemikiran pendidikan. Pendidikan harus dikembalikan pada tujuannya yang sebenarnya, yaitu mendidik manusia agar menjadi manusia yang sempurna (al-insan al-kulliy), sesuai dengan namanya: universitatem, jaami’ah, kulliyyah.
Selama bertahun-tahun nyantri di Pesantren at-Taqwa, Fatih Madini telah mengkaji puluhan kitab-kitab adab para ulama, seperti Adabul Alim wal-Muta’allim, Ta’limul Muta’allim, Bidayatul Hidayah, al-Arba’in an-Nawawiyah, Ihya’ Ulumiddin, Gurindam 12, Siyarus Salikin, dan sebagainya.
Kini, tahun 2024, ia aktif sebagai guru di pesantren dan mengajar beberapa mata pelajaran, seperti Kitab Ta’limul Muta’allim, Islamic Worldview dan sebagainya untuk para santri tingkat SMP dan SMA. Pada tahun 2018, ia menerbitkan buku pertamanya berjudul: “Mewujudkan Insan dan Peradaban Mulia” (YPI at-Taqwa, 2018).
Secara singkat, gagasan perlunya refeormasi pemikiran pendidikan itu dituangkan dalam pengantar bukunya: “Pendidikan, tidak melulu soal ajang tranfer ilmu antara guru dan murid. Pendidikan, bukan hanya ladang guru untuk menjadi “tukang ngajar” dengan tujuan materi. Pendidikan, bukan sekedar ladang murid untuk menumpuk ilmu dan menggali wawasan sedalam-dalamnya. Dan Pendidikan yang sesungguhnya, bukan pula institusi yang secara komitmen melahirkan banyak orang pintar dan pandai, tanpa sedikit pun peduli akan kebaikan dan kebermanfaatan mereka…
Melihat semua itu, tidakkah ada rasa miris serta kecewa? Sebab, apakah sejahat dan setega itu institusi pendidikan, sampai-sampai harus membiarkan iman para penuntut ilmu yang secara sadar atau tidak, terkikis karena sekularisme dan pluralisme? Membiarkan mereka menjadi para pecandu materi dan pecinta dunia karena materialisme dan pragmatisme? Membiarkan mereka menjadi insan-insan yang sukses di dunia, namun lupa akan Tuhannya dan tidak lagi bangga akan agamanya? Membiarkan mereka menjadi pribadi-pribadi yang tidak tahu secara tepat asal-usulnya, tujuan hidupnya, siapa yang pantas diteledani dan dilanjutkan perjuangannya, dan mau kemana nantinya? Membiarkan mereka menjadi manusia yang lambat dewasa dan terus-menerus merelakan dirinya menjadi seorang remaja yang “katanya” identik dengan sifat labil dan tidak bisa menentukan sikap? Membiarkan mereka menjadi alumni-alumni atau lulusan-lulusan ber-ijazah dan ber-gelar, tapi kering akan adab dan akhlak, makna, nilai-nilai kebaikan, keadilan, kebermanfaatan, kepedulian akan umat serta perjuangan?
Jelas, yang hendak direformasi, adalah “pemikiran” atau “cara pandangnya”. Sebagai Muslim, pandangan Islam-lah yang -- tidak bisa tidak – harus digunakan. Artinya, buku ini hendak mengajak institusi pendidikan, termasuk orang tua, guru, dan anak atau murid, (yang mau tidak mau berkaitan erat dengan dunia pendidikan), kembali kepada hakikat pendidikan Islam. Mulai dari tujuan pendidikan, kurikulum, program, sampai evaluasinya.
Sebab, pendidikan yang benar, akan melahirkan generasi gemilang atau SDM-SDM yang unggul dan siap berada pada posisi-posisi penting yang menjadi pilar peradaban. Artinya, maju-mundurnya peradaban ditentukan oleh kualitas pendidikan. Dan pendidikan Islam yang sesungguhnya, telah membuktikan hal itu lewat kelahiran 4 generasi gemilang dalam sejarah. Mulai dari generasi sahabat Nabi, generasi Shalahuddin al-Ayyubi, generasi Muhammad al-Fatih, sampai generasi santri 10 November 1945 di negeri kita tercinta, Indonesia. Maka, langkah selanjutnya, adalah “mau atau tidak keluar dari zona nyaman” dan “mau atau tidak bersusah payah dalam mengaplikasikan dan mewujudkannya?” Sebab, yang hendak dilahirkan dalam pendidikan Islam, bukan sekedar para pekerja yang haus akan dunia, melainkan lebih dari itu.”
*****
Kini, kita sudah memiliki presiden baru, Presiden Prabowo Subianto, seorang tokoh yang dikenal memiliki jiwa patriotisme tinggi. Ia bertekad membawa Indonesia maraih kemajuan dan kesejahteraan. Ia ingin Indonesia menjadi negara kuat yang disegani oleh dunia internasional. Presiden Prabowo sudah mengangkat dua pakar dan pegiat pendidikan sebagai Menteri Pendidikan. Bahkan, agar lebih fokus pekerjaannya, Kementerian Pendidikan dipecah menjadi dua: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kementerian Pendidikan Tinggi.
Nah, apakah niat dan misi besar Presiden Prabowo itu akan berhasil? Kita doakan begitu! Tapi, tidak ada salahnya jika gagasan santri yang jernih dan tulus itu patut kita renungkan bersama. Sebagai rakyat, kita sekedar melaksanakan kewajiban mendoakan dan menyampaikan taushiyah kepada para pemimpin kita. Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 17 November 2024).