Tunaikan Kontrak dengan Allah, Supaya Jadi Sebaik-Baik Manusia

Oleh: Yusuf Sholih (Santri Pesantren At-Taqwa Depok, ATCO, 18 Tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Sadarkah kita? Bahwa sebelum ditiupkannya ruh ke dalam perut ibu kita, kita semua (manusia) telah terikat perjanjian dengan Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya:

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini” (QS. 7: 172)

Dari ayat ini jelas bahwa kita memiliki kontrak dengan Allah SWT. Untuk mengetahui kontrak tersebut Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad SAW yang juga  role model di dalam penunaian kontrak tersebut. Nilai-nilai dalam Islam dan keteladanan Nabi Muhammad lah yang kemudian menjadi pakem (standarisasi) kita dalam memandang baik dan buruk.

Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam bukunya, “Islam and Secularism”, menjelaskan bahwa dalam Islam, tidak ada yang dinamakan “kontrak sosial” (perjanjian hasil kesepakatan sesama manusia dalam konteks kehidupan sosial), seperti tidak diperkenankannya perilaku mencuri, mengganggu, membuli, korupsi, berlaku zalim kepada orang lain, dan sebagainya. 

Jika kita sadar akan kontrak kita kepada Allah, maka acuan kita dalam melakukan hal-hal tersebut tidak saja sebatas masalah sosial. Akan tetapi ada nilai yang lebih tinggi daripada itu, yaitu karena Allah-lah yang menyuruh kita melakukannya. Baik itu perintah langsung dari Al-Qur’an maupun melalui Nabi SAW. 

Dengan peningkatan penunaian kontrak kita dengan Allah, akan ada dua kebaikan. Pertama, nilai-nilai yang diwujudkan jauh lebih universal karena Islam agama yang universal. Semakin taat kepada Allah, semakin mulia ia di hadapan Allah dan baik kepada manusia, bahkan seluruh makhluk-Nya. 

Ia tahu betul apa yang mesti dikerjakan ataupun ditinggalkan secara adil. Ia tahu bagaimana bisa bersikap baik kepada sesama manusia tanpa harus meninggalkan perintah dan melanggar larangan Allah. Ia juga paham bahwa menjadi hamba yang taat kepada Allah itu tidak hanya melalui shalat, tapi juga menjadi manusia baik dan bermanfaat bagi orang lain, sehingga dapat tercipta lingkungan yang baik. 

Kedua, karena semua kebaikan yang dilakukan selalu dilandaskan atau diniatkan “karena Allah”, hasil atau ganjaran daripada kebaikan tersebut pada akhirnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Inilah etika dalam Islam, sebagaimana firman Allah: “In ahsantum, ahsantum li-anfusikum” Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri (QS. 17: 7).
 
Selain itu, hal ini juga sebagai tanda bahwa kita mampu bersikap adil pada diri kita. Sebab, dengan demikian kita telah mampu menempatkan posisi diri kita pada ‘tempat yang tepat dan benar’, yaitu sebagai hamba Allah dan untuk beribadah kepada-Nya". Sebaliknya, orang bermaksiat adalah orang yang tidak adil pada dirinya sendiri, sebab ia melanggar perjanjian dengan Allah SWT yang telah menciptakan. 

Untuk dapat menunaikan kontrak kita kepada Allah SWT dengan sebaik-baiknya, ilmu nafi’ adalah kuncinya. Sebagaimana Imam Ghazali katakan, bahwa salah satu ciri ilmu nafi’ itu adalah ilmu yang semakin membuat pemiliknya takut dan taat kepada Allah. 

Jadi, Seiring banyaknya ilmu seharusnya semakin sempurna dalam menunaikan kontrak dengan Allah, bukan justru semakin jauh. 

Maka pertanyaannya, sejauh mana diri kita menunaikan kontrak dengan Allah yang telah lama sudah kita ikrarkan dengan sekian banyaknya ilmu yang telah kita miliki? Wallahu ’alam bish-shawab.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086