Tak Seperti Peradaban Barat, Islam Memandang Tuhan dan Agama Bukan Guyon
Oleh: Ariq Ashim Nashrullah (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Bagi masyarakat Barat yang sekular, Tuhan dan agama merupakan hal yang sudah tidak sakral lagi. Mereka meyakini bahwasanya kedua komponen ini sama sekali tidak penting. Begitu tutur Guru Besar Filsafat Islam Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya, Misykat.
Menurut Ustadz Hamid, latar belakang fenomena tersebut ada dua. Pertama, karena konsep Tuhan dalam Bible problematik. Bahkan kata Newton, Trinitas telah merusak agama murni Yesus. “Pernyataan eksplisit bahwa Yesus itu Tuhan memang absen dari Bible,” ucap Ustadz Hamid.
Kedua, karena sejak awal, Bible, sebagai sumber utama konsep Tuhan, menuai banyak keraguan bagi pembacanya. Alhasil, jika ragu terhadap teksnya, maka dapat dipastikan ragu terhadap isinya, termasuk isi mengenai ketuhanan.
Maka, muncullah ide Hermeneutika, sebuah alat untuk mengkritisi Bible. Mirisnya, karena dua problem di atas tidak pernah selesai, metode kritik Bible (Biblical Criticism) ini justru melahirkan ateisme modern.
“Ketika orang ragu akan teks Bible ia juga ragu akan isinya, akan kebenaran hakikat Tuhan dan tentang kebenaran eksistensi Tuhan itu sendiri. Hasil akhirnya adalah ateisme. Bukan hanya Biblenya yang problematik, tapi perangkat teologisnya yang tidak siap. Inilah masalah teologi,” jelasnya.
Sekularisme yang mengarah pada Ateisme pun melanda masyarakat Barat. Otoritas teolog diambil alih oleh filosof dan saintis, yang menganggap bahwa tuhan sudah tidak dianggap sebagai komponen penting dalam kehidupan.
Dampak pertama dari hal itu adalah Tuhan diusir dari keilmuan, filsafat, peradaban, dan kehidupan. Mereka seperti berpegang kepada prinsip Aristoteles bahwa Tuhan adalah “unmoved Mover”. Dia ada, tapi tidak perlu mengatur manusia.
Yang lebih ekstrem adalah pikiran yang diwakili oleh Friedrich Nietzsche bahwa Tuhan harus dibunuh. Baginya dan para filosof yang sejalan dengannya, kalaupun Ia belum mati, sudah menjadi tugas manusia rasional untuk membunuhnya. Sekalipun ada, kata Voltaire, Ia tidak boleh bertentangan dengan standar akal.
Begitulah kemudian Tuhan di Barat menjadi realitas subjektif dalam pikiran manusia, hasil rekayasa akal yang dirasa lebih cocok dengan masa kini. Sehingga manusia makhluk berakal harus lebih dominan daripada manusia makhluk Tuhan, tutur Neale Donald Walsch dalam bukunya, “Tomorrow’s God”.
Jika konsep Tuhannya bermasalah, kata Ustadz Hamid, maka konsep agamanya pun ikut bermasalah. Lahir pula anggapan di Barat bahwa agama juga sama tidak pentingnya dengan Tuhan. Sebagaimana Tuhan, agama juga dianggap sebagai sesuatu yang lahir melalui akal dan pengalaman manusia.
Agama dianggap sebagai simbol dari fanatisme, ekstremisme, sebagaimana suporter sepakbola yang menuhankan klub favoritnya, atau seperti seorang selebriti yang mengaku, “My religion is song, sex, sand, and champagne.”
Bagi F. Schleiermacher, agama sebatas rasa ketergantungan yang absolut. Agama hanya soal emosi, intuisi, pengalaman, intuisi dan etika. Para psikolog di Barat pun mengartikan agama hanya sebagai sumber kekuatan kejiwaan manusia. Jadilah ia “religion without God and truth.”
Agama dipandang tidak berbeda dengan ritual-ritual kebudayaan yang dirancang manusia atau faktor sekunder yang bisa menunjang kehidupan manusia. Ia boleh ada boleh tidak, bahkan bisa jadi sebuah pelarian. Ketika sedih, dia ke gereja, tapi kalau berzina tidak pernah ingat murka-Nya.
Iklim seperti itu yang kemudian melahirkan Sekularisme: Tuhan dan agama harus dipisahkan dari politik, filsafat, ilmu pengetahuan, kehidupan. Juga melahirkan Pluralisme yang memaksa supaya benteng pemisah antar agama-agama harus dihancurkan, siapa yang benar dan salah, tidak penting lagi.
Berbeda dengan Barat, dalam Islam, Tuhan dan agama merupakan suatu hal yang sangat sakral dan penting bagi pemeluknya. Sebab dalam Islam, konsep keduanya tidak ada masalah. “Islam, sebagai agama, telah sempurna sejak diturunkan,” tegas Ustadz Hamid mengutip Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Konsep Tuhan dan agama dalam Islam telah sempurna sejak selesainya tanzil. Teks Al-Quran, sebagai sumber keduanya pun tidak ada masalah apalagi keraguan. Itulah mengapa dalam Islam, para ulama tidak pernah mencari Tuhan baru. Mereka hanya menjelaskan konsep itu tanpa mengubah konsep asalnya. Bahkan, penjelasan itu yang menurut Ustadz Hamid cukup untuk membangun peradaban.
“Islam tidak ditinggalkan oleh peradaban yang dibangunnya sendiri. Itulah sebabnya ia berkembang menjadi peradaban yang tangguh. Roger Garaudy yang bule itu paham, Islam adalah pandangan terhadap Tuhan, terhadap alam dan terhadap manusia yang membentuk sains, seni, individu dan masyarakat. Islam membentuk dunia yang bersifat ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus,” terang Ustadz Hamid.
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pembelajaran Islamic Worldview di Pesantren At-Taqwa Depok oleh Ustadz Fatih Madini)