Memang Sulit Membayangkan Agama Menjadi Asas Peradaban, Tapi Itulah Faktanya!

Oleh: Bana Fatahillah, Lc, M. Ag (Direktur SMA At-Taqwa College Depok)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Di era serba materialistik hari ini, tentu sulit membayangkan warisan peradaban berupa hal yang tak berwujud layaknya agama, keilmuan atau spiritualitas. Orang lebih percaya akan satu peradaban lewat peninggalan ril dan tampak seperti koloseum di Roma atau Piramyd di Mesir. 

Islam tidak mewariskan peradaban dalam bentuk bangunan semata, melainkan pada jiwa dan akal. Dua unsur inilah yang diberi nutrisi oleh agama. Maka keliru jika hanya mencari jejak peradaban Islam dari struktur material, meski itu bukan satu hal yang dinafikan. Inti dan pusatnya adalah pada nilai dan gagasan. 

Menurut Prof. al-Attas, peradaban Islam tumbuh dari keberagaman budaya umat Muslim di seluruh dunia sebagai hasil dari meresapnya “unsur-unsur dasar agama Islam” (basic elements of the religion) ke dalam diri mereka. Unsur-unsur dasar itu yang kemudian menghidupkan akal, membentuk pandangan alam, mengarahkan moral, serta menciptakan tatanan yang beradab.

Di sini al-Attas ingin menegaskan bahwa tamaddun tidak dibangun semata-mata oleh aspek kebendaan, tetapi oleh aspek non-fisik yang jauh lebih mendalam: ilmu, nilai, adab, dan spiritualitas.

Pandangan al-Attas selaras dengan sejaraawan besar Inggris, Arnold Toynbee (1889-1975). Sebagaimana disampaikan Farid Shahran dalam International Seminar di Malaysia, Toynbee dalam karya monumentalnya A Study of History menekankan bahwa elemen yang bersifat invisible seperti nilai, moral, dan ide adalah fondasi utama sebuah peradaban.

Kenapa Agama?

Agama sejak dulu menjadi satu unsur penting dalam setiap peradaban, Yunani adalah salah satunya. Mereka sejak dulu meyakini keberadaan dewa yang dianggap memiliki pengaruh dalam kehidupan. 

Menurut Robin Dunbar dalam “How Religion Evolved and How it Endures” agama telah memberikan manfaat yang bersifat functional kepada manusia sejak dahulu sehingga sekarang. Selain itu, agama juga memenuhi keperluan psikologi manusia yang cenderung untuk percaya kepada perkara yang ghaib (transcendent) dan juga manfaat dari segi memperkukuhkan ikatan sesama manusia sama ada secara individu atau masyarakat.

Agama memang menjadi satu unsur penting. Namun agama yang mereka mau bukan seperti ajaran Kristen pada umumnya. Ini sebagaimana dijelaskan Harvey Cox dalam “The Future of Faith” bahwa fitrah agama dan keagamaan dalam kalangan masyarakat moden telah berubah mengikut perubahan zaman dan pentafsiran yang sesuai dengan keadaan semasa manusia.

Semangat keagamaan itu diartikan oleh Cox sebagai “the rediscovery of the sacred in the immanent, the spiritual within the secular” (penemuan kembali hal-hal yang sakral dalam dunia yang nyata, serta nilai-nilai spiritual dalam dunia yang sekuler). 

“Mereka nak agama, tapi bukan agama yang dulu. Mereka meyakini aspek spiritualitas dalam diri manusia, namun tidak sebagaimana agama klasik dahulu,” tegas Farid Shahran.

Inilah Islam

Di sinilah keistimewaan Islam tampak jelas. Di tengah perubahan zaman dan arus sekularisme, Islam memiliki sistem epistemologi yang kokoh. Akal, indra, dan khabar shadiq (wahyu) tidak saling meniadakan atau saling menindih. Ketiganya ditata sedemikian rupa sehingga melahirkan pemahaman agama yang logis, harmonis, dan tidak saling bertentangan.

Inilah yang membuat nilai-nilai Islam dapat diwariskan secara stabil dan berterusan sepanjang zaman.

Warisan nalar keilmuan dan spiritualitas inilah yang menjaga kelangsungan peradaban Islam hingga hari ini. Agama dalam Islam tidak bertentangan dengan fakta empiris, tidak pula berbenturan dengan akal. Berbeda dengan pengalaman peradaban lain yang sering mengalami konflik antara agama dan sains.

Karenanya, peradaban Islam bukanlah bangunan fisik, tapi peradaban intelektual dan spiritual. Menurut Hilmi bin Ramli, Direktur RZS CASIS UTM, merupakan kesalahan besar jika ada yang beranggapan bahwa peradaban Islam telah punah dan hanya tinggal sejarah. 

“Selama masih ada yang mengkaji keilmuan Islam dengan baik, mengamalkan nilai-nilai keislaman sebagaimana dicontohkan baginda Nabi Saw, maka sejatinya peradaban Islam masih hidup”

Itulah peradaban Islam. perdaban akal dan pengetahuan, bukan peradaban kebendaan.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086