Tak Perlu Tinggalkan Islam Supaya Bisa Berpikir Dan Rajin Belajar
Oleh: Ariq Ashim Nashrullah (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Pada 2010, tiga orang profesor mengemukakan hasil riset mereka terhadap 137 negara, termasuk Indonesia. Mereka adalah Richard Lynn, Helmulth Nyborg, John Harvey. Riset ini mengungkapkan adanya korelasi negatif antara ketinggian IQ dengan keimanan seseorang atas suatu agama.
Hasil riset ini mengeluarkan kesimpulan yang unik, kira-kira berbunyi: “Semakin cerdas seseorang, ia semakin sekuler dan bahkan ateis. Semakin bodoh seseorang, ia semakin religius.”
Sebelumnya, sudah ada para peneliti yang mengemukakan hal yang sama, antara lain Howells dan Sinclair (1928) dan Argyle (1950-an). Kurang lebih, ketiganya menyimpulkan bahwa: “Mahasiswa cerdas cenderung tidak memiliki kepercayaan ortodoks dan tidak mendukung sikap-sikap religius”
Verhage (1964), Bell (2002), Kanazawa (2009) pun menyimpulkan hasil serupa. Dari ketiga orang ini, sekurang-kurangnya diperoleh empat temuan: 1) ada hubungan korelasi negatif antara kecerdasan dan keimanan; 2) orang elite yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara umum; 3) di kalangan pelajar, semakin berumur dan semakin berilmu, semakin turun keimanan mereka; 4) sepanjang abad dua puluh, meningkatnya masyarakat yang cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.
Bahkan Verhage, yang melakukan survey terhadap 1538 sampel di Belanda (1964), berani mengatakan kalau “Agnostik & Ateis punya IQ 4, lebih tinggi dari orang beriman”
Begitulah cuplikan beberapa peneliti terkait korelasi negatif antara IQ dan iman yang diutarakan oleh Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya, “Misykat” (terbit pertama kali tahun 2012).
Mereka, kata Prof. Hamid, seakan-akan hendak menyimpulkan dua hal: 1) supaya bisa cerdas harus menjadi sekular atau ateis, menjadi sekular atau ateis akan mencerdaskan; 2) menjadi bodoh disebabkan tingginya keimanan atau religiusitas, menjadi semakin beriman atau religius akan membuat bodoh
Menurutnya, kesimpulan itu jelas mengelirukan. Setidaknya ada dua problem yang patut dipertanyakan: “Apakah tingginya IQ penyebab besarnya penganut ateisme?” dan “Apakah orang menjadi ateis karena semakin cerdas?” Berikut kritik Prof. Hamid
Pertama, kesimpulan para peneliti itu sulit diterima dengan mengetahui adanya fakta sebaliknya. Ada negara seperti Vietnam yang IQ penduduknya lebih rendah dari Singapura, tapi tingkat ateisnya lebih tinggi (81%).
Ada negara seperti Irlandia yang IQ penduduknya 92 tapi presentasi penganut ateisnya hanya 5%. Negara-negara sepertinya, yang tingkat IQ-nya tinggi tapi ateismenya rendah, juga banyak, seperti Malaysia, Brunei, Thailand, termasuk Indonesia.
“DI negeri ASEAN kita justru bisa melihat fenomena orang-orang terpelajar yang cerdas-cerdas dan sukses dalam berkarir bukanlah orang-orang yang ateis atau rendah iman mereka,” tegas Prof. Hamid.
Hal ini menunjukkan bahwa jika IQ rendah tidak melulu disebabkan oleh agama. Bisa jadi kecerdasan seseorang rendah dikarenakan beberapa faktor lain, seperti kemiskinan, wabah penyakit, kesehatan bayi rendah, gizi buruk, dll.
Juga, ini menunjukkan bahwa IQ tinggi tidak melulu disebabkan karena Sekularisme atau Ateisme. Tapi ada faktor-faktor lain seperti banyak kemudahan, kemakmuran, kualitas pendidikan tinggi, dll.
Maka supaya bisa cerdas harus ateis atau orang cerdas pasti ateis, tidak selalu berkaitan, sifatnya lebih kepada simultan. Kesimpulan ini sulit diterima, seperti kesimpulan bahwa “Semakin banyak penduduk yang beriman dan berislam, semakin besar sumber minyak atau sumber alamnya di negeri itu”?
Terlebih, hasil penelitian itu dipengaruhi oleh worldview saintifik sekularistik yang tumbuh di Barat. Agama dan Tuhan tidak boleh dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. “Itulah setting sosial yang melahirkan hipotesis dan juga variabel penelitian ini,” ucapnya.
Kedua, dengan memahami lata belakang sejarah dan sosial Peradaban Barat yang sekular bahkan ateis, menurut Prof. Hamid, lebih tepat kalau masyarakat Barat memilih ateis bukan karena cerdas, tapi karena memang sengaja memilih sekuler, agama sengaja dimarginalkan dan disingkirkan dari ruang publik, bahkan dalam dunia sains.
Kemungkinan kedua adalah karena adanya problem dalam Kristen. Yakni Bibel yang tidak mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat saintifik dan masuk akal tentang alam, manusia dan tuhan. Terlebih mereka juga memiliki sejarah yang kelam, mengenai inquisisi gereja dan paus.
Kritik ketiga, adalah mengenai penyempitan makna pada dua istilah sebagai sebab dari worldview sekular yang mengaburkan makna agama dan menjauhkan hakikat spiritual. Pertama istilah “beriman” yang tolak ukurnya hanya berdasarkan pertanyaan: “Apakah Anda orang yang beriman?”
“Dalam Islam variabel keimanan bukan sebatas pertanyaan, tapi juga realisasinya dalam bentuk aksi atau amal. Amal menyangkut perilaku baik-buruk alias akhlak… sangat luas dan kompleks,” jelas Prof. Hamid.
Kedua, makna pada istilah “cerdas” yang disempitkan hanya kepada IQ. Padahal dalam hidup ini, IQ bukan satu-satunya tolak ukur kecerdasan. Ada yang namanya Spiritual Quotion (kecerdasan spiritual), yang dalam Islam semacam hikmah, yang bisa menjadi faktor penting ketika menjalani hidup di dunia.
Agama Islam sendiri memuliakan ilmu dan mendukung aktivitas keilmuan. Bahkan Rasulullah SAW sendiri menegaskan, “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Maka jika ada muslim yang enggan belajar, berarti dia malas dan tidak mau mengamalkan Hadits Nabi tersebut. Dan jika ada muslim yang cerdas, berarti dia rajin dan semangat untuk menuntut ilmu.
Lagi pula Rasulullah SAW bersabda, bahwa orang cerdas itu adalah yang sanggup menundukkan hawa nafsunya, “yang beramal di dunia tapi sekaligus untuk akhiratnya.” Ia yang menang di dunia untuk akhirat.
“Jika di Barat IQ tinggi cenderung ateis, bagaimana Lynn membaca fenomena di dunia Islam saat ini bahwa semakin cerdas dan semakin kaya seorang Muslim semakin dekat dengan Tuhannya alias semakin tinggi keimanannya?” ucap Prof. Hamid
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pembelajaran Islamic Worldview di Pesantren At-Taqwa Depok oleh Ustadz Fatih Madini pertemuan II)