Tafsir Pancasila BPIP Membahayakan Pancasila dan NKRI, Mohon Peraturan Seragam Paskibraka Segera Direvisi
Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
Menyedihkan! Lembaga negara yang diberi otoritas untuk pembinaan ideologi Pancasila justru mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak, karena membuat kebijakan yang justru bertentangan dengan Pancasila. Gara-garanya, BPIP mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan jilbab bagi Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) putri, pada dua peristiwa: pengukuhan dan pengibaran bendera. (Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=FxylDUX5VfQ).
Kepala BPIP menyatakan, bahwa pakaian, atribut, dan sikap, tampang Paskibraka sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan, yaitu pengukuhan Paskibraka, adalah kesukarelaan para Paskibraka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada, dan hanya dilakukan pada saat pengukuhan Paskibraka dan pengibaran Sang Merah Putih pada upacara kenegaraan saja.
Dia menyampaikan, saat proklamasi, Indonesia terdiri atas kebinekaan. Dalam rangka menjaga kembali persatuan, maka dibuatlah Paskibraka dalam bentuk seragam, untuk menjaga kebinekaan itu dalam rangka kesatuan.
“Untuk menjaga dan merawat tradisi kenegaraan tersebut, BPIP telah menerbitkan Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang program Paskibraka yang mengatur mengenai tata cara pakaian dan sikap tampang Paskibraka,” ujar Kepala BPIP. (Lihat: https://news.detik.com/berita/d-7489899/bpip-sebut-paskibraka-teken-pernyataan-bermeterai-soal-aturan-pakaian).
Menyimak penjelasan Kepala BPIP tersebut, sungguh umat Islam dan bangsa Indonesia patut sangat prihatin. Sebab, itu jelas-jelas tidak menghormati keyakinan umat Islam yang memandang pengenaan jilbab (menutup aurat) sebagai satu bentuk ibadah yang diyakini wajib dilaksanakan.
Para pelajar muslimah itu mengenakan jilbab karena meyakini itu merupakan perintah Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan itu wajib dihormati oleh negara, karena merupakan amanah UUD 1945 pasal 29 ayat (2). Bahwa, negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu.
Karena itu, sepatutnya, BPIP sangat memahami masalah ini. Tidak boleh BPIP membuat peraturan yang “memaksa” seorang warga negara melanggar keyakinannya, meskipun hanya melepas jilbab untuk acara-acara tertentu. Jadi, Peraturan BPIP itu jelas bertentangan dengan Pancasila.
Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971): “Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama.”
Guru besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hazairin (alm.), dalam bukunya, Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990, cet.ke-6), menulis: “bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti “Kekuasaan Allah” atau “Kedaulatan Allah”. (hal. 31). “Negara RI, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan Negara.” (hal. 34).
Pada tanggal 22 Juni 1965, Presiden Soekarno menghadiri peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta. Presiden menyatakan, bahwa: “Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”
Jadi, Bung Karno sangat konsisten dengan sikapnya sejak 22 Juni 1945, bahwa Piagam Jakarta adalah untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sudah menegaskan, Piagam Jakarta adalah menjiwai dan merupakan satu kesatuan dengan UUD 1945. Piagam Jakarta pada hakikatnya memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk melaksanakan syariat agamanya.
Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, diantaranya: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Khusus tentang masalah jilbab, sepatutnya BPIP bisa belajar dari sejarah. Tahun 1980-an, larangan jilbab di sekolah-sekolah umum dulu juga dibuat dengan alasan ketaatan terhadap peraturan seragam sekolah. Begitu juga larangan jilbab di berbagai institusi, dibuat dengan alasan pakaian seragam. Sekarang, Kepala BPIP pun menggunakan alasan yang sama untuk “memaksa” Paskibraka putri melepaskan jilbabnya.
Karena itulah, pemahaman dan penafsiran BPIP terhadap Pancasila, sejatinya membahayakan Pancasila itu sendiri. Sebab, ini membenturkan Pancasila dengan agama Islam. Tak hanya itu! Peraturan BPIP dan penjelasan Kepala BPIP tentang pemaksaan lepas jilbab demi keseragaman dengan alasan “bhinneka tunggal ika”, justru membahayakan keutuhan NKRI. (Lihat: https://www.antaranews.com/berita/4260055/bpip-lepas-hijab-paskibraka-demi-keseragaman).
NKRI ini dibangun dan dijaga dengan susah payah oleh para tokoh pendiri bangsa. Salah satu tokoh itu adalah Mohammad Natsir, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan pencetus Mosi Integral pada 3 April 1950. Amanah agar terus mengokohkan NKRI itu hingga kini, terus dijalankan oleh pelanjut-pelanjut perjuangan Mohamamd Natsir di DDII.
Karena itu, agar kegaduhan tidak berlanjut, mohon peraturan BPIP tentang seragam bagi Paskibraka putri bisa segera direvisi, sebelum tanggal 17 Agustus 2024. Hormatilah keyakinan beragama para pelajar kita. Sungguh satu kejahatan besar, memaksa para pelajar yang baik itu untuk melaksanakan suatu tindakan yang bertentangan dengan keyakinan agamanya!
*
*
*
Artikel ini telah terbit pertama kali di situs mediadakwah.id (Lihat: https://mediadakwah.id/tafsir-pancasila-bpip-membahayakan-pancasila-dan-nkri-mohon-peraturan-seragam-paskibraka-segera-direvisi/)
*
*
*
Artikel ini telah terbit pertama kali di situs mediadakwah.id (Lihat: https://mediadakwah.id/tafsir-pancasila-bpip-membahayakan-pancasila-dan-nkri-mohon-peraturan-seragam-paskibraka-segera-direvisi/)