Sang Mujaddid dari Bani Umayyah
Oleh: Andini Sari Larasati (Santri SMA At-Taqwa College, 16 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Ada satu kisah masyhur yang terjadi pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khattab, tentang ibu dan gadis penjual susu.
Pada suatu malam sang ibu mengusulkan kepada anaknya agar mencampurkan susu jualan mereka dengan air untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sang gadis dengan kesalehannya menolak usulan itu dan mengingatkan ibunya bahwa perbuatan mereka tetap akan diketahui oleh Dzat Yang Maha Melihat meski di kegelapan malam.
Dialog mereka ternyata didengar Umar bin Khhattab yang saat itu sedang berkeliling kota. Ia pun kagum dan menikahkan anaknya yang bernama Ashim dengan sang gadis. Di kemudian hari, salah seorang buah hati mereka adalah Laila, yang ketika dewasa dipersunting oleh seorang gubernur yang saleh, Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan Abdul Aziz dan Laila ini, lahirlah sang mujadid abad pertama Hijriyah, yaitu Umar bin Abdul Aziz.
Nama lengkapnya adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan. Ia lahir di Madinah pada tahun 62 Hijriyah dan belajar di sana sejak kecil bersama keluarga dari ibunya. Ia berguru kepada beberapa ulama, di antaranya adalah Salim bin Abdullah bin Umar yang merupakan paman jauhnya.
Suatu hari ia pergi ke Mesir menyusul ayahnya. Di sana, ia terkena sepakan kuda di wajahnya, hingga meninggalkan luka yang membekas. Karena bekas luka di wajahnya itu, ia pun dijuluki “asyajj Bani Umayyah” (yang terluka kepalanya dari bani Umayyah). Ayahnya kemudian mengusap darah dari wajahnya sembari berkata, “Jika engkau memang Asyaj bani Umayyah, maka engkau adalah orang yang berbahagia.”
Pada saat umurnya menginjak 26 tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik yang merupakan sepupunya sendiri. Lima tahun kemudian ia mengakhiri jabatannya karena adanya konflik dengan Hajjaj bin Yusuf, Gubernur Irak. Hingga pada tahun 99 Hijriyah, ia diangkat menjadi khalifah atas wasiat dari pemimpin sebelumnya, yaitu Sulaiman bin Abdul Malik. Saat itu, ia keberatan dan mengembalikan keputusan di tangan rakyat. Namun ternyata, mereka ridha atas kepemimpinannya dan memintanya untuk menjadi khalifah.
Berbeda dengan khalifah-khalifah Bani Umayyah sebelumnya, Umar bin Abdul Aziz adalah seorang ahli ilmu yang zuhud. Adz-Dzahabi berkata, “Ia adalah imam, faqih, dan mujtahid. Kezuhudannya setara dengan Hasan Al-Bashri dan keilmuwannya seperti Az-Zuhri.” Ia dekat dengan para ulama dan sering berkonsultasi dengan mereka. Beberapa tahun setelahnya, pandangannya juga menjadi rujukan empat madzhab fiqih. Selain itu, ia juga dijuliki sebagai Khulafaur Rasyidin kelima karena kedudukannya yang hampir menyamai mereka.
Kepemimpinan umat Islam di masa Umar bin Abdul Aziz terkenal dengan keadilannya. Pada masa itu, Baitul Mal penuh dengan harta zakat yang berlebih dan sulit disalurkan karena sudah tidak ada lagi rakyat yang berhak menerimanya. Setiap orang yang berhutang juga dilunasi oleh negara, sehingga tidak ada satupun dari rakyat yang hidup kesulitan.
Selain itu, ia juga bersikap adil kepada keluarganya. Beberapa harta milik Bani Umayyah yang ia ketahui asal muasalnya bukan milik mereka, diambil dan disimpan di Baitul Mal. Ia dan keluarganya hidup dengan sederhana, bahkan meminta sang istri untuk memberikan perhiasannya ke Baitul Mal. Istrinya, Fatimah binti Abdul Malik yang juga merupakan sepupunya pun dengan senang hati menuruti permintaan sang suami.
Pada masa pemerintahannya, umat Islam tidak banyak melakukan perluasan wilayah kekuasaan. Meski begitu, dakwah lewat surat kepada penguasa-penguasa di luar wilayah Islam tetap terus dilakukan. Ada riwayat yang menyebutkan, salah satu dari raja yang menerima surat dari Umar bin Abdul Aziz dan memeluk Islam adalah Raja Hind—ada pula yang menyebutnya Raja Sriwijaya. Selain itu, rakyat yang berada di bawah kekuasaan Islam lainnya juga banyak yang menjadi muallaf.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat setelah dua setengah tahun memimpin, tepatnya di tahun ke 101 Hijriyah. Ia wafat karena diracuni oleh orang-orang yang membenci pemerintahannya. Sejarah mencatat keadilannya dalam kepemimpinan.
Guru kami ustadz Alwi Alatas menjelaskan, jika ada yang bertanya kapan datangnya pemimpin selevel Umar bin Abdul Aziz, maka mulailah untuk mempelajari keadilan dari diri sendiri dengan memahami hak-hak orang di sekitar pada kita. Sehingga, kita bisa menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan memberikan hak kepada mereka yang berhak menerimanya. Wallahu a’lam bi al-Shawab.