Rohana Kudus: Wartawan Perempuan Pertama di Indonesia
Oleh: Aisya Naura Salsabila (Santri At-Taqwa Depok, PRISTAC, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Menjadi perempuan bukanlah suatu halangan untuk menggapai cita-cita tinggi. Perempuan tetap dapat mengejarnya jika saja ia tidak berputus asa dan terus berusaha. Walaupun banyak hujatan yang didapatkan, tetaplah menjadi diri sendiri dan jangan terpengaruh dengan perkataan orang lain. Simpan saja perkataannya, jangan dibalas dan jangan malah membuat mental kita semakin mundur.
Seperti salah satu tokoh muslimah Indonesia yang mempunyai jasa yang sangat besar bagi kaum perempuan di Minangkabau. Ia adalah Rohana Kudus. Seorang perempuan asli Minangkabau yang sangat peduli terhadap kaum perempuan di Minangkabau yang tidak mendapatkan pendidikan.
Nama aslinya Rohana. Karena suaminya bernama Abdul Kudus, namanya menjadi Rohana Kudus. Ia lahir pada 20 Desember 1884 di kota Gadang, Minangkabau. Ia anak pertama dari enam bersaudara.
Ayahnya bernama Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, yang bekerja sebagai jaksa di Jambi kemudian pindah ke Medan. Ibunya bernama Kiam. Rohana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir dan sepupu Agus Salim. Dia juga bibi (mak tuo) dari penyair Indonesia, Chairul Anwar.
Sejak kecil, Rohana gemar membaca buku, majalah, dan surat kabar milik koleksi buku Ayahnya. Ayahnya juga mengajarinya mengenal huruf sedari kecil. Pada saat usia lima tahun, ia sudah mengenal huruf Latin, Arab dan Arab Melayu.
Ketika berusia enam tahun, Ayahnya bertugas di Alahan Panjang. Mereka pun pindah dan memiliki tetangga keluarga Jaksa Alahan Panjang, Lebi Rajo Nan Soetan dan istrinya, Adiesa. Karena mereka berdua tidak mempunyai anak, mereka menjadikan Rohana sebagai anak angkat. Ia senang bermain dan menetap di sana karena di rumah tersebut memiliki banyak buku, majalah dan surat kabar seperti koleksi milik Ayahnya.
Adiesa melihat Rohana sangat gemar membaca. Selama dua tahun, Adiesa dan suaminya mengajarinya membaca dan menulis. Hingga akhirnya, ia dapat lancar membaca dan menulis Latin, Arab dan Arab Melayu. Agar Rohana bisa meningkatkan kemampuan membacanya, Ayahnya berlangganan buku bacaan anak-anak.
Berkat dukungan dari Ayah, Ibu, dan orang tua angkatnya, ia memiliki pengetahuan yang cukup luas. Ketika anak-anak seusianya sedang bermain ia sibuk membaca koleksi buku milik Ayahnya.
Ia juga gemar membaca buku dengan suara lantang di depan banyak orang. Namun, tidak semua orang menyukai perilakunya. Ada juga orang yang menganggap hal yang dilakukannya itu aneh. Karena di zaman itu, hanya laki-laki yang dapat membaca. Tetapi ia tidak peduli terhadap ejekan yang ia terima dari orang lain. Dalam hatinya, ia sangat berharap bisa bersekolah seperti anak laki-laki pada umumnya. Karena pada saat itu usianya sudah mencapai delapan tahun.
Di tengah kesibukannya membaca buku, surat kabar, dan majalah, ia sering memikirkan kenapa ia tidak bisa bersekolah seperti anak laki-laki pada umumnya. Ia pun bertanya kepada Ayahnya. Sang ayah menjawab bahwa menuntut ilmu tidak harus di sekolah.
Rohana mendapat informasi bahwa di luar sana banyak perempuan yang diperbolehkan sekolah. Hanya di Minangkabau perempuan tidak bersekolah. Ia pun mengakatakan kepada Ayahnya, “Ananda ingin melakukan seuatu untuk mengubah perlakuan tidak adil terhadap perempuan, terutama dalam biddang pendidikan.”
Rohana terus belajar hinga pemahamannya semakin meluas. Pemahamannya tentang agama cukup mendalam untuk anak remaja seusianya. Ia bahkan mempelajari tafsir-tafsir al-Qur’an tentang kedudukan perempuan.
Ia juga sering mengikuti Ayahnya yang berpindah tugas. Ia pernah mengajar di daerah Talu selama empat tahun dan mengamalkan ilmunya di kota Gadang. Ia ingin mewujudkan cita-citanya yang ia pernah katakan kepada Ayahnya.
Ia memulai dengan menarik perhatian orang-orang di sekitarnya dengan membaca dan menulis di depan rumahnya. Beberapa orang yang melihat Rohana pun ingin menjadi sepertinya.
Sejak saat itu, banyak remaja yang belajar menulis, membaca, belajar agama, membaca al-Qur’an, membaca-menulis Arab dengan Rohana. Ia juga sering membacakan surat kabar di depan murid-muridnya.
Kebiasaan Rohana membaca dari didikan Ibu angkatnya, kegemarannya mendengarkan cerita dari tou sini, pola asuh Ayahnya yang memenuhi rasa ingin tahunya terhadap ilmu pengetahuan dengan membelikan ratusan buku dan majalah, serta kebiasaannya dalam berkirim surat dengan Ayahnya, kini membentuk suatu pribadi dalam dirinya.
Saat umurnya telah menginjak usia 24 tahun (tahun 1908), ia dinikahkan dengan Abdul Kudus yang merupakan seorang aktivis partai politik dan fasih berbahasa Belanda. Abdul Kudus memiliki kemampuan menulis artikel tentang sosial, politik dan hukum.
Setelah menikah, Rohana tetap melakukan kegiatannya memajukan umat pendidikan kaum perempuan di kota Gadang. Pada 11 Februari 1911, Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah keterampilan untuk perempuan agar bisa membaca dan menulis. Di sana, diajarkan pula pengetahuan umum dan agama.
Saat itu, tidak ada koran khusus perempuan di Minangkabau. Maka ia mengirim permohonan kepada pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, Datuk Sunan Maharadja. Pada 10 Juli 1912, akhirnya terbit surat kabar yang diinginkan oleh Rohana. Surat kabar tersebut dinamai Soenting Melajoe yang ditujukan bagi perempuan Melayu.
Dalam surat kabar, Rohana banyak menyoroti kehidupan perempuan. Tujuannya adalah agar hak perempuan di Minangkabau untuk bisa belajar dan mendapatkan pendidikan bisa terwujud.
Pada tahun 1916, Rohana kembali ke Bukittinggi dan mendirikan sekolah yang dinamakan, Rohana School. Tahun 1920, Rohana memimpin redaksi “Perempuan Bergerak” bersama Satimah. Lalu 17 Agustus 1972, Rohana Kudus wafat pada usianya yang ke-88 tahun dan di makamkan di pemakaman karet, Jakarta Selatan.
Dua tahun kemudian, 17 Agustus 1974, ia dianugerahi penghargaan sebagai “wartawati pertama” dari pemerintah provinsi Sumatera Barat. Dan pada 9 Februari 1987, ia diberikan penghargaan sebagai “perintis pers pertama Indonesia” dari menteri penerangan republik Indonesia.
*
*
*
Refrensi:
DR. Suidat, M.P.d.I, Sejarah Nasional Indonesia, penerbit: At-Taqwa Depok, 2020
Fitria Dahlia, Roehana Koeddoes, penerbit: PWI pusat, 2018
Seperti salah satu tokoh muslimah Indonesia yang mempunyai jasa yang sangat besar bagi kaum perempuan di Minangkabau. Ia adalah Rohana Kudus. Seorang perempuan asli Minangkabau yang sangat peduli terhadap kaum perempuan di Minangkabau yang tidak mendapatkan pendidikan.
Nama aslinya Rohana. Karena suaminya bernama Abdul Kudus, namanya menjadi Rohana Kudus. Ia lahir pada 20 Desember 1884 di kota Gadang, Minangkabau. Ia anak pertama dari enam bersaudara.
Ayahnya bernama Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, yang bekerja sebagai jaksa di Jambi kemudian pindah ke Medan. Ibunya bernama Kiam. Rohana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir dan sepupu Agus Salim. Dia juga bibi (mak tuo) dari penyair Indonesia, Chairul Anwar.
Sejak kecil, Rohana gemar membaca buku, majalah, dan surat kabar milik koleksi buku Ayahnya. Ayahnya juga mengajarinya mengenal huruf sedari kecil. Pada saat usia lima tahun, ia sudah mengenal huruf Latin, Arab dan Arab Melayu.
Ketika berusia enam tahun, Ayahnya bertugas di Alahan Panjang. Mereka pun pindah dan memiliki tetangga keluarga Jaksa Alahan Panjang, Lebi Rajo Nan Soetan dan istrinya, Adiesa. Karena mereka berdua tidak mempunyai anak, mereka menjadikan Rohana sebagai anak angkat. Ia senang bermain dan menetap di sana karena di rumah tersebut memiliki banyak buku, majalah dan surat kabar seperti koleksi milik Ayahnya.
Adiesa melihat Rohana sangat gemar membaca. Selama dua tahun, Adiesa dan suaminya mengajarinya membaca dan menulis. Hingga akhirnya, ia dapat lancar membaca dan menulis Latin, Arab dan Arab Melayu. Agar Rohana bisa meningkatkan kemampuan membacanya, Ayahnya berlangganan buku bacaan anak-anak.
Berkat dukungan dari Ayah, Ibu, dan orang tua angkatnya, ia memiliki pengetahuan yang cukup luas. Ketika anak-anak seusianya sedang bermain ia sibuk membaca koleksi buku milik Ayahnya.
Ia juga gemar membaca buku dengan suara lantang di depan banyak orang. Namun, tidak semua orang menyukai perilakunya. Ada juga orang yang menganggap hal yang dilakukannya itu aneh. Karena di zaman itu, hanya laki-laki yang dapat membaca. Tetapi ia tidak peduli terhadap ejekan yang ia terima dari orang lain. Dalam hatinya, ia sangat berharap bisa bersekolah seperti anak laki-laki pada umumnya. Karena pada saat itu usianya sudah mencapai delapan tahun.
Di tengah kesibukannya membaca buku, surat kabar, dan majalah, ia sering memikirkan kenapa ia tidak bisa bersekolah seperti anak laki-laki pada umumnya. Ia pun bertanya kepada Ayahnya. Sang ayah menjawab bahwa menuntut ilmu tidak harus di sekolah.
Rohana mendapat informasi bahwa di luar sana banyak perempuan yang diperbolehkan sekolah. Hanya di Minangkabau perempuan tidak bersekolah. Ia pun mengakatakan kepada Ayahnya, “Ananda ingin melakukan seuatu untuk mengubah perlakuan tidak adil terhadap perempuan, terutama dalam biddang pendidikan.”
Rohana terus belajar hinga pemahamannya semakin meluas. Pemahamannya tentang agama cukup mendalam untuk anak remaja seusianya. Ia bahkan mempelajari tafsir-tafsir al-Qur’an tentang kedudukan perempuan.
Ia juga sering mengikuti Ayahnya yang berpindah tugas. Ia pernah mengajar di daerah Talu selama empat tahun dan mengamalkan ilmunya di kota Gadang. Ia ingin mewujudkan cita-citanya yang ia pernah katakan kepada Ayahnya.
Ia memulai dengan menarik perhatian orang-orang di sekitarnya dengan membaca dan menulis di depan rumahnya. Beberapa orang yang melihat Rohana pun ingin menjadi sepertinya.
Sejak saat itu, banyak remaja yang belajar menulis, membaca, belajar agama, membaca al-Qur’an, membaca-menulis Arab dengan Rohana. Ia juga sering membacakan surat kabar di depan murid-muridnya.
Kebiasaan Rohana membaca dari didikan Ibu angkatnya, kegemarannya mendengarkan cerita dari tou sini, pola asuh Ayahnya yang memenuhi rasa ingin tahunya terhadap ilmu pengetahuan dengan membelikan ratusan buku dan majalah, serta kebiasaannya dalam berkirim surat dengan Ayahnya, kini membentuk suatu pribadi dalam dirinya.
Saat umurnya telah menginjak usia 24 tahun (tahun 1908), ia dinikahkan dengan Abdul Kudus yang merupakan seorang aktivis partai politik dan fasih berbahasa Belanda. Abdul Kudus memiliki kemampuan menulis artikel tentang sosial, politik dan hukum.
Setelah menikah, Rohana tetap melakukan kegiatannya memajukan umat pendidikan kaum perempuan di kota Gadang. Pada 11 Februari 1911, Rohana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah keterampilan untuk perempuan agar bisa membaca dan menulis. Di sana, diajarkan pula pengetahuan umum dan agama.
Saat itu, tidak ada koran khusus perempuan di Minangkabau. Maka ia mengirim permohonan kepada pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, Datuk Sunan Maharadja. Pada 10 Juli 1912, akhirnya terbit surat kabar yang diinginkan oleh Rohana. Surat kabar tersebut dinamai Soenting Melajoe yang ditujukan bagi perempuan Melayu.
Dalam surat kabar, Rohana banyak menyoroti kehidupan perempuan. Tujuannya adalah agar hak perempuan di Minangkabau untuk bisa belajar dan mendapatkan pendidikan bisa terwujud.
Pada tahun 1916, Rohana kembali ke Bukittinggi dan mendirikan sekolah yang dinamakan, Rohana School. Tahun 1920, Rohana memimpin redaksi “Perempuan Bergerak” bersama Satimah. Lalu 17 Agustus 1972, Rohana Kudus wafat pada usianya yang ke-88 tahun dan di makamkan di pemakaman karet, Jakarta Selatan.
Dua tahun kemudian, 17 Agustus 1974, ia dianugerahi penghargaan sebagai “wartawati pertama” dari pemerintah provinsi Sumatera Barat. Dan pada 9 Februari 1987, ia diberikan penghargaan sebagai “perintis pers pertama Indonesia” dari menteri penerangan republik Indonesia.
*
*
*
Refrensi:
DR. Suidat, M.P.d.I, Sejarah Nasional Indonesia, penerbit: At-Taqwa Depok, 2020
Fitria Dahlia, Roehana Koeddoes, penerbit: PWI pusat, 2018