Peran Pesantren Sebagai Lembaga Perjuangan
Oleh: Alima Pia Rasyida (Mahasiswa STID Mohammad Natsir)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan
“Salah satu yang berperan besar dalam Islamisasi dan membentuk kekuatan kaum Muslim di Nusantara ialah pondok pesantren. Sebagai lembaga mandiri dari sudut ekonomi dan hukum, pesantren-pesantren akhirnya membentuk sebuah jaringan luas yang terentang dari ujung pulau yang satu ke ujung lainnya, bahkan sampai di luar pulau, sampai melintasi seluruh Nusantara dan mencapai Timur Tengah.”
(Denysh Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, 2000: 135)
Memperingati Hari santri (22/10/24) tidak pantas jika peran pondok pesantren diabaikan. Santri sebagai komponen utama pesantren, menampakkan satu identitas khas sebagai seorang pejuang. Fakta sejarah membuktikan bahwa pesantren berhasil memainkan peranan penting bagi Islam dan Indonesia.
Menurut sejarawan Dr. Tiar Anwar Bakhtiar, pesantren memulai perkembangannya dari Masjid. Masjid itu didirikan sebagai pusat peradaban Islam lalu dikembangkan oleh guru ahli agama. Ia kemudian menjadi lembaga yang terbuka untuk setiap murid (santri).
Melirik pada perkembangannya, pesantren tampil sebagai lembaga yang selalu siap menghadapi tantangan zaman. Mulai dari pembinaan masyarakat sampai penasihat raja, pesantren membuktikan bahwa eksistensinya sangat dibutuhkan baik di tengah masyarakat bahkan penguasa. Artinya, para Kyai dan santri menunjukkan identitas sebagai muslim yang berkualitas dalam menjawab berbagai macam problematika kehidupan.
Abad ke-15, di Jawa, pesantren mulai memainkan peranan penting dalam kehidupan agama, sosial bahkan politik kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya Kerajaan Islam Demak di pesisir pulau Jawa. Peran para ulama sukses menjadikan Demak sebagai pusat keagamaan dan sosio-politik di sana.
Penyebaran Islam di Jawa semakin luas bersamaan dengan perkembangan pesantren sekaligus santri di pesisir. Ranah yang diampu begitu luas. Mulai dari keagamaan, pandangan alam, pemikiran intelektual, sastra, bahasa, seni, dan sosio-politik. Karena itu, tradisi santri menjadi sebuah komunitas alternatif bagi masyarakat Jawa dalam menghadapi proses perubahan sosial-budaya dari Hindu-Buddha ke Islam di Jawa (Djoko Suryo, Tradisi Santri dalam Historiografi Jawa).
Abad ke-17, para ulama lebih banyak memainkan peran di wilayah pedalaman. Pergeseran pusat politik dari daerah maritim ke pedalaman agraris membawa perubahan corak kepemimpinan politik Kerajaan Islam dan ulama di Jawa. Sebagaimana yang diungkapkan Jajat Burhanuddin:
“Jatuhnya kerajaan-kerajaan maritim menyebabkan munculnya bentuk baru dalam kehidupan ekonomi, yang menjadi dasar corak keagamaan yang baru itu diikuti oleh berubahnya peran ulama dari pejabat yang diangkat raja kepada guru-guru agama di institusi-institusi mereka sendiri, pesantren di Jawa atau surau dan dayah yang masing-masing di Sumatera Barat dan Aceh (Jajat Burhanuddin, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, 2017: 227)
Ia juga menyatakan bahwa berubahnya pusat pengajaran Islam dari istana ke pedalaman, membuat peran ulama memasuki tahap baru. Pesantren menggiring ulama menghadapi dan menjadi bagian dari masyarakat pedesaan yang berbeda dengan lingkungan kosmopolitan di kerajaan maritim di pesisir.
Berlanjut ke abad 19, pesantren masuk ke dalam jantung masyarakat dan fokus kepada satu titik, yakni pembinaan atau kaderisasi secara khusus dan intensif. Mereka mulai lebih fokus menyiapkan kader-kader untuk berjuang di masa selanjutnya, untuk membela dan menjaga eksistensi Islam dan Indonesia dari para penjajah. Mohammad Natsir menyebut ini sebagai strategi “uzlah” yang mempunyai peran penting bagi perjuangan nasional:
“Ulama kita melakukan ‘uzlah’, melakukan hijrah mental, menyendiri begitu….Di tempat-tempat terasing itulah para ulama membuka pesantren-pesantren. Dari apa yang sudah saya kemukakan tadi, jelas terlihat bahwa pesantren adalah lembaga yang dikembangkan dalam rangka perjuangan bangsa Indonesia. Dengan demikian, pesantren bukan saja merupakan Lembaga pendidikan, tetapi mempunyai peran yang penting dalam perjuangan nasional” (M. Natsir, Pesan Perjuangan Seorang Bapak, 2019).
Pada 22 Oktober 1945, ketika Resolusi Jihad diumumkan, jutaan santri siap menghadapi pasukan sekutu (Inggris dan Belanda) yang ingin menjajah kembali Indonesia. Resolusi jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan melibatkan generasi pejuang dari pesantren, pada akhirnya berhasil mempertahankan kedaulatan kemerdekaan RI.
Kontribusi ini tidak terhenti pada perlawanan fisik, bahkan dalam proses membangun negara pun kiprahnya sangat banyak. Itulah mengapa pesantren abad 20 kembali masuk dalam ranah kekuasaan karena keterlibatan dengan beberapa pemerintah dalam membangun negara.
Uraian di atas membuktikan pesantren melahirkan para santri yang selalu siap menghadapi tantangan zaman; yang selalu mengutamakan perjuangan demi Islam dan Indonesia. Mulai dari zaman kerajaan yang fokus pada pembenahan pandangan hidup Islam, sampai di masa modern yang siap terjun ke medan jihad dalam menghadapi kaum penjajah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam catatan sejarah, pesantren tampil sebagai solusi permasalahan umat bahkan negara. Maka seharusnya, bagi lembaga yang memiliki etos dan sejarah besar dalam masyarakat, pesantren saat ini harus tampil sebagai lembaga pendidikan Islam ideal, yang tujuan utamanya melahirkan generasi pejuang. Mereka yang benar ilmunya, suci hatinya, dan disiplin fisiknya.