Peran Pesantren Merespons Pemikiran Menyimpang

Oleh: Muhammad Fathan Qoriiba (Alumni Pesantren At-Taqwa Depok, Angkatan 5)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengatakan, “Tantangan pemikiran adalah sebuah kondisi terjadinya kerusakan pemikiran ummat Islam. Rusaknya pemikiran tersebut bukanlah disebabkan kebodohan dalam artian bodoh (jahl) dalam pemikiran ummat Islam, melainkan rusaknya hakikat ilmu. Disebabkan terjadi perubahan hakikat ilmu yang membuatnya hanya dijadikan “ambisi duniawi”. Bukan hakikat ilmu sebagaimana dalam Islam” (Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 2021: 293).

Al-Attas juga menjelaskan bahwa rusaknya ilmu menyebabkan rusaknya pemikiran dan adab umat Islam Islam. Sementara kerusakan ilmu disebabkan oleh sekularisasi terhadap ilmu yang masih terjadi di berbagai lembaga pendidikan, khususnya pendidikan Islam di Indonesia. Karenanya, pendidikan tidak lagi mencapai tujuan hakikinya, yakni melahirkan manusia beradab (good man).

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan sekuler hanya menghancurkan asas bangsa Indonesia yang sebenarnya—tidak membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan merdeka lahir-batin. Individualisme dan materialisme begitu kuat ditanamkan. Akhirnya, membuatnya terlalu berlebihan mengarahkan bangsa menjadi buruh dan menjadikan bangsa yang bergantung pada Barat (Adian Husaini, Beginilah Pendidikan Nasional yang Ideal, 2022: 406). 

Di sini, pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam dan khas Nusantara dengan sistem “pendidikan 24 jam”-nya, harus mampu merepresentasikan institusi pendidikan Islam yang sesungguhnya. Ia mesti “suci” dari sekularisasi ilmu sehingga dapat menghadapi berbagai macam tantangan pemikiran kontemporer semacam Sekularisme dan melahirkan manusia-manusia yang beradab dan senang berjuang. 

Berikut beberapa alasan mengapa pesantren adalah solusi tepat melawan isu tantangan pemikiran kontemporer:

  1. Pesantren memiliki keterikatan kuat dengan warisan keilmuan dari ulama-ulama hebat terdahulu. Melalui warisan khazanah kitab kuning, pesan dan nasihat mengenai akhirat selalu melekat dalam pemahaman santri.

  2. Sifat “dinamis” pesantren membuat pesantren selalu cocok dengan perkembangan zaman dan dapat menyesuaikan diri di tiap kondisi lingkungan apapun. Hal ini membuat pesantren sulit ditumbangkan terlepas tantangan apapun yang dihadapi institusi pesantren secara umum. 

  3. Pesantren memiliki guru-guru pejuang dan otoritatif. Peran guru inilah yang menjadi tombak perjuangan dan tombak dalam memobilisasi pergerakan. Peran guru di sini, menjadi “obor penerang malam” yang menuntun santri mengarungi lautan pemikiran yang luas. 

Berikut ini langkah dan arah selanjutnya yang sangat aplikatif dan dapat diterapkan guna menyukseskan tiga potensi itu dalam perjalanan pendidikan pesantren:

Pertama: Gagasan “Budaya Ilmu”. Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud pernah mengatakan bahwa budaya ilmu adalah Sebuah kondisi di mana semua lapisan masyarakat berpartisipasi dalam diskursus keilmuan dalam bentuk ilmu apapun. Sebuah pribadi yang memahami hakikat budaya ilmu, dia akan menghabiskan seluruh waktu hidupnya untuk menuntut ilmu dalam bentuk apapun. Pendidikan tidak hanya dipahami sebagai jenjang sekolah, atau universitas saja. Hidupnya sendiri bagian dari pendidikan (Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu, Makna dan Manifestasi dakan Sejarah dan Masa kini, 2019: 21) 

Seorang santri yang belajar di pondok musti memahami hal ini bahwa, pembelajaran agama atau ilmu apapun itu tidak berhenti setelah lulus dari pesantren. Seorang santri, dan semua lapisan masyarakat muslim (yang dipandu oleh pesantren), harus memiliki kesadaran mendalam dan semangat tinggi dalam menuntut ilmu dan berbagai diskursus keahlian. Kesadaran menuntut ilmu seumur hidup ini berperan dalam menjaga kewaspadaan akan sekularisme. Syaratnya, kesadaran dan semangat menuntut ilmu didasari pada orientasi akhirat dan kemanfaatan di dunia. 

Kedua: Dinamisasi Pesantren. Seorang pemikir nasional, M. Natsir menyatakan: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Dalam konteks dinamisasi pesantren, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat yang menyediakan pengajaran ilmu. 

Pesantren mesti menyiapkan keperluan bangsa yang lain, turut menyumbang peran dalam urusan kemasyarakatan lainnya. Tokoh utama yang berperan penting di sini adalah guru. Seorang guru pesantren selain memiliki penguasaan materi ilmu agama yang baik, dia harus memiliki keterampilan sosial yang mumpuni jiwa pengorbanan.

Manfaatnya, pesantren dapat menjaga hubungan sosial yang erat, membangun sinergi berkesinambungan, berperan sebagai penjaga nilai dan prinsip agama, dan menegakkan pilar-pilar dakwah. Pesantren memiliki otoritas dan pengaruh untuk memobilisasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Jika ini dapat terwujud, pesantren dapat dengan mudah mengurangi paham sekularisasi yang secara perlahan dapat menyusup. 

Ketiga: Urgensi pesantren mengislamisasi ilmu pengetahuan, khususnya sains (dalam arti ilmu pengetahuan alam), dalam ranah falsafahnya. Sains menjadi satu dimensi terpenting bagi umat manusia modern. Sains hampir meliputi segala aspek dalam hidup manusia. Diperlukan orang-orang yang mau berdedikasi untuk menyatukan pandangan hidup Islam dan nilai-nilai Islam ke dalam ilmu sains. Di sini peran pesantren kembali menjadi begitu penting. 

Jadi, inilah gambaran secara umum bagaimana supaya pesantren-pesantren di Indonesia dapat menjadi lembaga pendidikan Islam yang ideal. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tapi juga aktif menghalau tantangan pemikiran, khususnya Sekularisme, berpartisipasi melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, khususnya sains, guna melahirkan insan adabi.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086