Menyelamatkan Akidah Dari Serangan Paham Pluralisme Agama

Oleh: Aflaha Man Tazakka (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Misi besar gerakan “Liberalisasi Islam”, sebagaimana diusung oleh kelompok “Islam Liberal”, adalah meletakkan Islam sebagai bagian dari sejarah, yang tunduk pada perubahan sejarah. Prinsipnya, tidak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Begitu tutur Dr. Adian Husaini dalam bukunya, Liberalisasi Islam di Indonesia.
 
Maka, sebagaimana Liberalisme yang berarti “bebas”, dalam ranah agama, para pengusung gagasan itu hendak menegakkan kebebasan yang hakiki, tanpa adanya aturan atau nilai mutlak yang membatasi, baik dalam aspek akidah maupun syariat. Ustadz Adian mengutip pernyataan salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL): 
 
“Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah ‘organisme’ yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai patung indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.” 
 
Ustadz Adian menjelaskan, salah satu program liberalisasi Islam adalah liberalisasi akidah Islam dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. “Paham ini pada dasarnya menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama,” ucapnya.
 
Menurutnya, ada empat “dalil” yang sering dikemukakan oleh para pengusung paham ini. Pertama, menyatakan semua agama sama-sama benar. Pernyataan ini dengan tegas dikemukakan dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia:
 
“... yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antar-agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman—tanpa harus melihat agamanya apa—adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu”
 
Melalui pernyataan ini, kata Ustadz Adian, Pluralisme Agama jelas merupakan sebuah “syirik modern”. Padahal, dalam Al-Qur’an, Allah dengan tegas menyatakan soal keyakinan akan kebenaran “Diinul Islam” sebagai satu-satunya agama yang benar dan Ia ridhai juga terima (QS. Ali Imran: 19 & 85). Allah pun sangat murka ketika Ia disekutukan (Maryam: 88-91).
 
Dalil kedua adalah menganggap Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dapat masuk surga tanpa harus beriman kepada Nabi Muhammad, dengan bersandar kepada tafsir Rasyid Ridha terhadap surat Al-Baqarah ayat 62 dalam kitab tafsirnya, Al-Manar
 
Padahal, kata Ustadz Adian, jika pendapat Rasyid Ridha ditelaah dengan seksama, akan ditemukan kalau yang dimaksud dari pernyataan itu adalah yang risalah Islam tidak sampai kepada mereka. Sementara bagi yang sebaliknya, katanya, supaya selamat, diwajibkan beriman kepada (salah satunya) Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.  
 
Dalil ketiga adalah membuat istilah “multikulturalisme” dengan dalih toleransi. Dalam buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, seorang tokoh Islam Liberal sampai menggunakan dalil “kalimatun sawa’” di Surat Ali Imran ayat 64 untuk mengarahkan umat Islam supaya bisa mengakui keberagaman dan kebenaran agama lain. Padahal arti kata kalimatun sawa’ adalah tauhid: 
 
“Ayat itu sendiri sangar jelas maknanya, yakni mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw,” tegas Ustadz Adian. 
 
Dalil keempat, adalah dengan mengemukakan paham relativisme teologis, meragukan kemutlakan akidah umat Islam. Hal ini dikemukakan, salah satunya, di dalam buku Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam: 
 
“Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran di antara jalan-jalan kebenaran yang lain... jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan agama, tapi juga bisa memakai medium yang lain… maka Islam kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Taka da perbedaan yang signifikan, kecuali hanya ritualistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.” 
 
Hal ini bisa terpikirkan karena ia menganggap agama sebagai bagian dari budaya yang akan mengikuti perkembangan Sejarah. Padahal, Islam jelas Islam bukan agama budaya. Ia adalah satu-satunya agama wahyu, yang kebenarannya bersumber dari wahyu Allah, sehingga tidak bisa relatif dan tidak akan pernah berubah.
 
Di sisi lain, menurut Ustadz Adian, manusia-manusia yang hidup dengan bebas dari nilai dan tanpa ada keyakinan, ia akan menuhankan hawa nafsunya (QS. Al-Jatsiyah: 23) dan mendapatkan kegelisahan hidup (ketidaktenangan jiwa). Penyair Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal pun mengingatkan: 
 
“Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery”
 
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pelajaran Islamic Worldview pertemuan 1 di Pondok Pesantren At-Taqwa Depok untuk kelas 1 SMA oleh Ustadz Fatih Madini)
 
Editor: Ustadz Fatih Madini

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086