Mengkritisi Gerakan Liberalisasi Al Quran dan Syariat Islam
Oleh: Aflaha Man Tazakka (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Selain mencoba meruntuhkan akidah Islam melalui Paham Pluralisme Agama, program lain liberalisasi Islam yang diusung oleh kelompok liberal adalah dekonstruksi Al-Quran dengan meruntuhkan kesakralannya, dari kalamullah menjadi produk budaya. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Adian Husaini dalam bukunya, “Liberalisasi Islam di Indonesia.“
Buku itu mengutip pernyataan salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL): “all scriptures are miracle,” semua kitab suci adalah mukjizat. Artinya, tidak ada kitab suci yang lebih unggul atau lebih suci, termasuk Al-Quran. Semua kitab suci tidak sepenuhnya suci atau asli, sehingga harus dikritisi.
Pemahaman dan keyakinan semacam itu tentu bertentangan dengan kesepakatan para ulama yang menegaskan bahwa Al-Quran adalah kalamullah, lafaz dan maknanya dari Allah. Umat Islam pun sepakat bahwa al-Quran adalah kalam (perkataan) Allah yang mulia, sehingga teksnya tidak pantas untuk dikritisi dan maknanya tidak bisa sembarangan ditafsirkan.
Karakteristik Al-Quran berbeda dengan Bibel yang memang teksnya ditulis oleh manusia, sehingga dirasa perlu untuk menggunakan metode tafsir Hermeneutika.
Ustadz Adian menjelaskan dua cara muslim liberal menyerang Al-Quran. Pertama dengan mengatakan bahwa Al-Quran sejak dahulu telah terkena pengaruh budaya Arab. Seorang tokoh JIL menegaskan, di dalam Al-Quran, terdapat dua jenis wahyu: 1) verbal (redaksional bikinan Nabi Muhammad Saw; 2) non verbal (konteks sosial waktu itu)
Maksud wahyu jenis pertama adalah penegasan Nabi Muhammad sebagai pengarang Quran. Jurnal Justisia Fakultas Syariah, edisi 23 Th XI, 2003 mengungkap: “konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Quran. Adalah Muhammad saw., seorang figur saleh dan berhasil mentranformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab”
Pandangan semacam jelas salah. Prof. Musthafa Al-Azami dalam bukunya, “Sejarah Teks AL-Quran“, menegaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah “menyampaikan”, menyampaikan wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada seluruh umat Muslim (para sahabat), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS. 2: 129, 3: 164, 2: 151, 75: 16-19).
Selain itu, banyak pula Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sering membaca Quran bersama malaikat Jibril, dan didengar pula oleh beberapa sahabat seperti Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, Ubayy bin Kaab, dan Utsman bin Affan.
Terlebih, kata Prof. Al-Azami, kata yang dipakai adalah “muarada”, saling membaca. “Jibril membaca satu kali dan Nabi Muhammad mendengarnya. Demikian pula sebaliknya,” jelasnya. Maka mustahil Nabi Muhammad mengarang Al-Quran yang disampaikan oleh Jibril.
Lagi pula, jika Al-Quran adalah bahasa Nabi Muhammad, lantas mengapa para musyrikin Arab dibuat takjub dengan kalam al-Quran? Hal itu jelas menunjukkan kalau mereka belum pernah mendengar hal serupa seperti sebelumnya, bahkan sampai menuduh Nabi sebagai penyihir.
Adapun maksud wahyu jenis kedua, adalah bahwa teks dan makna Al-Quran terpengaruh oleh akal dan budaya masyarakat Arab Quraisy pada waktu itu, sebagaimana ditulis dalam buku Ijtihad Islam Liberal: “… Al-Quran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi perangkap bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas.”
Dr. Henri Shalahuddin dalam bukunya, “Al-Quran Dihujat“, mempertanyakan, jika Al-Quran terpengaruh budaya Arab, mengapa tantangan dalam Surat al-Isra ayat 88 belum juga terjawab? Padahal saat itu sudah banyak para penyair dan pakar bahasa Arab di sana. Ia juga mempertanyakan, jika Al-Quran memang telah terpengaruh budaya Arab dan menjunjung superioritas suku Quraisy,
“kenapa orang-orang kafir Quraisy saling melarang satu sama lainnya untuk mendegarkan Al-Quran seperti yang dikisahkan dalam QS. Fussilat: 26? Yaitu ketika al-Tufayl ibn Amru al-Dusi, seorang penyair kenamaan di kalangan Arab datang ke Makkah untuk menemui Nabi Muhammad.”
Cara kedua kaum liberal menyerang Al-Quran adalah dengan menuduh Mushaf Utsmani tidak lagi benar. Motif Utsman bin Affan dalam memerintahkan pembukuan Al-Quran dan pembakaran seluruh mushaf selainnya, kata mereka, bersifat politis, karena haus kekuasaan. Utsman disebut ingin mempertahankan hegemoni kaum Quraisy. Kata jurnal tadi:
“… yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibnu Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Quran produk Quraisy... pembukuan Quran hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab (dan Islam... Dan hanya orang yang mensakralkan Quranlah yang berhasil ter-perangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Pandangan itu jelas keliru. Adnin Armas dalam bukunya, “Menyangkal Pemikiran Para Penggugat Mushaf Utsmani“, mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari yang mengatakan bahwa alasan Utsman melakukan kodifikasi adalah “karena perbedaan qiraat yang sangat tajam.”
Ulama Musab bin Sad juga menjelaskan bahwa ketika itu, semua Sahabat ijma dengan keputusan Utsman. Ali bin Abi Thalib bahkan berkata, “Seandainya ia (Utsman bin Affan) belum melakukannya (kodifikasi al-Quran), maka aku yang membakarnya.” Ia juga mengatakan, “Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai Mushaf sebagaimana yang Utsman buat.”
Berangkat dari liberalisasi Al-Quran inilah, kaum liberal mampu melancarkan program ketiganya, yakni liberalisasi Syariat Islam dengan melakukan konstekstualisasi ijtihad. Dengan al-Quran disebut sebagai produk budaya, Al-Quran bisa ditafsirkan sesukanya. Syariat Islam pun bisa rusak karena tidak ada lagi yang bersifat tetap (Qathi).
“Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka,” tegas Ustadz Adian.
Hukum yang sudah disepakati secara ijma oleh para ulama, khususnya para imam mujtahid, dapat mereka ubah sesukanya dengan bersandar pada “tafsir konteks” yang jelas berbeda dengan konsep “Asbabun Nuzul” dalam khazanah keilmuan Islam.
Contohnya seperti peghalalan nikah beda agama (NBG). Dalam buku “Fiqih Lintas Agama“, dalil yang dipakai oleh tokoh feminis supaya NBG halal, adalah karena dahulu umat Islam masih sedikit. Sementara dalam bukunya yang lain, Muslimah Reformis, dalil yang dipakai adalah karena dahulu Kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. “Konteksnya adalah peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir,” ujarnya.
“larangan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (surat Al-Mumtahanah: 10),” tegas Ustadz Adian dengan merujuk pula buku Ensiklopedi Ijmak yang diterjemahkan salah satunya oleh KH. Sahal Mahfudz
Contoh lainnya adalah penghalalan dan legalisasi homoseksual. Begitu liarnya penafsiran yang dilakukan, dalam buku “Indahnya Kaum Sesama Jenis”, dikemukakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya… Tuhan pun sudah maklum bahwa proyek-Nya menciptakan manusia sudah berhasil, bahkan kebablasan.”
Oleh karena itu, jangan sampai keislaman kita menjadi rusak karena mengikuti alur paham liberal yang menyelewengkan Al-Quran dan merusak syariat agama Islam. Menjadi Islamlah karena Allah dan nabi Muhammad, dan ikutilah para ulama yang jelas otoritasnya dan telah berjasa dalam menafsirkan, menyusun dan menyampaikan syariat Islam secara tepat.
“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik” (HR. Al-Darimi)
*
*
*
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pelajaran Islamic Worldview pertemuan 2 di Pesantren At-Taqwa Depok untuk kelas 1 SMA oleh Ustadz Fatih Madini)
Editor: Fatih Madini
Buku itu mengutip pernyataan salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL): “all scriptures are miracle,” semua kitab suci adalah mukjizat. Artinya, tidak ada kitab suci yang lebih unggul atau lebih suci, termasuk Al-Quran. Semua kitab suci tidak sepenuhnya suci atau asli, sehingga harus dikritisi.
Pemahaman dan keyakinan semacam itu tentu bertentangan dengan kesepakatan para ulama yang menegaskan bahwa Al-Quran adalah kalamullah, lafaz dan maknanya dari Allah. Umat Islam pun sepakat bahwa al-Quran adalah kalam (perkataan) Allah yang mulia, sehingga teksnya tidak pantas untuk dikritisi dan maknanya tidak bisa sembarangan ditafsirkan.
Karakteristik Al-Quran berbeda dengan Bibel yang memang teksnya ditulis oleh manusia, sehingga dirasa perlu untuk menggunakan metode tafsir Hermeneutika.
Ustadz Adian menjelaskan dua cara muslim liberal menyerang Al-Quran. Pertama dengan mengatakan bahwa Al-Quran sejak dahulu telah terkena pengaruh budaya Arab. Seorang tokoh JIL menegaskan, di dalam Al-Quran, terdapat dua jenis wahyu: 1) verbal (redaksional bikinan Nabi Muhammad Saw; 2) non verbal (konteks sosial waktu itu)
Maksud wahyu jenis pertama adalah penegasan Nabi Muhammad sebagai pengarang Quran. Jurnal Justisia Fakultas Syariah, edisi 23 Th XI, 2003 mengungkap: “konteks Arab 14 abad silam telah mengkonstruk Quran. Adalah Muhammad saw., seorang figur saleh dan berhasil mentranformasikan nalar kritisnya dalam berdialektika dengan realitas Arab”
Pandangan semacam jelas salah. Prof. Musthafa Al-Azami dalam bukunya, “Sejarah Teks AL-Quran“, menegaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah “menyampaikan”, menyampaikan wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril kepada seluruh umat Muslim (para sahabat), sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS. 2: 129, 3: 164, 2: 151, 75: 16-19).
Selain itu, banyak pula Hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sering membaca Quran bersama malaikat Jibril, dan didengar pula oleh beberapa sahabat seperti Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, Ubayy bin Kaab, dan Utsman bin Affan.
Terlebih, kata Prof. Al-Azami, kata yang dipakai adalah “muarada”, saling membaca. “Jibril membaca satu kali dan Nabi Muhammad mendengarnya. Demikian pula sebaliknya,” jelasnya. Maka mustahil Nabi Muhammad mengarang Al-Quran yang disampaikan oleh Jibril.
Lagi pula, jika Al-Quran adalah bahasa Nabi Muhammad, lantas mengapa para musyrikin Arab dibuat takjub dengan kalam al-Quran? Hal itu jelas menunjukkan kalau mereka belum pernah mendengar hal serupa seperti sebelumnya, bahkan sampai menuduh Nabi sebagai penyihir.
Adapun maksud wahyu jenis kedua, adalah bahwa teks dan makna Al-Quran terpengaruh oleh akal dan budaya masyarakat Arab Quraisy pada waktu itu, sebagaimana ditulis dalam buku Ijtihad Islam Liberal: “… Al-Quran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi perangkap bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas.”
Dr. Henri Shalahuddin dalam bukunya, “Al-Quran Dihujat“, mempertanyakan, jika Al-Quran terpengaruh budaya Arab, mengapa tantangan dalam Surat al-Isra ayat 88 belum juga terjawab? Padahal saat itu sudah banyak para penyair dan pakar bahasa Arab di sana. Ia juga mempertanyakan, jika Al-Quran memang telah terpengaruh budaya Arab dan menjunjung superioritas suku Quraisy,
“kenapa orang-orang kafir Quraisy saling melarang satu sama lainnya untuk mendegarkan Al-Quran seperti yang dikisahkan dalam QS. Fussilat: 26? Yaitu ketika al-Tufayl ibn Amru al-Dusi, seorang penyair kenamaan di kalangan Arab datang ke Makkah untuk menemui Nabi Muhammad.”
Cara kedua kaum liberal menyerang Al-Quran adalah dengan menuduh Mushaf Utsmani tidak lagi benar. Motif Utsman bin Affan dalam memerintahkan pembukuan Al-Quran dan pembakaran seluruh mushaf selainnya, kata mereka, bersifat politis, karena haus kekuasaan. Utsman disebut ingin mempertahankan hegemoni kaum Quraisy. Kata jurnal tadi:
“… yang paling mencelakakan adalah pembukuan Quran dengan dialek Quraisy, oleh Khalifah Usman Ibnu Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh) mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk tunduk/mensakralkan Quran produk Quraisy... pembukuan Quran hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab (dan Islam... Dan hanya orang yang mensakralkan Quranlah yang berhasil ter-perangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
Pandangan itu jelas keliru. Adnin Armas dalam bukunya, “Menyangkal Pemikiran Para Penggugat Mushaf Utsmani“, mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari yang mengatakan bahwa alasan Utsman melakukan kodifikasi adalah “karena perbedaan qiraat yang sangat tajam.”
Ulama Musab bin Sad juga menjelaskan bahwa ketika itu, semua Sahabat ijma dengan keputusan Utsman. Ali bin Abi Thalib bahkan berkata, “Seandainya ia (Utsman bin Affan) belum melakukannya (kodifikasi al-Quran), maka aku yang membakarnya.” Ia juga mengatakan, “Seandainya aku yang berkuasa, niscaya aku akan berbuat mengenai Mushaf sebagaimana yang Utsman buat.”
Berangkat dari liberalisasi Al-Quran inilah, kaum liberal mampu melancarkan program ketiganya, yakni liberalisasi Syariat Islam dengan melakukan konstekstualisasi ijtihad. Dengan al-Quran disebut sebagai produk budaya, Al-Quran bisa ditafsirkan sesukanya. Syariat Islam pun bisa rusak karena tidak ada lagi yang bersifat tetap (Qathi).
“Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks itu sekehendak hati mereka,” tegas Ustadz Adian.
Hukum yang sudah disepakati secara ijma oleh para ulama, khususnya para imam mujtahid, dapat mereka ubah sesukanya dengan bersandar pada “tafsir konteks” yang jelas berbeda dengan konsep “Asbabun Nuzul” dalam khazanah keilmuan Islam.
Contohnya seperti peghalalan nikah beda agama (NBG). Dalam buku “Fiqih Lintas Agama“, dalil yang dipakai oleh tokoh feminis supaya NBG halal, adalah karena dahulu umat Islam masih sedikit. Sementara dalam bukunya yang lain, Muslimah Reformis, dalil yang dipakai adalah karena dahulu Kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. “Konteksnya adalah peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir,” ujarnya.
“larangan Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma dengan dalil-dalil yang sangat meyakinkan (surat Al-Mumtahanah: 10),” tegas Ustadz Adian dengan merujuk pula buku Ensiklopedi Ijmak yang diterjemahkan salah satunya oleh KH. Sahal Mahfudz
Contoh lainnya adalah penghalalan dan legalisasi homoseksual. Begitu liarnya penafsiran yang dilakukan, dalam buku “Indahnya Kaum Sesama Jenis”, dikemukakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya… Tuhan pun sudah maklum bahwa proyek-Nya menciptakan manusia sudah berhasil, bahkan kebablasan.”
Oleh karena itu, jangan sampai keislaman kita menjadi rusak karena mengikuti alur paham liberal yang menyelewengkan Al-Quran dan merusak syariat agama Islam. Menjadi Islamlah karena Allah dan nabi Muhammad, dan ikutilah para ulama yang jelas otoritasnya dan telah berjasa dalam menafsirkan, menyusun dan menyampaikan syariat Islam secara tepat.
“Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik” (HR. Al-Darimi)
*
*
*
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari pelajaran Islamic Worldview pertemuan 2 di Pesantren At-Taqwa Depok untuk kelas 1 SMA oleh Ustadz Fatih Madini)
Editor: Fatih Madini