Menggugah Ghiroh! Inilah Catatan Dinamika Dakwah Imam Shamsi Ali di Amerika Serikat

Oleh: Furaiqa Az Zahra (Santriwati PRISTAC – Setingkat SMA – Pesantren At-Taqwa Depok, 15 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Buku Telling Islam to the World ditawarkan oleh Ustadz Ahda kepada para santri PRISTAC 2 untuk diulas dan dibahas. Awalnya saya tidak tertarik untuk membahas buku tersebut. Tapi setelah Ustadz Ahda menyampaikan sedikit tentang isi buku, tanpa ragu saya mengangkat tangan. Buku yang memiliki cover berwarrna biru muda ini menarik pandangan mata. Ditambah dengan gambar bumi yang di kelilingi bangunan-bangunan terkenal dari berbagai dunia, seperti menara Eiffel di Prancis dan menara Big Ben di London, menambah daya tarik bagi pembaca.

Buku ini bagus untuk dibaca oleh para da’i dan para anak muda. Dengan bahasa yang cukup ringan membuat buku ini mudah dipahami. Di dalam buku tersebut, Imam Shamsi Ali, yang merupakan seorang da’i di Amerika, menjelaskan seputar dunia dakwah; mulai dari esensi dakwah, adab-adab, cara-cara yang harus diperhatikan oleh seorang da’I, serta pengalamannya sendiri berdakwah di Amrika Serikat. Melalui bukunya pula, Imam Shamsi Ali hendak menjelaskan universalitas Islam (agama global) yang membawa perubahan positif. Ketika membaca buku Telling Islam to the World, saya tidak merasa bosan, karena setiap penjelasannya diberikan kisah dari pengalaman Imam Shamsi Ali sendiri ketika mengislamkan orang Amerika.

Imam Shamsi Ali bersama Nusantara Foundation, Dompet Dhuafa, Elzata, dan partner lainnya membuat gerakan Telling Islam to the World yang di-launching di Jakarta tahun 2015. Gerakan ini dibuat, guna mengenalkan wajah Islam yang sebenarnya ke dunia. Islam yang universal dan indah. Saat ini, banyak media – khususnya media di Barat – yang menampilkan wajah Islam dengan persepsi yang buruk. Mereka menyebarnya “warna” yang buruk terhadap Islam juga disebabkan keterbatasan umat Islam dalam media. Maka, sudah menjadi tanggung jawab umat Islam untuk menentukan sendiri “warna” Islam di mata dunia.

Islam yang dikenal dunia – khususnya Barat – adalah Islam yang keras, diskriminatif, dan lain sebagainya. “Warna” Islam yang sudah tersebar buruk ini, memicu amarah dari umat Islam. Karena anggapan “amarah Islam” itulah, muncul rasa benci dan memusuhi yang berujung ingin menghancurkan orang-orang non-muslim. Timbul pula asumsi sebaliknya bahwa orang-orang Barat hendak menghancurkan Islam. Padahal, tidak semua orang non-muslim yang melakukan itu murni dari hati. Ada yang melakukannya karena salah paham dan tidak tahu. Ketidaktahuan (ignorance) orang-orang Barat terhadap Islam inilah yang menjadi salah satu penyebab fenomena islamophobia di Barat.

Munculnya islamophobia ini juga dikarenakan realitas umat Islam (Moslem Reality) yang tidak menggambarkan agama Islam yang membawa kemajuan, kekuatan, dan keberhasilan. Jika dibanding dengan negara-negara Barat yang maju, bersih, dan modern, negara-negara Islam masih tertinggal jauh. Baik dari segi ekonomi, pendidikan, politik, maupun kehidupan sosial. Contohnya adalah negara kita sendiri, bisa kita lihat dari kebersihan dan lalu lintas yang tidak terjaga di Indonesia, sebagai negara mayoritas Muslim. Islam adalah agama yang sempurna. Tapi kesempurnaan Islam itu bukan berarti kesempurnaan pemeluknya. Jadi bisa dikatakan, timbulnya islamophobia ini juga kesalahan umat Islam sendiri.

Realitas umat Islam inilah yang menimbulkan ketakutan dalam diri orang Barat. Mereka takut ketika memeluk Islam, mereka menjadi terbelakang. Dalam pandangan Barat, andai Islam menjadi agama mayoritas di negara Barat seperti Amerika, maka Islam akan membawa kehidupan manusianya ke cara hidup primitif. Syeikh Hamzah Yusuf, pendiri Zaituna Institute, California, di Amerika Serikat berkata, sebagaimana dikutip dalam Telling Islam, “Saya sungguh bersyukur kepada Tuhan karena sempat menemukan Islam sebelum sempat bertemu dengan orang-orang Islam. Kalau saya bertemu mereka sebelum menemukan Islam boleh jadi saya telah mengambil jalan yang semakin jauh dari keindahan itu.”

Oleh karena itu, menjadi tugas umat Islam untuk selalu memperbaiki diri dan lingkungan. Tidak hanya menjadi sholeh pasif, tapi sholeh aktif dengan melakukan dakwah yang berisi perbaikan. Tapi, perlu diingat bahwa perbaikan itu menuntut orang yang memperbaikinya agar selalu memiliki kebaikan supaya perbaikan itu tidak layu. Kedepankan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari adalah kuncinya, karena salah satu metode dakwah adalah bil hal (perbuatan). Banyak cerita para muallaf yang masuk Islam karena kagum dengan akhlak orang muslim.

Selain itu, perlu diingat bahwa tujuan dakwah bukanlah untuk mengislamkan tapi untuk menyampaikan. Hidayah adalah hak prerogatif Allah SWT. Dakwah adalah ajakan semata, tentunya mengajak seseorang kepada hal yang positif. Dakwah tidak dilakukan dengan cara memaksa. Sebagaimana firman Allah SWT, “…tidak ada paksaan dalam beragama.” Salah satu kesalahpahaman orang Barat terhadap Islam adalah seolah Islam disebarkan dengan kekerasan dan pemaksaan. Padahal, pemaksaan tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam datang untuk memperbaiki dan menyempurnakan yang sudah ada bukan menggusur. Sebagaimana pernyataan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya aku telah diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Dakwah adalah gerakan perbaikan (harakatul ishlah) dan perubahan. Seperti yang telah dilakukan para Wali Songo saat berdakwah di Nusantara. Mereka tidak serta merta menghapus dan mengganti budaya di masyarakat. Para wali memperbaiki budaya yang ada agar sesuai dengan ajaran Islam. Islam juga tidak mengganti karakter masayarakat Nusantara yang secara esensi sudah Islam. Tapi, Islam datang dan menyempurnakannya.

Karena inilah, dalam berdakwah dibutuhkan sifat rendah hati (tawadhu) dan jujur. Maksudnya adalah kita mengakui kelebihan dan sisi kebaikan orang lain. Misalkan, kita dapat mencontoh orang-orang Barat dalam semangat menuntut ilmu dan berkarya. Mereka belajar berbagai macam ilmu dan menghasilkan banyak karya ilmiah yang terkenal. Bahkan, golongan kaya di Barat menyalurkan harta mereka melalui pelbagai yayasan untuk terus menerus mengukuhkan penguasaan ilmu pengetahuan tentang kebudayaann dan tamadun lain (Wan Mohd Nor Wan Daud, Rihlah Ilmiah: Dari Neomodernis ke Islamisasi Ilmu Kontemporer, Indonesia: YPI At-Taqwa Depok dan RZS-UTM, 2021, hlm. 110). Tidak hanya itu, umat Islam juga harus jujur dan mengakui kekurangan yang ada pada pengikut agama yang sempurna ini. Masih banyak perilaku yang jauh dari idealisme Islam.

Ada satu bab dalam buku Telling Islam to the World yang menarik bagi saya. Di dalamnya, Imam Shamsi Ali membahas artikelnya yang berjudul “Amerika Negeri Islam?”. Imam Shamsi Ali menulis bahwa dalam keseharian masyarakat di Amerika, ada karakter yang sangat islami di dalamnya. Mulai dari kedisiplinan waktu, kebersihan, keteraturan, dan sistem politik yang sangat menghargai dan mendorong partisipasi masyarakat (sistem syuro). Begitu pula dari sisi hukum, Amerika menerapkan asas kebebasan, keadilan, kesetaraan bagi semua orang. Semua hukum tersebut sebenarnya sudah kita kenal dalam hukum syariat Islam.

Amerika juga memiliki akuntabilitas publik yang tegas. Ketika ada pemimpin yang melakukan kesalahan dalam amanah dan masyarakat menuntut untuk mundur, maka akan ditarik mundur. Sangat berbeda dengan keadaan Indonesia sekarang. Selain itu, Amerika memiliki keadilan sosial yang tinggi, masyarakat yang tidak mampu dijamin oleh negara dan diberikan fasilitas. Lebih menarik lagi, Thomas Jefferson (presiden ketiga AS) pada tahun 1776, membeli dam mempelajari Al-Qur’an. Ia juga mempelajari budaya Timur Tengah, dan mencatat beberapa hal tentang Islam soal hukum dan budaya. Secara subtansi, masyarakat Amerika tidak anti dengan nilai-nilai Islam. Mereka sudah menyadari dan menerapkannya, walau masih ada celah yang perlu dibenahi, yakni celah iman.

Ketika berdakwah, kita harus memahami karakteristik individu atau kelompok dan menyesuaikan dakwah dengan bahasa kaum. Komunikasi dan dialog adalah kunci keberhasilan dakwah. Seperti, orang Barat yang memiliki karakteristik unik. Mereka sangat kritis dan selalu ingin mempertanyakan sesuatu. Orang Barat meyukai keterbukaan terhadap segala sesuatu, meskipun itu sesuatu yang buruk. Contohnya, pasca peristiwa serangan teroris di AS dengan jatuhnya WTC, banyak media yang memberitakan Islam dari sudut negatif. Tapi hal itu tidak dilarang karena termasuk unsur keterbukaan dan kebebasan berpendapat.

Media memberitakan bahwa agama Islam mengajarkan terorisme. Karena karrakteristik orang Barat yang kritis, banyak yang akhirnya mencari tahu informasi tentang Islam langsusng ke sumbernya, yakni al-Qur’an. Dari sinilah jumlah orang Amerika yang masuk Islam naik empat kali lipat. Karena ketika mempelajari dan membaca al-Qur’an bukan ajaran terorisme yang mereka temukan, melainkan keindahan. Wallahua’lam bishawab. (Editor: Ahd.)

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086