Mendidik dan Berdakwah Membangun Masyarakat: Cara Ulama Berjuang di Bawah Cengkeraman Penjajah

Oleh: Darian Al-Fatih Alamsya Pohan (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Gold, glory, gospel, sebagaimana yang sering dikatakan oleh banyak sejarawan, adalah gambaran singkat akan misi VOC, Portugis, dll untuk datang dan menjajah banyak tempat, Kepulauan Melayu (Indonesia) salah satunya. Hal tersebut pastinya tidak selalu berjalan mulus, kadang kekerasan menjadi opsi agar tetap bisa menjalankan misi tersebut.

Seperti yang terjadi di Kepulauan Melayu, banyaknya penolakan dan ketidaksetujuan dalam menerima hal tersebut yang menyebabkan adanya konflik dan tragedi. Namun siapa sangka, hal tersebut dapat menjadi batu lompatan bagi para ulama. Kemudian dikembangkan menjadi sesuatu hal besar yang disebut oleh Sejarawan Jajat Burhanuddin dalam bukunya “Ulama dan Kekuasaan”, sebagai “Membangun Ranah”.

Membangun ranah berarti menciptakan wilayah pengaruh atau kekuasaan, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam konteks sejarah atau sosial, membangun ranah sering dilakukan melalui pendidikan, dakwah, atau kepemimpinan. Proses ini melibatkan pembentukan identitas, struktur sosial, dan kekuatan moral yang mampu memengaruhi masyarakat luas.

Membangun ranah ini muncul setelah terjadinya kemerosotan kerajaan-kerajaan Islam di abad ke-17 akibat interaksi dan konflik dengan penjajah. Namun untuk mempertahankan keberlangsungan Islam dan kedaulatan masyarakat, para ulama kemudian menguatkan sendi-sendi kehidupan Islam dalam masyarakat. Dengan penguatan ini, Islam semakin intensif mengalami pendalaman dan penyebaran dalam kehidupan masyarakat.

Hal tersebut terbukti baik dari produk yang dihasilkan pada masa itu. Tidak hanya berupa lulusan yang menjadi ulama atau guru agama, tetapi juga karya sastra dan naskah keagamaan. Pesantren Tegalsari dikenal menghasilkan banyak manuskrip berbahasa Jawa dan Arab Pegon yang berisi tafsir, tasawuf, dan ajaran moral. Di samping itu, nilai-nilai kepemimpinan dan kebudayaan yang ditanamkan di pesantren tersebut melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Ranggawarsita. 

Jika kita lihat lebih dalam misi “Gold, Glory, dan Gospel“, kita akan menemukan bahwa sejarah bukan sekedar siapa yang menang dan siapa yang kalah. Kedatangan bangsa-bangsa asing seperti Portugis dan VOC ke Kepulauan Melayu memang meresahkan. Tetapi dari situlah muncul semangat untuk bangkit dan membentuk kekuatan baru, seperti dari kalangan ulama dan pesantren.

Pesantren menjadi inti dari proses ini. Seperti pada Pesantren Tegalsari, mereka tidak hanya mencetak banyak pemuka agama, tetapi juga menjadi tempat tumbuhnya pemikiran, dan bahkan tokoh-tokoh besar. Para ulama tidak hanya bertahan, mereka membuktikan bahwa kegagalan bukanlah akhir. Tapi darisitulah seseorang diuji kemampuannya dalam bertahan. Mereka menolak. Namun bukan sekadar menolak, tetapi menawarkan jalan baru yang sekiranya lebih efisien. Membangun sistem nilai dan struktur sosial yang mengakar kuat dalam budaya lokal dan agama.

Dari sini kita belajar bahwa “membangun ranah“ bukan hanya istilah yang ada dalam buku sejarah. Namun itu adalah proses yang bisa menjadi inspirasi hari ini. Ketika zaman terus berkembang, kita perlu mengingat bahwa kekuatan sejati tidak selalu hadir dari fisik, tetapi dari kemampuan untuk merawat, membangun suasana yang berkelanjutan, dan yang paling penting ialah kemampuan untuk tetap bertahan juga menyesuaikan diri dengan lingkungan serta tantangan yang ada. Kadang, itu dimulai dari pesantren kecil di sudut desa,yang kemudian meledak dan berkembang menjadi catatan serta legenda.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086