Maulid Nabi dan Negara Pancasila

Oleh: Dr. Adian Husaini (Pembina Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Dalam otobiografinya yang berjudul Dia dan Aku, (Kompas, 2006), mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Dr. Daoed Joesoef, mengungkap satu penggal kisah menarik tentang tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad saw di Istana Negara.  Daoed Joesoef mengaku pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar di Istana Negara juga diadakan Perayaan Natal, bukan hanya Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw.  
 
Karena usulnya tidak dikabulkan Pak Harto, maka – sebagai kompensasinya -- ia mengadakan Perayaan Natal Bersama di Departemen P&K yang dipimpinnya. Kata Daoed Joesoef, ”Kepada panitia Natal aku minta supaya semua dirjen dan direktur diundang sejauh ruangan dapat menampungnya. Sudah tentu ada yang mengkritik, bahkan dari beberapa karyawan departemen sendiri, terhadap kebijakanku ini. Namun, aku mau tunjukkan bahwa Departemen P dan K bukan milik kaum Muslim, juga tidak hanya menghormati agama Islam. Ini adalah departemen yang beradab, termasuk dalam beragama dan berkeyakinan.”  (Daoed Joesoef, Dia dan Aku, hlm. 747).
 
Daoed Joesof adalah contoh pejabat negara yang tampaknya sangat meyakini bahwa Negara Pancasila memang harus merupakan negara laiq yang memisahkan agama dengan politik. Ia juga menentang keras berbagai bentuk pembedaan antara kelompok minoritas dan mayoritas. Semua warga bangsa harus diperlakukan sama. Itu menurut dia.
 
Logika Daoed Joesoef tentang negara Pancasila itu berbeda dengan banyak pemimpin Indonesia.  Presiden Soekarno adalah inisiator penyelenggaraan Perayaan Maulid Nabi di Istana Negara. Dalam pidato Maulid Nabi di Istana Negara, tahun 1963, Bung Karno bercerita, bahwa saat berkunjung ke Kairo, ia mengaku terinspirasi oleh perjuangan Shalahuddin al-Ayyubi. Bahkan, Bung Karno mengajak delegasi Indonesia menonton film perjuangan Shalahuddin di Hotel Hilton Kairo. Saat itu kebetulan sedang bulan Rabi’ulawwal. ”Kita harus mengadakan perayaan Maulid nanti sebaik-baiknya,” kata Bung Karno. 
 
Bung Karno menyangka bahwa Shalahuddin al-Ayyubi adalah penyelenggara perayaan Maulid Nabi. Perjuangan umat Islam di bawah Shalahuddin al-Ayyubi, kata Bung Karno, mengambil suri tauladan dari perjuangan Nabi Muhammad saw.
Saat peringatan Maulid tahun 1963 itulah, Bung Karno mengajak umat Islam: “Bahkan harus kita mengatakan,  tidak ada pemimpin yang lebih besar dari pada Muhammad saw!” (http://bironaskahpidato.blogspot.com/2013/11/isi-pidato-presiden-sukarno-pada.html). 
 
Adil, bukan Sama! 
 
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw sudah menjadi tradisi kenegaraan resmi di Indonesia, sejak zaman Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Selama ini tidak ada Presiden Indonesia yang berpikir, bahwa peringatan Maulid Nabi itu bertentangan dengan konsep Negara Pancasila!  Tidak ada yang berpikir, bahwa negara melakukan penzaliman kepada agama lain, selain Islam, karena di Istana Negara tidak diselenggarakan peringatan kelahiran Jesus, Sidharta Gautama, Konghuchu, dan sebagainya. 
 
Dalam otobiografinya, Daoed Joesoef  mengaku jengkel saat mendengar ucapan Menteri Agama, Alamsyah Ratuprawiranegara, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari umat Islam. Ucapan Alamsyah itu didasari bahwa pada tahun 1945 tokoh-tokoh Islam membatalkan tuntutan pelaksanaan syariat Islam dalam Piagam Jakarta. 
 
Lagi-lagi, Daoed Joesoef mengadukan masalah itu ke Presiden Soeharto. Tapi, Presiden Soeharto lagi-lagi juga tidak tidak berpihak kepadanya. Maka, ia mengusulkan agar Departemen Agama dibubarkan saja. ”Maka kalau Islam selalu dimenangkan oleh kebijakan pemerintah, ini adalah politik, keberpihakan politis, bukan agama, bukan demi kerukunan umat beragama. Berhubung kebijakan agama yang picik ini datang dari Departemen Agama, aku katakan kepada Pak Harto, supaya departemen ini dibubarkan saja,” tulis Daoed Joesoef. Ia bahkan, mengajukan gagasan agar sesekali orang non-Muslim diangkat sebagai Menteri Agama. (Daoed Joesoef, Dia dan Aku, hlm. 752-754). 
 
Visi Daoed Joesoef tentang Negara Pancasila bisa dikatakan sebagai sebuah visi sekular – setidaknya dalam tataran kenegaraan --  meskipun dia menolak istilah tersebut dan lebih suka menggunakan istilah negara laiq.  Jelas, visi Daoed Joesoef tentang negara Pancasila bercorak sekular itu sulit diterima. Pemisahan agama dan negara secara tajam dalam pengalaman sejarah Indonesia terbukti tidak dapat dilaksanakan. Bahkan, sekularisasi itu pun gagal dipaksakan, ketika Orde Baru sedang giat-giatnya ingin melakukan proses deislamisasi dalam tataran politik. 
 
Pemaksaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam organisasi sosial dan politik akhirnya tidak dapat dipertahankan. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru, tahun 1998, menyusul kejatuhan pemerintahan Soeharto,   kemudian memunculkan berbagai  kritik terhadap penafsiran Pancasila di masa Orde Baru. 
 
Sebuah buku berjudul Pendidikan Kewarganegaraan yang merupakan buku ajar di Perguruan Tinggi, misalnya, menyebutkan kekeliruan Orde Baru dan Orde Lama yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Padahal, sejak ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945, seharusnya Pancasila diletakkan posisinya sebagai ideologi terbuka. 
 
Ditulis dalam buku ini:  ”Pengalaman sejarah politik bangsa Indonesia masa lalu, seperti pada waktu besarnya pengaruh  komunisme, Pancasila pernah menjadi doktrin yang kaku. Demikian juga waktu peran pemerintah Orde Baru sangat dominan untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup bahkan dalam melaksanakan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), materi penataran dirumuskan atas kemauan pemerintah, bukan atas hasrat pengamalan dari masyarakat Indonesia sehingga Pancasila sebagai ideologi tidak berfungsi.” (Supriatnoko, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: penaku, 2008), hlm. 27-28).
            
Indonesia telah memilih ‘keadilan’ sebagai prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara; bukan persamaan! Justri tidak adil, jika agama Islam dengan pengikut 200 juta lebih, disamakan hak-haknya dengan beberapa Aliran Kepercayaan yang jumlah pengikutnya hanya ratusan orang. Di AS pun, kaum Muslim tidak mendapatkan hak libur hari besar agama yang sama dengan kaum Kristen. 
            
Prinsip keadilan – tentunya yang berpijak pada makna adil dalam al-Quran bagi kaum muslim – harusnya dijadikan panduan dalam menyusun program pembangunan. Bukan adil namanya, jika negara Pancasila memberikan hak yang sama antara kaum homoseks dengan heteroseks untuk melegalkan perkawinan mereka. Bukan adil, bahkan zalim, jika para istri dibebani kewajiban untuk mencari nafkah, yang memang merupakan kewajiban suami. 
 
Sangat tidak adil pula jika siswa-siswa yang bejat akhlaknya disamakan hak-haknya untuk lulus sekolah dengan siswa-siswa yang berakhlak mulia. Meskipun semakin banyak perempuan yang perkasa, dan semakin banyak laki-laki yang tidak berdaya di hadapan istrinya, tetapi kaum laki-laki tidak memprotes ketika negara membentuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan, tanpa ada Kementerian Pemberdayaan Laki-laki! 
 
Karena itu, sepatutnya, negara berlaku adil terhadap rakyatnya. Jangan semua disuruh beranak maksimal dua orang. Manusia Indonesia itu tidak sama! Manusia-manusia unggul seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Hamka, BJ Habibie, dan sebagainya, sebaiknya didukung untuk memiliki banyak anak. Sebab, mereka unggul dan mampu mendidik. 
 
Sebaliknya, manusia-manusia lemah dan bejat akhlaknya, tidak patut diberikan hak beranak banyak. Jika perlu, para pemerkosa dihukum mati atau dikebiri. Itu adil namanya! Inilah negara yang adil; bukan memperlakukan semua orang secara sama! Aneh jika masih saja ada yang menggugat UU No 1/PNPS/1965 – tentang Penodaan Agama – dengan alasan keadilan. Padahal, jelas, ‘jalan yang lurus’ tidak bisa disamakan dengan ‘jalan yang sesat!’  Itulah doa yang berulang kali tiap hari dipanjatkan kaum muslim dalam shalatnya! 
 
Teladan Abadi
 
Kembali ke soal tradisi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Istana Negara. Bisa dipastikan, setiap berpidato dalam Peringatan Maulid Nabi, semua Presiden Indonesia selalu mengajak umat Islam Indonesia untuk meneladani pribadi dan kehidupan Nabi Muhammad SAW. 
 
Tahun lalu, dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1439 Hijriah, di Istana Bogor, Presiden Jokowi menyatakan, bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad harus menjadi momentum membangun komitmen untuk meneruskan misi Rasulullah dalam kehidupan umat manusia.
 
“Sekali lagi, tugas kita adalah melanjutkan misi kenabian tersebut menjadi nyata. Misi Islam yang rahmatan lil alamin dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sepenuh hati dan sekuat tenaga, kita berusaha untuk melanjutkan misi kenabian yang rahmatan lil alamin,” kata Presiden Jokowi (30/11/ 2017).
 
Tentu, kita tunggu bersama perwujudan dari ajakan dan janji mulia dari Presiden itu. Alangkah indanya jika Presiden kemudian mewajibkan para pelajar untuk mendalami Sejarah Perjuangan Nabi (Sirah Nabawiyah) di seluruh jenjang pendidikan! Tapi, sebenarnya, prestasi apakah yang dicapai oleh Nabi Muhammad saw dalam mewujudkan satu peradaban mulia?   
 
Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim,  H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA), menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).  Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988). 
 
Istilah ‘Konstitusi Madinah’ diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt.  Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad. 
 
Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka”. 
 
Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Itulah salah satu kepeloporan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang kepala negara teladan. Maka, sungguh ironis, jika hingga kini, para siswa muslim di sekolah-sekolah kita, sama sekali tidak terbayang di kepala mereka, bagaimana keagungan Negara Nabi di Madinah dan tidak terpikir oleh mereka untuk menjadikan negara Madinah sebagai negara model (negara maju). 
 
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengucapkan apa yang kamu tidak kerjakan! Sungguh besar kemurkaan Allah jika kamu mengucapkan apa-apa yang kamu tidak perbuat.” (QS ash-Shaf: 2-3). (Artikel ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika-INSISTS, 15 November 2018).

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086