Masalah Tuhan Terjadi di Barat, Orang Islam Tidak Perlu Ikut-Ikutan
Oleh: Fatimah Syiharani (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Mengapa dalam dunia yang dewasa ini, ajang sepak bola lebih di Tuhankan ketimbang Tuhan itu sendiri yang pada akhirnya ditinggalkan? Terdapat pernyataan nyeleneh juga kalau di Italia ada dua agama: Katolik dan Ferrari.
Tapi persoalan ini bukan tentang sepak bola maupun Ferrari. Naasnya inilah yang terjadi di Barat, kedudukan Tuhan tidak penting lagi, bahkan kata Nietzsche, Tuhan telah mati karena kita telah membunuhnya.
Di satu sisi ia terjadi karena derasnya arus Sekularisme. Di sisi lain terdapat pula problem internal teologi Kristen, sampai-sampai Teolog Belanda Dr. C. Groenen Ofm mengakui bahwa seluruh permasalahan dalam dunia kristologi dalam dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem.
Pakar pemikiran Islam dan Barat, Dr. Nirwan Syafrin, dalam satu mata kuliah “Reading Islam and Secularism”, menjelaskan bahwa memang, konsep Tuhan bagi Barat, tidak pernah tetap. Tuhan dalam teori korespondensi, tidak dapat dibuktikan. Begitu pula Tuhan secara Rasional.
Hal itu bertambah parah ketika Tuhan di Barat didasari percampuran konsep dari beberapa agama: Theos (Yunani), YHWH (Yahudi), Deus (Barat Metafisik), Dewa-Dewa (Jerman pra Kristen). Belum lagi dengan adanya trinitas, sehingga apa pun konsepnya ujungnya harus dengan trinitas sebagai asas penting.
Percampuran berbagai unsur itu, akhirnya membuat Tuhan di Barat sulit untuk diketahui dan dimengerti. Para teolog sulit menjelaskan tentang Tuhan. Para intelektual gagal membuktikan adanya Tuhan. Bertambahlah krisis keraguan mereka terhadap kewujudan Tuhan.
Tuhan di sana diyakini oleh banyak pemikir dan saintis bertentangan dengan akal manusia. Lahirlah orang-orang semacam Giordano Bruno, Isaac Newton dan Charles Darwin yang mendepak eksistensi Tuhan demi mengembangkan teori sainsnya.
Intinya, di Barat, tidak ada yang dapat memastikan kebenaran Tuhan, sehingga mau tidak mau berujung pada masalah keimanan. Hingga akhirnya konsep Ketuhanan tidak lain layaknya benang kusut, mendekati Gordian Knot.
Para teolog maupun pemikir mengatakan bahwa konsep Tuhan sengaja dibuka agar dapat berkembang sepanjang masa, layaknya seorang manusia. Penafsiran tentang Tuhan yang tidak final, dianggap bukan penghambat perkembangan.
Keraguan terhadap Tuhan, bagi mereka, harus ditafsirkan sebagai petunjuk arah di mana perkembangan harus dikejar. Perubahan dan perkembangan harus diniscayakan. Tidak ada yang pasti kecuali kepastian akan perubahan.
Hal inilah yang menjadi masalah serius di kalangan Barat. Konsep Tuhan telah membuat mereka ragu. Karena dianggap irasional, manusia Barat merasa perlu mencari tuhan baru yang lebih rasional. Ketika tetap dirasa sulit, cukup dibunuh (disingkirkan) dari pikiran manusia.
Karena konsep tentang Tuhan tidak jelas, kata Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam bukunya, “Misykat”, manusia modern membutuhkan penafsiran ulang atas Bible dengan Hermeneutika hingga otoritas Teolog pun tersingkirkan.
Penafsiran atas Tuhan bersifat bebas bagi tiap manusia, tidak ada lagi otoritas yang diakui. “Ijtihad tentang Tuhan terbuka lebar untuk semua”, ucap Prof. Hamid. Teologi pun tunduk pada Filsafat, akibat pengkritikan atas bible kian merebak. Hingga ujungnya melahirkan epistemologi yang ateis
Maka sangatlah mengherankan jika umat Islam yang konsep ketuhanannya sudah sempurna dan final dan tetap melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, layaknya manusia FOMO (Fear Of Missing Out), ikut-ikutan peradaban Barat dalam pencarian kebenaran Tuhan yang tak berujung.
Sekularisme, yang melahirkan pandangan bahwa Tuhan dan agama tidak penting, kata Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi dalam tulisannya “Ancaman Baru dan Pemecahannya”, benar-benar telah mengancam masyarakat Muslim, sekalipun di negara Islam atau yang mayoritasnya Muslmi.
Bahkan katanya, hampir tidak ada keluarga yang masih beruntung tak memiliki anggota keluarga yang menganut kepercayaan ini, yakni sekularisme sebagai fenomena intelektual modern. Kepercayaan atau pandangan yang mengancam iman melalui sesat pikiran.