Ketika Peradaban Barat Menyingkirkan Tuhan

Oleh: Farras Zahy Putra Satriawan (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

“Suatu hari, di tengah pasar, ada seseorang berlari ke tengah kerumunan. Sembari berlari, ia berteriak, “Di mana semua orang? Di mana semua orang? Aku ingin menyatakan bahwa hari ini Tuhan telah mati! Kita telah membunuhnya!” 
 
Demikianlah kurang-lebih kutipan dari seorang filsuf besar dari Jerman, Friedrich Nietzsche dalam bukunya yang berjudul “Also Sprach Zarathustra”. Ungkapan fenomenal ini bukan ekadar metafora, melainkan representasi nyata arah peradaban Barat Modern. Benar, di Barat, “Tuhan telah mati” sebagaimana yang dimaksud Nietzsche. 
 
Pada tahun 1965, seorang teolog Prancis, Jacques Maritain, menyampaikan dalam salah satu tulisannya bahwa ia melihat Peradaban Barat dan Kristen sedang mengalami musibah yang dibawa oleh Neo-Modernisme. 
 
Bukan tanpa alasan, Maritain menilai bahwa Kristen—yang selama berabad-abad menjadi identitas dan pilar peradaban Barat—mulai merosot tatkala berhadapan dengan arus modernisme baru ini. Menurutnya, Barat sedang berjalan menuju kejatuhan
 
Apa yang disampaikan Maritain cukup menjadi bahan renungan: mengapa peradaban Barat yang selama ini dipandang sebagai kekuataan adidaya justru diprediksi akan runtuh? 
 
Barangkali jawabannya jelas. Agama di Barat, khusunya Kristen, sudah tidak lagi menempati posisi penting dalam kehidupan mayoritas masyarakat Barat. Menurut Dr. Nirwan Syafrin, hal ini bisa terjadi karena suatu ideologi yang kini menjadi agama baru bagi masyarakat Barat: Sekularisme. Pasca era Renaissance pada akhir abad ke-14, ketika kebebasan berpikir dan penekanan pada rasionalitas serta sains mulai diagungkan, peran agama semakin terpinggirkan. Kristen yang dulu hegemonik, perlahan kehilangan pijakan.
 
Perkembangan sains dan teknologi di Barat memiliki peran besar dalam tersingkirnya agama dari lingkaran sosial Peradaban Barat dalam berbagai aspeknya. Agama, terkhusus Kristen, dianggap sebagai sebuh dogma irasional, dan dinilai tak mampu bertahan menghadapi arus modernitas yang mengandung ide sekularisasi. 
 
Pernyataan di atas tidak mengada-ada. Seorang psikolog dan filsuf Austria, Sigmund Freud, pernah menyatakan prediksinya ini di dalam salah satu karyanya, The Future of an Illusion. Freud mengatakan bahwa ia skeptis terhadap kapasitas agama dalam menghadapi modernitas. Hal ini berangkat dari pemahaman Freud mengenai agama sebagai sebuah ilusi, yang cepat atau lambat akan tumbang di hadapan sains modern. 
 
Maka kembali pada pernyataan Maritain, mungkinkah peradaban besar seperti Barat mengalami kehancuran? Kita tidak bisa menjawabnya sekarang. Namun berpijak pada sejarah, akan kita dapati, banyak peradaban besar yang mengalami kejatuhan ketika mereka mulai mengotak-atik agama. Dan itulah yang kini dialami Peradaban Barat.
 
Dan di sinilah letak perbedaan mendasar dengan Islam. Dalam pandangan Islam, Tuhan tidak mati—sebagaimana anggapan Nietzsche—justru Dia adalah pusat kehidupan. Agama bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi kokoh bagi ilmu, akhlak, dan peradaban. Peradaban Islam pernah membuktikan hal ini ketika menjadi mercusuar dunia: sains dan iman berjalan beriringan.
 
Karena itu, kejatuhan Barat seharusnya menjadi cermin bagi umat Islam agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Selama agama tetap dijaga dan diposisikan sebagai ruh peradaban, maka Tuhan tidak mati, dan umat memiliki peluang besar untuk membangun peradaban yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086