Ketika Agama Jadi Eksperimen: Catatan Tentang Kristen di Barat
Oleh: Farras Zahy Putra Satriawan (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Berbicara mengenai arus sekularisme dan sekularisasi di dunia, tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kristianitas di Eropa. Sebab inilah dianggap sebagai awal sekaligus sebab dari lahirnya wajah baru dari “agama modern” Barat. Sebagaimana diketahui, sekularisme merupakan salah satu respons dari penerapan sistem hierarkis dan otoriter Gereja pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi barat pada 476 Masehi.
Dalam menyikapi tantangan ini, otoritas Kristen di Eropa melakukan upaya “rekonsiliasi terselubung” dengan kaum sekular. Mereka berusaha menafsirkan sekularisasi sebagai salah satu ajaran Alkitab (Bible). Meskipun tidak bisa dinafikan bahwa sebagian tokoh Kristen Eropa berupaya melakukan resistansi terhadap Kristen, tanpa adanya konsiliasi. Misalnya gagasan de-Hellenisasi oleh Adolf von Harnack, meski pada akhirnya justru menjerumuskan umat Kristen pada paradoks baru.
Dalam Islam and Secularism, Prof. al-Attas menyatakan bahwa, otoritas Kristiani di Eropa telah menghilangkan sakralitas ajarannya sendiri. Ia mengibaratkan Kristen seperti taman kanak-kanak (childish and kindergarten). Analogi ini lahir dari kenyataan bahwa Kristen dipandang sebagai “anak kecil” yang hidup di tengah “lingkungan dewasa” bernama masyarakat sekular Barat (western Secular society). Agar bisa bertahan, anak itu harus mengikuti pola hidup lingkungannya, termasuk dalam konsep ketuhanan.
Berpijak dari filsafat Yunani, otoritas Kristen mencoba merumuskan ulang doktrin Trinitas. Menggunakan sintesa dari fenomenologi Edmund Husserl, eksistensialisme Martin Heidegger dan pemikiran dari beberapa cendekiawan Vienna Circle, konsep tuhan direformulasi hingga memiliki wajah barunya. Tuhan dipahami sebagai sesuatu yang pasti ada, meskipun secara eksistensi fisik tak mampu digapai. Karena eksistensi tidak hanya mencakup apa yang terindra, namun juga apa yang mampu dipikirkan.
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Prof. al-Attas bukan tuduhan kosong. Sejarah membuktikan bahwa Kristen sering menjadi wadah eksperimen dari berbagai pemikiran yang membangun Peradaban Barat. Dari filsafat Yunani hingga filsafat dan pemikiran Barat modern. Akibatnya, Kristianitas tampil bukan sebagai agama universal yang stabil, melainkan sebagai tradisi religius yang lentur mengikuti budaya tempat ia berkembang.
*
*
*
*
*
*
(Resensi Mata kuliah Reading Text “Islam and Secularism” bersama Dr. Nirwan Sjafrin pada Rabu, 20 Agustus 2025)