Imam Al-Ghazali: Kenali Diri, Niscaya Kenal Allah
Oleh: Hisyam Ahmad Fahreiza (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 Tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Dalam kitab Kimiyaus Saadah Imam al-Ghazali membahas satu pasal tentang “mengenal diri” (marifat an-nafs). Menurutnya, hal ini ialah jalan seorang hamba untuk mengenal Allah (marifatullah), sebagaimana firman Allah:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar…” (Qs. Fushilat: 53).
Seseorang yang mampu mengenal dirinya hanyalah ia sendiri. Hal itu karena dialah yang paling dekat dengan jiwanya. “Jika kalian tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mau mengenal tuhan kalian?” catat imam al-Ghazali. Karenanya mengenal diri bukan perkara sepele. Sebab itu mengantarkan pada marifatullah!
Sayangnya, hari ini banyak orang yang mengenal dirinya hanya sebatas jasad, seperti tangan, kepala, kaki, dan tubuhnya. Pandangan ini umumnya kita temukan dalam Peradaban Barat yang sekular dan materialis, membuat mereka gagal memahami hakikat manusia.
Mereka terlalu terpaku dengan hal yang fisik, termasuk terhadap wujud manusia. Ketimbang ruh atau jiwa manusia, mereka hanya terpaku kepada raga atau fisiknya. Akhirnya kebutuhan manusia hanya dibatasi pada tiga hal: sandang, pangan, papan.
Padahal manusia bukan hanya terdiri dari jasad. Ia juga terdiri dari jiwa yang juga membutuhkan asupan dan perhatian. Bahkan dalam Islam, kebutuhan jiwa jauh lebih penting ketimbang kebutuhan jasad. Dengan itu kebutuhan manusia bisa tercukupi secara sempurna seluruhnya.
Imam al-Ghazali membuktikan secara rasional tentang keberadaan jiwa dalam diri manusia. Dalam kitabnya ia mengatakan “Jika kamu marah, kamu mencari musuh, jika kamu lapar kamu mencari makan.” Dari perkataan tersebut dijelaskan bahwa letak marah, lapar, dan lainnya tidak dapat terlihat secara fisik namun terletak dalam jiwa. Artinya keberadaan jiwa itu nyata!
Tetapi kebutuhan jiwa yang disebutkan itu memiliki kesamaan dengan binatang. Seseorang harus mampu mengenali dirinya lebih jauh, dalam arti melampaui sifat hewani. Tidak hanya mengenali jasadnya secara fisik, namun juga batinnya secara mendalam.
Maka Imam al-Ghazali mengatakan “seseorang harus mengetahui hakikat dirinya sendiri, sampai ia tahu siapa dirinya, dari mana ia berasal, mengapa ia ada di dunia, untuk apa diciptakan, dengan apa ia bahagia, dan dengan apa ia celaka.”
Pertanyaan-pertanyaan mendasar inilah yang menuntun manusia menemukan jati dirinya. Ketika seseorang mampu mengenal hakikat dirinya sendiri, asal-usulnya, tujuan penciptaannya, dan jalan kebahagiaannya, maka ia pun akan mengenal siapa Tuhannya.
*
*
*
(Catatan mata kuliah “Akhlak” dengan kitab Kimya Al-Saadah bersama Dr. Muhammad Ardiansyah pada Kamis, 11 September 2025)