Imajinasi Nyata dalam Keindahan Bahasa Al-Qur’an

Oleh: Bana Fatahillah (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir, kini Direktur SMP Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

 Mukaddimah 

Bayangkan, di tempat Kalian tinggal sedang marak pencurian. Mewaspadai hal ini, Kepala Daerah menghimbau warga untuk terus berhati-hati. Sebagai bentuk informasi, media A memberi judul beritanya: “Wali Kota Mewaspadai Warga Tentang Pencurian”, sedangkan media B memberi judul beritanya: “Pencurian Mengancam, Ketakutan Menerkam, Kepala Desa Berikan Himbauan!”. 

Pertanyaannya: dari kedua judul berita itu, mana yang lebih membuat pendengar takut sehingga lebih berhati-hati? Jawabannya tentu yang kedua. Sebab dalam judul itu, ia melukiskan tindakan pencurian layaknya monster yang mengancam. 

Begitupun ketakutan yang dibuat seakan-akan seperti binatang buas yang mampu menerkam. Saat mendengar kata itu imajinasi seseorang akan hanyut dalam ketakutan yang lebih nyata dan konkrit. Sebab makna itu tidak hanya samapi dalam benaknya. Namun juga tergambar dalam imajinasinya, dan merasuk dalam sanubarinya. 

Inilah kira-kira maksud tulisan ini. Di mana Al-Quran mampu memberikan “imajinasi nyata” atau “gambaran ril” dari lafadzdnya yang tak bernyawa itu. Para ahli bahasa menyebutnya dengan al-Tashwir Al-Fanniy. Tokoh yang digadang-gadang sebagai penggagasnya adalah Sayyid Quthub dalam kitabnya “Al-TashwÄ«r Al-Fanniy fi Al-Quran al-KarÄ«m”. 

Apa itu Al-Tashwir Al-Fanniy? 

Al-Tashwir al-Fanniy adalah satu perangkat unggul dalam al-Quran, dimana ia mampu mengungkapkan sesuatu melalui gambaran imajinatif yang nyata (yu’abbiru bi al-Shurah al-Muhissah al-Mutakhayyilah). Sesuatu yang digambarkan itu dapat berupa makna dalam akal, keadaan dalam jiwa, sebuah permisalan dan lain sebagainya yang intinya tidak memiliki bentuk ril dalam kehidupan nyata. Kemudian,  lewat perangkat ini, hal yang tak berwujud itu dapat terpampang jelas, terlihat nyata, berbentuk ril di hadapan para pembaca. (Al-Tashwir al-Fanniy, hal. 36) 

Mari kita lihat contohnya. Dalam Al-Quran Allah mengabarkan bahwa: (i) mereka yang menyukutkan-Nya tidak akan masuk surga, (ii) kemudian Allah Ta’ala tidak akan menerima seluruh amalan mereka, pada akhirnya (iii) mereka pun tertipu oleh amalannya sendiri. Hebatnya informasi ini tidak dilukiskan Al-Quran secara “datar”. Melainkan divisualkan dalam bentuk imajinasi yang ril. 

Kemustahilan masuknya mereka ke Surga digambarkan dengan kemustahilan onta yang masuk ke dalam lobang jarum (Qs. Al-A’raf: 40). Adapun tertolaknya seluruh amalan mereka dilukiskan dengan debu yang berterbangan (Qs. Al-Furqan: 23), juga abu yang diterbangkan oleh angin kencang di hari yang anginnya kuat (Qs. Ibrahim: 18). Sedangkan amalan mereka yang telah menipu divisualkan layaknya fatamorgana yang menipu pejalan kaki di padang pasir, juga seperti orang yang terseok-seok di tengah kegelapan malam atau di tengah lautan yang dihadang oleh ombak bergulung-gulung. (Qs. Al-Nur: 39-40) 

Sampai sini coba tarik nafas dalam-dalam, lalu bayangkan semua permisalan itu. Al-Quran ingin membawa siapapun hanyut dalam imajinasi yang dibangkitkan dari permisalan ini. Gambaran onta yang mustahil masuk ke lobang jarum, debu yang berterbangan, fatamorgana yang menipu pejalan kaki, semakin menguatkan “makna” yang ingin disampaikan al-Quran. Sebab gambaran itu “terngiang” lalu terpampang jelas  dalam imajinasi siapapun yang membacanya. Inilah gaya bahasa Al-Tashwir Al-Fanniy

Contoh lain yang berhasil membangkitkan imajinasi konkrit adalah tentang ketakutan, kengerian dan dahsyatnya hari kiamat. Al-Quran tidak sebatas mengatakan “Hari Kiamat adalah hari yang menakutkan, menyeramkan atau yang lainnya”. Lebih dari itu Allah berfirman: 

“…Sesungguhnya Dia menangguhkan mereka sampai hari ketika mata (mereka) terbelalak. (Pada hari itu) mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedangkan mata mereka tidak berkedip dan hati mereka kosong” (Qs. Ibrahim: 42-43) 

Di ayat lain, ““Pada hari kamu melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui melupakan anak yang disusuinya, setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya…” (Qs. Al-Hajj: 2) 

Pehatikan dan baca berkali-kali ayat itu! Hayati “mata terbelalak”, “datang tergesa-gesa”, “mengangkat kepala” “mata yang tak berkedip”. Ini semua adalah lukisan akan seseorang yang takut, panik dan bingung. Sebab seperti itulah umumnya keadaan mereka. Terlebih ayat selanjutnya dimana seorang perempuan yang abai akan anak yang disusuinya, bahkan rela menggugurkan kandungannya. Setelah tergambar dalam imajinasi, permisalan itu pun semakin menguatkan makna “kengerian” Hari Akhir kelak. 

Inilah Al-Tashwir Al-Fanniy itu. Al-Quran tidak mengatakan “jangan taati perintah Setan!”. Namun ia mengatakan “jangan ikuti langkah setan!” (walaa tattabi’u khutuwaat al-Syaithan). Pembaca seakan diberikan gambaran seseorang yang sedang berjalan di hadapannya, dan karena langkah itu menuju suatu keburukan, maka ia diperingati agar jangan mengikuti ke mana langkah itu pergi. 

Begitupun adzab dan nikmat di akhirat kelak. Kendati Allah menyebutkan sebagiannya secara gamblang, namun untuk menekankan betapa nikmatnya Surga dan pedihnya Neraka, Allah menggambarkan itu dengan dialog ahli surga dan Neraka, bahkan dialog antara sesama ahli neraka. 

Dialog ini membangkitkan imajinasi kita soal “ketidak-enakan” neraka. Saya pernah mendengar kondisi penjara Mesir dari dialog orang yang merasakannya. Mendengarkannya saja sudah mengerikan dan membuat saya tidak ingin masuk ke dalamnya. Begitulah kira-kira pesan yang ingin Al-Quran sampaikan lewat dialog antara ahli surga dan neraka. Kita diberikan imajinasi “ketidak-enakan” itu lewat penghuninya. 

Lagi-lagi ini semua adalah keindahan bahasa Al-Quran agar pesan yang ingin disampaikan itu tidak hanya ditangkap akal, namun dirasakan dan dibayangkan. 

Apa Bedanya dengan Perkataan Biasa? 

Pertanyaan yang hadir adalah: jika ini merupakan aspek yang dengannya Al-Quran dikatakan mukjizat, maka bukankah buku-buku, bahkan perkataan orang Arab baik prosa maupun puisi, turut mengunakan gaya bahasa ini? 

Menjawab soalan ini, Muhammad Salim Abu Ashi, Guru Besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir Al-Azhar, memberikan satu jawaban. Bahwa yang membedakan al-Quran adalah ketelitiannya dalam memilih kata yang digunakan sebagai sebuah kiasan. Setiap kata memiliki “relasi” dengan maknanya jika ditinjau dari berbagai aspek. Dalam istilah yang populer, “setiap kata membawa rasa” akan maknanya.  

Sebagai contoh, saat mengatakan “wa Al-Shubhi idzā tanaffas” (dan ketika pagi hari memulai bernafas), Al-Quran tidak sembarang memilih kata “tanaffasa”. Sebab dalam kata tersebut -secara makna- merupakan gambaran permulaan seseorang dalam menarik nafas. Hal ini sebagaimana pagi hari yang mulai menyapa sebuah hari.  

Tidak sampai disitu, kata tanaffasa pun jika dilihat dari aspek bunyi yang keluar dari lafadznya. Maka akan ditemukan kedalaman makna dari sifat yang dimiliki tiap hurufnya. Di sana ada huruf nun yang bergunnah. Fa yang lembut, yang dengan sifat al-Tafassyi-nya (menyebar, meluas) selaras dengan makna menyebarnya cahaya kala pagi. Juga huruf SÄ«n yang dengan sifat shafiir (siulan) aple to aple dengan kondisi pagi yang dipenuhi kicauan burung. 

Menurut Abu Ashi, semua aspek ini tidak akan kita temukan dalam karya Sastrawan Arab, baik klasik ataupun kontemporer. Bayangkan, bagaimana kehebatan sebuah lafadz yang bisa menggambarkan senyuman dan sapaan pagi yang selaras dengan maknanya. Aspek ini tidak akan Anda temukan di selain Al-Quarn. (lihat Lā Ya’tÅ«na bimitslihi, hal. 98-100) 

Aspek lain disebutkan oleh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi. Menurutnya, saat lafadz yang “mati” alias sebatas huruf dan suara yang tak berwujud, berubah menjadi gambaran yang divisualkan dalam sebuah layar imajinasi, merupakan sesuatu yang tidak mampu dilakukan siapapun, kecuali dalam beberapa hal makna saja. (lihat Min Rawā’i Al-Qurān, hal. 170) 

Alhasil, sedikit uraian di atas menunjukkan bahwa Al-Quran bukan karangan siapapun. Melainkan adalah Kalam-Nya yang tidak bisa ditiru oleh siapapun. Isinya, pesan kepada makhluk-Nya.  

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086