Ilmu dan Adab: Penjelasan, Hikmah, dan Pengalaman dari "Dua Prof. Wan"

Oleh: Raihan Dzikri Hakim (Mahasantri At-Taqwa College Depok)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Tengah bulan November lalu, saya dan teman-teman At-Taqwa College berkesempatan mengunjungi Malaysia untuk melaksanakan Rihlah Ilmiah. Rihlah ini merupakan hari-hari yang bersejarah untuk saya pribadi. Sebab, di sana kami mengunjungi Ta’dib Institute untuk berguru kepada dua murid langsung dari Prof. Syed Naquib al-Attas yakni; Prof. Madya Wan Suhaimi dan Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud dimana keduanya merupakan pendekar pemikiran Prof. al-Attas.

Sebelum kami berangkat ke Ta’dib Insititute, pada pagi harinya guru kami, Dr. Ardiansyah memberi wejangan kepada kami mengenai pencatatan. Ia menjelaskan, bahwa para ulama seperti Ibnu Batuthah dan Ibnu Jubair selalu membukukan perjalanannya ketika selesai berkunjung ke satu wilayah. Ini dilakukan agar generasi setelahnya mengetahui kebenaran dari suatu kisah yang benar-benar terjadi dan dialami langsung oleh penulis.

Kuliah terbagi menjadi dua sesi, yakni pagi dan siang. Pada sesi pagi, pembentangnya adalah Prof. Madya Wan Suhaimi dan pada sesi siang diisi oleh pembentang utama yakni, Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud.

Dipandu oleh Dr. Nirwan Syafrin sebagai moderator dan Prof. Wan Suhaimi sebagai pembentang, kami membedah salah satu karya beliau yang berjudul Khulasah Faham Ilmu, dan alhamdulillah kami diberi diskon untuk mendapatkan buku tersebut hanya sebesar 10 ringgit yang akan dipergunakan untuk kegiatan dakwah di Ta’dib Institute.

Buku Prof. Wan Suhaimi itu merupakan ringkasan dari apa yang Imam al-Ghazali tulis dalam magnum opusnya Ihya’ Ulumiddin pada bab ilmu. Prof. Suhaimi lebih akrab kami memanggilnya, membuka lecture pagi hari itu dengan perkenalan dengan sosok agung Imam al-Ghazali. Menurutnya, sosok agung al-Ghazali yang ahli dalam berbagai bidang ilmu yang digelutinya mengalami penyempitan di zaman sekarang. Orang-orang zaman sekarang hanya mengenal sosok imam al-Ghazali sebagai seorang sufi, mereka seakan menutup mata dengan keunggulan al-Ghazali dalam berbagai ilmu lain seperti kalam, filsafat, fiqh, aqidah, dan lain-lain. Bahkan, kata Prof. Suhaimi, ada juga yang mengatakan bahwa al-Ghazalilah yang menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam.

Dalam merumuskan konsep, sangat sulit untuk merumuskan konsep baru tanpa harus mengikuti apa yang telah diusahakan oleh para pendahulu. Begitu pula Prof. Naquib al-Attas, beliau mengikuti framework yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali sebelumnya. Murid-murid Prof. al-Attas senior seperti Prof. Wan Suhaimi dan Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud juga menyebutkan bahwa dalam merumuskan konsep jiwa, bahagia, ruh, dan aspek lain yang bersifat metafisik, Prof. al-Attas banyak tersentuh pengaruh Imam al-Ghazali.

Ada setidaknya dua hal yang paling berkesan menurut saya pribadi dalam sesi pertama ini yakni, kesimpulan akhir sesi dan jawaban dari pertanyaan yang saya pribadi tanyakan kepada beliau.

Pertama adalah konklusi, dari Dr. Nirwan beliau menyimpulkan tiga poin utama yang disampaikan oleh Prof. Madya Wan Suhaimi. Yang pertama, Ilmu berasal dari Allah. Kita harus meyakini bahwa Allahlah subjek utama yang memberikan ilmu dan pemahaman kepada para hamba-Nya. Allah Berfirman dalam surah al-Baqarah yang artinya, “Bertaqwalah kamu kepada Allah, maka Allah akan mengajarkan kepadamu Ilmu.” Ini lah yang dinamakan dengan ilmu ladunni.

Kesimpulan kedua yang diutarakan oleh Dr. Nirwan adalah, “Jujur dalam menuntut ilmu, bahwa menuntut ilmu bukan untuk mencari ketenaran (syuhrah).” Perkataan tadi mencadi cambuk yang sangat keras bagi saya pribadi, sebab acapkali dalam menuntut ilmu terlintas dalam pikiran agar dengan ilmu ini kita dapat dikenal luas orang. Dikatakan pula oleh Ibnu Atha’illah as-Sakandari dalam kitabnya al-Hikam bahwa syuhrah (ketenaran) sangat tidak baik untuk murid, sebab ia akan membawa murid itu ke jurang kebinasaan dan kehinaan. Dalam satu pepatah Arab juga dikatakan bahwa orang yang diberikan ketenaran di kalangan manusia, tidak akan luput baginya dari fitnah.

Yang ketiga, “Jangan putus asa dan konsisten dalam menuntut ilmu.” Seperti yang kita ketahui bahwa menuntut ilmu bukan merupakan hal yang mudah, sehingga hanya segelintir manusia yang menuntut ilmu. Yang saya maksud dengan menuntut ilmu bukan hanya belajar di kelas, tetapi untuk menjadikan ilmu itu sendiri merasuk ke dalam jiwa insani. Prof. al-Attas mengatakan, “Ilmu adalah, sampainya makna kepada Jiwa, dan sampainya jiwa kepada makna.”"

Prof. Wan Suhaimi mensyarah perkataan al-Attas tadi dengan syarahan yang indah, ia menjelaskan bahwa ‘Sampainya makna kepada jiwa’ merupakan tugas Allah, sebab Allah lah yang akan menentukan kepada siapakah makna ini tepat diberikan. Sedangkan "Sampainya jiwa kepada makna" adalah pekerjaan manusia, sebab hal tersebut dapat diusahakan dengan belajar. Menjadi tugas manusia pula untuk menyiapkan wadahnya (hati) agar ilmu dapat masuk ke dalamnya.

Hal kedua yang sangat berkesan bagi saya pribadi adalah, syarahan Prof. Suhaimi atas pertanyaan yang saya ajukan kepada beliau. Saya bertanya, “Prof., apa makna dari makna yang dimaksud oleh Prof. al-Attas dalam perkataannya tadi?” Syarahan dari beliau merupakan ilmu baru bagi saya pribadi dan mungkin para hadirin yang hadir pada acara tersebut.

Beliau menjelaskan, bahwa makna yang dimaksud oleh Prof. al-Attas adalah ketersingkapan dari keterhijaban. Mungkin banyak dari kita yang mengalami kesulitan memahami pelajaran, namun pada hari kemudian entah cepat atau lambat saat kita sedang merenung berpikir kita dapatkan jawaban atas kesulitan tersebut dan kita berkata, “Haa, ini adalah jawaban yang kucari selama ini." Inilah makna menurut syarahan Prof. Wan Suhaimi.

Ketika merasa gelisah karena kesulitan memahami ilmu, dan pada saatnya kita dapat memahaminya, itu merupakan kenikmatan yang sangat besar. Menurut saya, dari yang telah saya alami dan rasakan, memang itu lebih nikmat dari segala kenikmatan dunia yang saya pernah rasakan. Saya pun berpikir, ternyata inilah alasan Imam an-Nawawi memutuskan untuk tidak menikah. Beliau terlalu nikmat menyingkap rahasia-rahasia ilmu, sehingga tidak sibuk mencari yang lain selain ilmu.

Dari semua ketersingkapan yang ada di dunia, ma’rifatullah merupakan puncak tertingginya. Ma’rifatullah ialah, mengenal Dzat Allah secara sangat terperinci baik sifat, perbuatan, dan nama-nama-Nya. Prof. Suhaimi emnjelaskan makna ini dengan dua istilah yakni ‘Wushul’ dan ‘Hushul’. Wushul merupakan ketibaan jiwa manusia kepada makna yang sebenarnya yakni ma’rifatullah, sedangkan hushul adalah ketibaan makna kepada jiwa yakni ilmu.

Sesi kedua dimulai setelah shalat dzhuhur waktu Malaysia, yang ditunggu pun datang dan memulai forum. Ia adalah Prof. Wan Mohd Noor Wan Daud, ditemani oleh muridnya yang setia Dr. Adian Husaini selaku pembawa acara dan yang mengenalkan ATCO juga para santri kepada Prof. Wan.

Dalam sesi kedua tidak ada lecture yang disampaikan oleh Prof.wan. Prof. Wan berkata bahwa acara ini hanya diskusi dan sharing pengalaman hidup Prof. Wan. Banyak santri yang mengajukan pertanyaan dan ada pula yang ingin mendengar kisah Prof. Wan dengan Prof. al-Attas, dan saya pun termasuk bagian didalamnya.

Sebelum memulai diskusi, Prof. Wan memberi tahu bahwa bangunan Ta’dib Institute dirancang sendiri oleh Prof. Wan. Ia sangat terinspirasi dari ISTAC karya gurunya, Prof. al-Attas. Sedangkan seluruh material dan detailnya diurus oleh Istri Prof. Wan.

Dari apa yang banyak dipaparkan oleh Prof. Wan, ia menitikberatkan perihal adab kepada kita semua. "Adab sebelum Ilmu", menurutnya tidak selalu benar sebab adab diperlukan dalam setiap laku kehidupan. Yang benar, kata Prof. Wan, adalah beradab sebelum, saat, dan mengamalkan ilmu.

Adab, menurut Prof. al-Attas adalah disiplin akal, badan, dan ruh pada batasnya masing-masing. Disiplin sangat diperlukan bagi diri setiap insan agar menghasilkan suatu sikap adil, dengan sikap adil maka seorang insan dapat memperlakukan segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dengan adab, manusia akan dapat mencapai kepada maqam ihsan, sebab ia telah adil dalam memperlakukan segala sesuatu.

Dalam al-Qur’an surah Luqman ayat 15, Allah berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (١٥)

Artinya: Dan jika memaksamu untuk mepersekutukan Aku dengan seseuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah wngkau menaati keduanya, dan peragauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu.

Syaikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama dan intelektual asli Nusantara yang berkiprah di Negeri Hijaz, menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut, “Taat kepada keduanya (orangtua) dan melayaninya merupakan suatu kewajiban, tetapi jika ada perintah dari keduanya yang menjurus untuk meninggalkan taat kepada Allah maka jangan taati keduanya.”

Dari apa yang Syaikh Nawawi katakan, jelaslah sudah, walaupun taat kepada kedua orangtua merupakan suatu kewajiban, tetapi ada kewajiban lain yang harus lebih diutamakan yakni kewajiban untuk taat kepada Allah. Apakah mungkin, tanpa pengetahuan tentang adab, dan ilmu lain yang menjadi alat, seorang manusia akan tetap dapat memprioritaskan Allah dalam urusannya? Saya rasa tidak.

Dari kasus tadi, Prof. Naquib al-Attas juga pernah mengatakan hal yang sama dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin bahwa,

“Sebab adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan kepada ilmi. Sebab adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasar kepada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan kepada seluruh kenyataan makhluk jelata, yang merupakan maklumat dari ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang memilki hak yang meletakannya pada keadaan atau kedudukan yang sesuai bagi keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini oleh hikmat ... dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah atau bagaimanakah letak keadaan dan kedudukannya.”

Pada intinya, untuk beradab tidak dapat diaplikasikan tanpa ilmu yang memadai, diiringi dengan hikmah, dan sikap adil maka dapatlah adab itu terealisasikan dalam kehidupan insaniyyah. Sebab, segala lika-liku kehidupan manusia tidak terlepas dari adab dan syari’at yang membatasi perilaku insan.

Prof. Wan bercerita, bahwa ia mulai mendampingi Prof. al-Attas sejak tahun 1987 hingga hari ini. Sudah umum diketahui, bahwa sebelum berguru kepada Prof. al-Attas ia sempat berguru kepada Prof. Fazlur Rahman. Selama kuliah di Cichago (Barat), Prof. Wan banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar disana seperti Prof. Amin Rais, Prof. Syafii Ma’arif, Nurcholish Majid, dan lain-lain yang juga berguru kepada Prof. Fazlur Rahman.

Kendati kuliah di Barat Prof. Wan tetap memegang teguh adab dan pandangan hidup Islam yang benar. Mungkin timbul di benak kita satu pertanyaan, “Mengapa Prof. Wan tidak ikut Barat atau tidak terBaratkan?” Prof. Wan menjawab, “Saya tidak mengikut Barat, sebab telah ada worldview Islam yang kuat dalam akal dan diri saya. Sejak kecil, saya telah dididik oleh kedua orangtua saya dengan didikan Islam. Begitu pula yang diajarkan oleh guru-guru saya saat mondok di Kelantan dahulu.”

Sebagai satu tindakan yang adil, Prof. Wan juga memuji gurunya-Prof. Fazlur Rahman. Ia mengatakan, “Prof. Fazlur Rahman merupakan orang yang jenius dan hebat. Ia mampu dan faham kurang lebih 7 bahasa.”

Sebelum berguru dengan Prof. al-Attas, Prof. Wan juga telah mendengar kebesaran nama dari Prof al-Attas. Bahkan, Prof. Fazlur Rahman juga memuji Prof al-Attas. Ia mengatakan bahwa al-Attas merupakan seorang ilmuwan yang jenius.

Dengan komparasi yang dilakukan dengan tokoh-tokoh lain, Prof. Wan menilai bahwa al-Attaslah yang sesuai dengan apa yang diyakini dan diamininya. Keelokan akhlak, konsistensi, dan ketegasan al-Attaslah yang membuat Prof. Wan jatuh hati kepada Prof al-Attas dan ia tidak sekedar ‘taqlid buta’ tetapi ia mengistilahkannya dengan ‘taqlid tidak buta’.

Menurut Prof. Wan, “Prof al-Attas merupakan seorang tokoh yang sangat cinta kepada Islam yang diyakini dan Nabi yang dikasihi. Bagi Prof al-Attas, tidak ada kata kompromi bagi hal-hal yang sudah bersifat final di dalam Islam. Prof. al-Attas merupakan seorang yang memegang ajaran Islam tradisional, tetapi dalam waktu yang bersamaan ia juga mampu mengurai dan menjelaskan agama Islam secara luas secara modern dan kontemporer. Begitulah kenangan kami, khususnya saya pribadi dengan dua murid langsung Prof. Naquib al-Attas." Wallahu A’lam bish-Shawab.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086