Ghufran Merusak Keindahan Kalam Nabi, Ini Penghinaan!

Oleh: Bana Fatahillah, Lc (Pengajar Balaghah di Pesantren At-Taqwa Depok)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
...

Akhir ini lini masa dipenuhi dengan video Ghufran. Ia berusaha menarasikan sejumlah bahasa seperti hewan, jin, malaikat bahkan bidadari. Anehnya hampir semua lafadz yang dilontarkannya sama yaitu maqali. Ironinya, tidak sedikit yang ikut teriak mengamini dan mengiyakan.
 
 Bagi saya itu hanya lucu-lucuan saja. Ingin rasanya meminta diulang kembali apa yang telah ia lontarkan. Bisa dipastikan lafadznya beda. Wong ngawur kok. Namun saat menarasikan Kalam Nabi dengan lafadz yang tidak semestinya seperti maqoli innah rahmatan ghufran, itulah yang harus ditindak. Sebab itu penghinaan.
 
 Dari aspek hadis itu jelas kebohongan. Ghufran berbohong atas nama Nabi, dan ini adalah dosa besar di mana pelakunya diancam dengan lapak di Neraka kelak.
 
 Merusak Keindahan

Itu dari aspek hadis. Dari aspek balaghah, satu kajian yang melihat keindahan bahasa Arab, Ghufran sejatinya telah mencoreng keindahan kalam Nabi. Sebab lafadz beliau tak sejelimet dan serumit itu.

Seorang filsuf juga sastrawan Arab, Al-Jahiz mensifati perkataan Nabi dengan kalam yang sedikit hurufnya namun menyimpan banyak makna; terhindar dari mengada-ada/berlebihan (al-Takalluf); menempatkan kalam sesuai takarannya, yakni tidak pendek sehingga kehilangan makna atau panjang namun tak bermakna. 

Jangankan belibet seperti yang diucapkan Ghufran. Memaksakan kalimat ber-sajak saja Nabi tak mau, dan ini tidak ditemukan dalam hadis Nabi. Inilah mengapa Syekh Al-Buthi mencatat, kendati tidak sejajar dengan al-Qur’an yang mu’jiz, namun hadis merupakan lafadz bahasa Arab yang derajatnya tidak kalah -bahkan mengungguli- keindahan sejumlah perkataan Arab.

Berikut sejumlah aspek keunggulan hadis Nabi dari perkataan Arab lainnya:

Pertama, analogi atau permisalan dalam hadis Nabi sangat dekat dan penuh hikmah. Ini berbeda dengan sejumlah perkataan Arab. Al-Jahiz coba membandingkan hadis berikut:

An-Nasu ka asnani al-Musyti laisa liahadihim fadhlun ‘ala ahadin illa al-Taqwa (Manusia itu seperti anak sisir dimana tidak ada keutamaan satu sama lainnya melainkan ketaqwaan)

Dengan perkataan Arab yang serupa maknanya:

Sawa’un ka asnani al-Himari fala tara … lidzi syaibatin minhum ‘ala nasyi’in fadhlan
(Semuanya sama sebagaimana gigi keledai, engkau tidak akan dapati keutamaan antara yang tua ataupun muda)
 
 Baca dan bandingkan keduanya. Nabi menggunakan analogi anak sisir untuk menggambarkan kesetaraan antara manusia. Sedangkan penyair tersebut memakai analogi gigi keledai. Kata Al-Jahiz, jika mendapati hakikat kedua kalam tersebut, Kalian akan mengetahui mana yang memiliki keutamaan. 
 
 Contoh lain, bisa dilihat saat Nabi mempermisalkan persaudaraan antar-muslim sebagai satu tubuh, yang jika satu sakit maka yang lain ikut sakit. Atau analogi Islam seperti bangunan kokoh yang ditopang tegak oleh 5 pilarnya. Benar-benar permisalan yang sangat dekat dengan pendengar. 
 
 Kedua, beberapa lafadz dalam hadis Nabi merupakan kalimat baru (ibda’) yang belum ada sebelumnya. Mushtafa Shadiq Ar-Rafi’i mengungkapkan bahwa terobosan ini merupakan satu keindahan penjelasan yang tidak dijumpai sebelumnya yang kelak menjadi warisan kekal untuk gaya bahasa Arab.
 
 Sebagai contoh perkataan “mata hatfa anfihi” yang maksudnya meniggal di atas kasur alias tanpa sebab apapun seperti sakit. Imam Ali Ra berkata, saya tidak pernah mendengar kalimat asing dari orang Arab sebelumnya, sampai aku mendengar dari Rasulullah perkataaan “mata hatfa anfihi” sungguh ini belum pernah saya dengar dari orang Arab sebelumnya. (Lihat Fi Al-Hadits Al-Syarif wa Al-Balaghah An-Nabawiyyah, hal. 52)
 
 Ketiga, luasnya hikmah di balik kepadatan lafadznya, atau yang diistilahkan dengan Jawami al-Kalim. Misalnya perkataan beliau:
 
 "Inna al-Munbatta la ardhan qatha’ wa la zhahran abqa"
 
Hadis ini secara harfiah hendak mengingatkan mereka yang terlalu tergesa-gesa sampai ke tujuan namun melukai kendaran yang ditungganginya. Sebab jika demikian, orang itulah yang akan rugi. Pertama, ia tidak sampai pada tujuannya (la ardhan qatha’). Kedua, ia pun kehilangan tunggangan yang dinaikinya (wa la zhahran abqa). Namun secara implisit, Rasulullah Saw hendak menghimbau agar tidak berlebihan dalam melakukan perkerjaan ataupun ketaatan. 
 
Lihatlah bagaimana makna yang luas ini diwakilkan dengan kalimat yang sedikit saja. Baca dan ulangi hadis itu. Ada satu kenikmatan membaca lafadz ringkas dan padat tersebut namun berhiaskan kedalaman makna. 
 
Begitupun perkataan beliau lainnya seperti la Yuldagh al-Mu’minu min Juhrin wahidin marratain (seorang muslim tidak akan dipatok ular dari lubang yang sama dua kali). Permisalan yang dekat dengan lafadz yang singkat. Siapapun yang hendak tertipu untuk kedua kalinya, maka ingatkanlah dengan hadis ini. 
 
Keempat, berisi untaian nasihat dan wasiat yang penuh hikmah. Ini banyak kita temukan dalam perkataan beliau kepada sahabat. Salah satunya saat menasehati Abdullah bin Abbas. Baca, renungi dan rasakan keindahan saat Rasulullah menasihati anak kecil dengan beberapa kalimat. Inni u’allimuka kalimat ihfazillah yahfazka, ihfazillah tajidhu tujahak. Siapapun bisa menghafal teks ini karena kemudahana lafadznya. Apalagi maknanya yang sangat mendalam.  
 
Masih banyak lagi aspek keindahan perkataan Nabi Saw. Coba baca isi dari surat yang disampaikan ke raja-raja di sekitar Arab. Baca juga khutbah-khutbah Nabi di sejumlah moment bersama kaum muslimin, khususnya pasca perang Mu’tah dan Fathu Makkah. Kita akan temukan keindahan perkataan yang bertabur hikmah. 
 
Ini tentu tidak seperti yang dinarasikan Ghufran. Itu sangat menghina keindahan perkataan Nabi. Kita doakan semoga ia dan pengikutnya bertaubat. 
 
Wallahu a’lam bi al-Shawab.

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086