Agama dalam Bayang Sekularisme: Krisis dan Transformasi Kristen
Oleh: Farras Zahy Putra Satriawan (Santri SMA Pesantren At-Taqwa Depok, 16 tahun)
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Pada abad ke 19, Soren Kierkegaard, filsuf berkebangsaan Denmark mengatakan, “Were always becoming Christians.” (Kita selalu sedang menjadi orang Kristen). Barangkali pernyataan Kierkegaard menyisakan sejumlah pertanyaan, seperti: Apa maksud selalu sedang menjadi Kristen? Apakah Kristen yang berkembang di Barat hari ini masih mengalami perubahan? Jika benar, sampai kapan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi gambaran bagaimana problematika yang dialami oleh umat Kristiani modern. Namun tidak perlu kaget, sebab kenyataannya, di Barat modern hari ini, Kristen masih mengalami perkembangan dan tampaknya tidak pernah menamatkan “fase evolusi”. Sepanjang sejarah, Kristen di Barat terus mengalami perubahan besar yang cukup signifikan, terutama ketika menyangkut unsur-unsur esensialnya, seperti konsep ketuhanan, kitab suci, dan lain-lain.
Hal-hal yang disebutkan di atas tidaklah mengherankan. Masalahnya, baik diakui maupun tidak, Kristen di Barat memang merupakan agama yang begitu besar pengaruhnya bagi perkembangan masyarakat Barat. Pasca runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 Masehi, Eropa mulai bergerak ke era di mana mereka akan terkungkung kemunduran dan kegelapan. Fase ini dikenal di dalam sejarah sebagai Zaman Kegelapan (Dark Age). Namun, di balik semua itu, ada satu hal penting yang diwariskan Peradaban Romawi kepada Peradaban Barat: Kristen.
Di dalam bukunya yang berjudul Islam and Secularism, Prof. al-Attas menjelaskan bahwa Kristen yang hari ini berkembang di Barat merupakan “wajah” baru bagi Kristen. Menurut beliau, Kristen yang berkembang di Barat memang bersifat dialektis. Ia akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, hingga mereduksi berbagai nilai asanya dan menajdi “agama baru” yang beliau sebut sebagai Kristen-Sekular.
“Thus they tended to regard religion as part of culture and tradition, created in history, evolving in history, and always subject to development,” ungkap Prof. Al-Attas
Menurut Dr. Nirwan Syafrin, alih-alih menanggapi serangan ini secara komprehensif, Kristen Barat malah berupaya melegitimasi kedudukan sekularisme dan upaya sekularisasi sebagai salah satu konsekuensi dari keimanan terhadap Alkitab (Bible). Hal ini dinyatakan di dalam salah satu ayat pada Perjanjian Baru (The New Testatement), bahwa dunia itu kotor, sehingga ia tak layak diintervensi oleh Tuhan yang maha suci.
Harvey Cox dalam bukunya The Secular City juga menegaskan bahwa “Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history.” (Sekularisasi adalah konsekuensi sah dari dampak iman Alkitab terhadap sejarah).
Hal ini menguatkan pembenaran bagi sekularisme, sekaligus menimbulkan paradoks: Bagaimana mungkin Alkitab membenarkan sekularisme, sementara sekularisme mengajarkan seseorang membuang agama? Dari sinilah, nantinya, setelah kehancuran Kristen lama, Peradaban Barat akan membangun lagi Kristen baru dengan “wajah” yang lebih cantik bernama Kristen-Sekular. Sehingga meskipun seseorang mengakui dirinya sebagai sekular, ia akan tetap diakui sebagai Kristen, berkat keyakinan baru ini.