Tantangan Pendidikan Islam Dari Era Penjajahan Hingga Sekarang

Oleh: Najda Khadijah Fadhila (Santri At-Taqwa College Depok, Pesantren At-Taqwa Depok, 19 tahun)
Artikel Ilmiah Liputan Kegiatan
gambar_artikel

Pembina Pesantren At-Taqwa Depok, Dr. Adian Husaini kembali mengingatkan para santri tentang perihal penting dalam proses pendidikan di pesantren, yakni ilmu yang bermanfaat. Menurut Imam al-Ghazali dalam “Bidayatul Hidayah”, ilmu nafi’ adalah ilmu yang menambah kedekatan kita kepada Allah, menambah kecintaan akan akhirat serta mengurangi ambisi dunia.

“Ilmu yang demikian tentu hanya akan didapat dengan niat yang ikhlas karena Allah,” ujarnya dalam acara Kuliah Khusus tentang sejarah dan tantangan Pendidikan Islam, di Pesantren At-Taqwa Depok (12/5/24).

Ustadz Adian menjelaskan, ilmu nafi itu bervisi akhirat. Ia membuahkan semangat ibadah dan amar ma’ruf nahi munkar. Ia harus melahirkan orang-orang bermanfaat dan para pejuang ilmu atau mujahid intelektual, yakni guru. Visi akhirat dan perjuangan inilah misi utama kehidupan seorang Muslim sekaligus kunci kebangkitan peradaban Islam.

Sejarah membuktikan bahwa kehancuran peradaban Islam dimulai ketika umat Islam sibuk mencintai bahkan serakah terhadap dunia (hubbud dunya), sibuk bertengkar sesamanya, dan malas berjuang atau enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini yang membuat Baghdad musnah oleh Mongol dan Yerusalem takluk oleh Pasukan Salib.

Cinta dunia, sibuk bertengkar, dan malas berjuang sehingga takut mati, disebabkan oleh rusaknya ilmu di zaman itu. Ilmunya tidak lagi nafi’. Itulah mengapa kerusakan ilmu menjelang jatuhnya Baghdad melatarbelakangi penulisan Ta’lim al-Muta’allim oleh Imam al-Zarnuji dan kerusakan ilmu menjelang jatuhnya Yerusalem melatarbelakangi penulisan Ihya’ Ulumuddin oleh Imam al-Ghazali.

“Dua kitab itu ditulis demi meluruskan tujuan pendidikan hakiki dalam Islam dan mampu melahirkan manusia-manusia seutuhnya (insan kamil), yang beradab (insan adabi) dan semangat berjuang,” jelasnya.

Kini, di Indonesia, kerusakan ilmu terjadi lagi. Itulah mengapa Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebut confusion of knowledge sebagai tantangan terbesar umat Islam saat ini. Kerusakan ilmu itu disebabkan sekularisasi ilmu di berbagai lembaga pendidikan yang mewarisi filosofi dan sistem pendidikan Belanda (Barat) yang materialis.

Sejak zaman Belanda, sekularisasi pendidikan diterapkan, bukan kekerasan, demi meredupkan semangat Islam. Snouck Hurgronje menegaskan, “Pendidikan dan pengajaran dapat melepaskan orang muslimin dari genggaman Islam.” Tidak heran jika pendidikan Belanda tidak melahirkan para pejuang, tapi sebatas menjadi buruh yang lupa pada tujuan hidup manusia. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya membenci Islam.

“Semua tujuan itu demi memenuhi kepentingan kolonial. Inilah yang disadari oleh salah satunya oleh Ki Hadjar Dewantara sehingga mendirikan Taman Siswa,” ucap Ustadz Adian.

Jika kerusakan ilmu terus dibiarkan, lembaga-lembaga pendidikan akan terus menuntun pelajarnya semata-mata untuk bisa menjawab soal ujian, mendapat ijazah, sekolah di SMA dan masuk perguruan tinggi favorit, kemudian mendapat pekerjaan yang bergengsi dan diduga kuat menghasilkan banyak materi. Akhirnya, ia bisa merusak keikhlasan niat dan lupa pada tujuan mencari ilmu yang sebenarnya.

Ustadz Adian kembali menyadarkan kita, bahwa pendidikan yang didapat di pondok, khususnya adab dan ilmu fardhu ‘ain, adalah ilmu mahal yang akan terus bermanfaat dalam kehidupan kita. Sayangnya, pengaruh pendidikan zaman kolonial yang membuat umat Islam malu dan kehilangan kebanggaan akan Islam masih melekat. Ki Hajar sejak dulu heran mengapa banyak priyai yang senang, menerima pendidikan Belanda:

“… anehnya, banyak priyai atau kaum bangsawan yang senang dan menerima model pendidikan seperti ini dan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang hanya mengembangkan intelektual dan fisik dan semata-mata surat ijazah yang hanya memungkinkan mereka menjadi buruh.”

Mohammad Natsir telah lama mengingatkan bahwa pendidikan harus mendidik jasamani dan rohani manusia secara tepat. “Memimpin jasmani dan rohani menuju pada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-sifat kemanusian dalam arti yang sesungguhnya,” ucapnya. Menurut al-Attas, pendidikan seharusnya menjadikan kita “good man”, bukan sekadar “good citizen” atau orang yang pintar. Tujuan ini tentu hanya akan tercapai dengan panduan ajaran Islam yang meliputi setiap aspek kehidupan.

Dengan model pendidikan yang benar, yang nafi’ ilmunya, impian sebagai guru akan terwujud. Guru bukan sebatas tukang ngajar. Guru itu pemimpin dan pejuang intelektual. Sambilannya, barulah pekerjaan-pekerjaan atau profesi-profesi lainnya. Jadi, apa pun pekerjaan dan profesinya, ia harus mengajar dan berjuang demi Islam.

Sebagai penutup, Ustadz Adian mengingatkan bahwa di era disrupsi dan internet yang serba cepat, tidak perlu khawatir kekurangan ilmu, wawasan dan informasi. Yang perlu dikhawatirkan adalah hilang adab. Itulah mengapa yang diutamakan dalam pendidikan bukan hanya tempat dan apa yang dipelajari, tetapi kesiapan kita untuk belajar apa saja dari mana saja.

Bagi santri yang diberi Allah kecerdasan lebih, haruslah menempuh pendidikan dengan serius, jangan merasa cukup dengan gelar sarjana S1. Apalagi jika mengingat S1 di Indonesia sekarang sudah semakin biasa-biasa saja. Banyak profesi yang dulunya diisi oleh lulusan SMA, kini sudah diisi oleh sarjana S1.

Karena itulah, pesan beliau, “Jangan pernah lupa untuk mengajar sembari terus belajar dan bekerja, karena sejatinya, mereka yang terbaik di negara terbaik ialah para guru, orang-orang yang haus ilmu dan para pejuang sejati.”

Meskipun dilarang untuk mencintai dunia, tetapi Islam memerintahkan umatnya untuk menjadi umat yang kuat dan terbaik dan pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan. Sebab, umat Islam adalah umat istimewa yang dibebani kewajiban melanjutkan perjuangan para nabi, yaitu menegakkan tauhid dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Depok, 14 Mei 2024).

AT-TAQWA DEPOK
Jl. Usman Hasbi, RT.04 RW 04 Jatimulya, Cilodong - Depok
info@attaqwa.id
(+62)856 0980 9086