Presentasi Makalah di Bandung, Santri SMA Ini Kritisi AI Lewat Pendekatan Filsafat
Oleh: Tim Humas Pesantren At-Taqwa Depok
Artikel Ilmiah
Liputan Kegiatan

Masjid Salman Kampus ITB kedatangan para aktivis pendidikan dari berbagai kota di Jawa Barat pada Senin (19/5/2025). Mereka berbondong-bondong mengikuti Seminar “Kiat Membangun Literasi Beradab dan Pengenalan SMA Unggul” bersama Dr. Adian Husaini selaku Pimpinan Pesantren At-Taqwa Depok.
Acara dilanjutkan dengan presentasi santri-santri tingkat SMA. Para peserta cukup dikejutkan dengan keberanian seorang santri yang berhasil memaparkan evaluasi kritisnya terhadap AI (Artificial Intelligence). Menurut pemaparannya, hadirnya era kecerdasan buatan mesti didukung dengan budaya ilmu yang mampu mengontrol penggunaan ChatGPT, sehingga kecerdasan manusia mampu beradaptasi ketika bereksplorasi dengan AI di ranah keilmuan berdasarkan pandangan alam Islam.
Namanya Rafa Elzahira, seorang santri SMA kelas 12. Menurut hemat Hira, perkembangan pesat kecerdasan buatan selama lebih dari seperempat abad telah “memancarkan” harapan sekaligus keraguan di antara para akademisi dan intelektual.
“Hal ini dikarenakan adanya kompleksitas praktikal dan teoritikal AI yang dipertimbangkan menjadi ancaman bagi perkembangan intelektual kaum muda, terutama dalam membentuk pandangan alam dan mempengaruhi pemahaman mereka mengenai ilmu dan kebenaran,” ujar santri asal Depok tersebut.
Salah satu evaluasinya, lanjut Hira, ialah ketidakhadiran jiwa pada sistem yang disebut ‘kecerdasan’ itu. Sebab jika merujuk kepada SMN al-Attas, apa yang disebut sebagai ‘kecerdasan’ mesti eksis melalui keberadaan substansi jiwa dan ilmu yang ditangkap olehnya. Inilah yang membedakan robot dengan manusia. Sebagaimana yang diutarakan Chomsky, meski dengan keterbatasan data, manusia mampu mengoperasikan bahasa dan mencerna makna secara natural yang merefleksikan pandangan alamnya terkait ilmu.
Sementara itu, ChatGPT yang memiliki keterbatasan bahasa dan pengaruh bias dalam sistemnya, faktanya tidak memiliki framework personal terkait ilmu yang berdasarkan pemahaman murni. Hal ini karena ia tidak memiliki “jiwa” yang berkemampuan untuk menangkap makna dan bahasa yang diprosesnya hanya berdasarkan kumpulan data secara statis dan kalkulatif. Di sisi lain, AI juga memiliki dampak positif, sebagaimana gagasan Foucault, bahwa terdapat korelasi yang kuat antara pembentukkan kebenaran dan sistem kekuasaan. Sehingga kecerdasan buatan menjadi salah satu contoh yang relevan hari ini, menjadi alat kendali bagi pemerintah, elite penguasa, dan perusahaan global.
“Itulah mengapa kemampuan melakukan reasoning, understanding, dan explaining tidak akan pernah bisa digantikan oleh sistem buatan mana pun. Sebab ChatGPT atau semacamnya hanya menjadi “fasilitator dialog” dari sumber autoritatif. Karenanya, masyarakat tidak bisa mengadakan eksplorasi keilmuan secara mendalam (profound) hanya dengan berdialog dengan ChatGPT atau AI lainnya, melainkan harus didahului dengan kebiasaan berilmu, membaca, dan mengkritisi suatu hal,” pungkas Hira di akhir sesi
Makalah berjudul “Critical Evaluation on Chatgpt Based on The Dialogue Concerning Language Reflection on Worldview and Knowledge” tersebut disusun di bawah bimbingan Ustadz Khayrurrijal M. Phil, Pengajar Filsafat Islam di Pesantren At-Taqwa Depok selama kurang dari tiga bulan. Makalah ilmiah ini juga sudah dibentangkan di RZS-CASIS Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur pada November 2024 lalu. Maka tak mengherankan jika penelitiannya berhasil membuat kesan bagi para aktivis pendidikan.